JAKARTA, GRESNEWS.COM - Harapan para petani yang tergabung dalam Paguyuban Petani Perjuangan Mbah Ungu (P3MU) untuk membatasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) maksimal 10 persen dari anggaran belanja total, tidak terwujud. Sebab Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak dapat menerima pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) Tahun Anggaran 2015.

Mahkamah menilai para pemohon tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum) untuk mengajukan permohonan pengujian karena dalam perjalanan sidang, terjadi perubahan subyek hukum dari pemohon menjadi kuasa hukum. Hal ini dinyatakan menyalahi prosedur pengajuan permohonan berperkara di MK.

Ketiadaan legal standing itu, selanjutnya MK menyatakan tidak mempertimbangkan pokok permohonan pemohon. "Mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima," tutur Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan perkara nomor 123/PUU-XII/2014, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (5/2) kemarin.

Mahkamah berpendapat, perubahan subyek hukum dari pemohon menjadi kuasa hukum tersebut merupakan tindakan yang tidak layak dan patut. Sebab, sebelumnya permohonan pengujian UU APBN Tahun 2015 itu mencatat nama Andhika Dwi Cahyanto, Donny Tri Istiqomah, dan Radian Syam sebagai Pemohon Prinsipal dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) Mahkamah pada tanggal 20 November 2014.

Namun saat sidang perdana digelar pada 23 Desember 2014, Andhika dan dua rekannya itu menjadi kuasa hukum dari Paguyuban Petani Perjuangan Mbah Ungu (P3MU). Selanjutnya di sidang kedua dengan agenda perbaikan permohonan, Kepaniteraan MK juga menerima perbaikan permohonan yang dibubuhi tanda tangan ketiganya selaku kuasa hukum yang menandatangani perbaikan permohonan.

Menurut Mahkamah, hal tersebut tidak dapat dibenarkan karena tidaklah mungkin suatu perkara diregistrasi terlebih dulu baru kemudian muncul Surat Kuasa. Menurut Mahkamah, ketika akan ada pergantian pemohon, seharusnya permohonan perkara nomor 123/PUU-XII/2014 dicabut terlebih dulu. Karena itu, Mahkamah menyatakan pemohon tidak memiliki legal standing.

"Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, menyatakan pokok permohonan pemohon tersebut tidak dipertimbangkan lagi," ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar saat membacakan pertimbanagan Mahkamah.

Sejatinya, para pemohon dalam petitumnya meminta MK menyatakan, Pasal 13 Ayat (6) UU APBN Tahun 2015 konstitusional sepanjang "tidak melebihi 10% (sepuluh persen) dari belanja negara dan dirinci penggunannya meliputi substitusi energi subsidi non energi". Mereka mendalilkan, pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia setiap tahun terus mengalami peningkatan pesat.

Merujuk pada data yang dimiliki Badan Pusat Statistik (BPS) atas laporan Kepolisian, jumlah kendaraan yang masih beroperasi di seluruh Indonesia sampai tahun 2013 mencapai 104,211 unit. Jumlah ini naik 11 persen dari tahun 2012, yakni jumlahnya 94,299 juta unit.

Dari total kendaraan yang beroperasi tersebut, populasi terbanyak disumbang oleh kendaraan bermotor pribadi, yaitu sepeda motor dan mobil. Total jumlah sepeda motor sebesar 86,253 juta unit; Mobil penumpang sebanyak 10,54 juta unit; Mobil barang (truk, pick up, dan lainnya) tercatat 5,156 juta unit.
 
Peningkatan jumlah kendaraan bermotor tersebut pada akhirnya berdampak pada konsumsi BBM yang masih mendapat subsidi dari negara. Dan kenyataanya jumlah belanja subsidi telah mengalami peningkatan sebesar Rp90 triliun atau tumbuh rata-rata 15 persen setiap tahunnya sepanjang periode 2005-2014.

Pada 2005 tercatat hanya sebesar Rp120,7 triliun telah menjadi Rp210,7 triliun pada tahun 2014. Sedangkan dalam APBN 2015 meningkat dua kali lipat menjadi Rp414,7 triliun.
 
Namun, pemohon menyayangkan, sebagian besar subsidi BBM dinikmati oleh masyarakat kelas menengah pengguna kendaraan bermotor pribadi yangberasal dari golongan mampu, bukan rakyat miskin. Padahal tujuan utama subsidi untuk  membantu meningkatkan taraf hidup rakyat miskin.

Sehingga menurut mereka, sangat tidak tepat ketika subsidi BBM harus membebani anggaran belanja negara. Misalnya di tahun 2014 mencapai Rp210,7 triliun, melebihi anggaran pendidikan yang hanya Rp131,3 triliun. Bahkan jauh lebih besar dari anggaran kesehatan yang hanya Rp13,1 triliun berdasarkan fungsi.

Besarnya angka subsidi BBM secara tidak langsung juga dianggap menyebabkan terbengkalainya program-program yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat (miskin) secara langsung. Hal ini dianggap bertentangan dengan Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: "Anggaran pendapatan dan belanja Negara sebagai wujud pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesabesarnya kemakmuran rakyat".
 
Agar sesuai konstitusi, rincian anggaran subsidi harus ditetapkan langsung di dalam Pasal 23 Ayat (6) UU APBN Tahun 2015 sebagaimana ditetapkan di UU APBN tahun-tahun sebelumnya. Tetapi rincian penggunaan antara subsidi energi (BBM dan listrik) dan subsidi non energi diserahkan kepada Presiden melalui Peraturan Presiden. APBN hanya menetapkan plafon secara global yaitu Rp414,7 triliun.

Menurut mereka, agar subsidi BBM tidak mengingkari hak ikat penggunaan APBN yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat atau menjadi konstitusional dan tidak membebani keuangan negara, sudah seharusnya subsidi BBM dibatasi. Setinggi-tingginya tidak melampaui 10 persen dari belanja negara (Rp2.039 triliun) atau sebesar Rp200 triliun pada tahun 2015.

Pendekatan 10 persen dari belanja negara didasarkan pada pertimbangan bahwa prosentase tersebut akan membuat stabilnya belanja negara mengingat kebutuhan alokasi anggaran di sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur ekonomi yang sangat besar.

Disamping itu, dengan ditetapkannya ketentuan sebanyak-banyaknya 10 persen dari total belanja akan dapat menjadi ketentuan dan pedoman bagi setiap pemerintahan. Karena selama ini subsidi BBM di atas 10 persen, maka alokasi subsidi untuk keperluan petani menjadi kecil.

BACA JUGA: