JAKARTA, GRESNEWS.COM - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) bersama Indonesia Corruption watch (ICW) mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung terkait pemberlakuan Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM terkait pengaturan pemberian tremisi bagi narapidana korupsi. Surat Edaran bernomor  M.HH-04.PK.01.05.06 tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan bagi Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenkum HAM tentang pemberian remisi bagi narapidana ini dinilai hanya membatasi remisi bagi sebagian narapidana.  

Surat Edaran yang membatasi masa berlakunya ini telah mengakibatkan sejumlah narapidana terhindar dari jerat pengetatan remisi. Sebab Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 diberlakukan bagi narapidana yang putusan pidananya telah berkekuatan hukum tetap setelah tanggal 12 November 2012. Akibatnya narapidana yang putusan tetapnya sebelum tanggal 12 November 2012 tidak terkena pemberlakuan. "Ini menimbulkan konsekuensi serius sebab pelaksanaan pemberian remisi terjadi dualisme," tulisnya dalam rilis mereka.

Artinya kebijakan pengetatan remisi berdasarkan pasal 34A  PP 99 tahun 2012, oleh surat edaran ini dipotong sehingga pengetatan remisinya menjadi terbatas hanya bagi narapidana putusan pidananya telah berkekuatan hukum tetap setelah tanggal 12 November 2012. Sedangkan bagi narapidana sebelum tanggal 12 November 2012 berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Munculnya Surat Edaran ini berakibat sejumlah koruptor mendapat remisi pada Hari Kemerdekaan ke-69 RI lalu. Mereka, di antaranya, Gayus Tambunan, yang mendapat potongan hukuman lima bulan penjara. Begitu pula dengan Urip Tri Gunawan yang mendapat remisi enam bulan. Koruptor lain yang mendapat remisi adalah D.L. Sitorus dengan pengurangan empat bulan. Kemudian Agusrin Najamudin juga mendapat remisi tiga bulan. Mantan kuasa hukum Gayus Tambunan, Haposan Hutagalung, juga mendapat potongan empat bulan penjara.

Begitu pula dengan koruptor perpajakan, Bahasyim Assifie, yang mendapat remisi empat bulan penjara, Anggodo Widjojo lima bulan, dan mantan Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad empat bulan Jadi setidaknya sampai dengan Agustus 2014, pemerintah telah dua kali memberikan remisi kepada para narapidana kasus korupsi. Pada hari raya Idul Fitri kemarin, pemerintah memberikan remisi kepada 235 narapidana kasus korupsi dari lembaga pemasyarakatan ataupun rumah tahanan di seluruh wilayah Indonesia, di mana 8 orang di antaranya langsung menghirup udara bebas. Sebelumnya, pemerintah juga memberi remisi kepada tahanan korupsi pada Hari Ulang Tahun Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus

Untuk itu ICJR dan ICW mengajukan Permohonan Keberatan atas berlakunya S.E. dengan beberapa alasan pokok, yaitu yang pertama, S.E. Bertentangan dengan ketetentuan mengenai prinsip “diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi“ dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) dan Pasal 10 ayat (1) huruf (a) dan Pasal 6 ayat (1) huruf i UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP), dimana tidak satupun dari UU Pemasyarakatan dan PP 99/2012 yang menjadi acuan dari S.E. ini.

Kedua, Bertentangan dengan ketentuan “asas ketertiban dan kepastian hukum”  dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i UU PPP, dimana dengan berlakunya S.E. ini akan ada pembedaan dan ketidakpastiaan hukum bagi narapidana yang putusan pidananya telah berkekuatan hukum tetap setelah dan sebelum tanggal 12 November 2012.

Ketiga, bertentangan dengan tanggal mulai berlaku pengetatan remisi bagi narapidana berdasarkan PP 99/2012 yaitu pada saat tanggal diundangkan 12 November 2012, bukan berdasarkan kapan putusan berkekuatan hukum tetap.

Keempat, bahwa perlu perhatikan beberapa faktor sebagai dasar pertimbangan penerbitannya surat edaran yakni hanya diterbitkan karena keadaan mendesak. Kelima, Bertentangan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 P/HUM/2013, dimana dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 51 P/HUM/2013, MA telah menyatakan bahwa PP 99/2012 telah sesuai dengan hukum dalam hal pengetatan remisi, termasuk pasal yang menyebutkan mengenai pemberlakukan pengetatan remisi bagi terpidana tindak pidana dalam PP 99/2012, sehingga dalam hal ini S.E. telah memberikan pengertian berbeda dan pertentangan tentang pemberlakuan PP 99/2012 yang telah diuji oleh MA.

"Untuk itu ICJR dan ICW meminta MA memutus menyatakan S.E. ini bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah Nomor 99/ 2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 P/HUM/2013 dan meminta MA memerintakan Menteri Hukum dan HAM untuk mencabut S.E. tersebut," tulis mereka.

BACA JUGA: