JAKARTA, GRSNEWS.COM – Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana bersama sejumlah penggiat hukum mempersoalkan pertimbangan  DPR dalam pengangkatan kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI). Keterlibatan Dewan itu dianggap inkonstitusional dan telah membatasi hak prerogatif Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar", dengan sistem pemerintahan presidensial.
 
Dengan sistem pemerintahan presidensial, presiden diberikan hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan personil pemerintahannya, tanpa harus meminta persetujuan cabang kekuasaan lainnya. Sementara pembatasan hak prerogatif presiden, menurut para pemohon, hanya dapat dilakukan sesuai UUD 1945. Misalnya dalam hal pengangkatan duta oleh Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan.
 
"Pembatasan di luar UUD 1945 atas hak prerogatif Presiden harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945," kata kuasa hukum pemohon, Heru Widodo, saat membacakan pokok-pokok permohonannya di sidang perdana pengujian UU  Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) dan  Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) terhadap UUD 1945 di  MK, Jakarta Pusat, Rabu (5/1).
 
Sebab para Pemohon merasa dirugikan dengan  berlakunya ketentuan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU Polri, dan Pasal 13 ayat (2), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) UU TNI.

"Pemohon memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menerima dan mengabulkan seluruh permohonan tentang pengujian itu," pinta Heru saat menyampaikan petitumnya.
 
Heru juga meminta agar MK menyatakan Pasal 11 ayat (1) UU Polri beserta penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang "frasa dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat". Kemudian menyatakan Pasal 11 ayat (5) bertentangan dengan 1945, sepanjang frasa "dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat".
 
Menyatakan Pasal 11 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU Polri serta Pasal 13 ayat (5), ayat (6) beserta penjelasannya, ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) bertentangan dngan 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Serta menyatakan Pasal 13 ayat (2) UU TNI beserta penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang frasa "setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat".

Menyikapi hal itu, Sidang Panel Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman, mempertanyakan kedudukan hukum (legal standing) para pemohon. Menurut Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, pemohon harus bisa memberikan penjelasan yang lebih komprehensif terkait kualifikasi legal standing, bukan sekedar mengaku sebagai pembayar pajak lantas memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan karena merasa dirugikan.

"Benar Anda sebagai pembayar pajak, tapi tolong legal standing itu juga dikaitkan dan diperkuat lagi dengan permohonan yang diujikan," kata Patrialis memberikan saran perbaikan.
 
Pengaturan legal standing itu, kata Patrialis sudah diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).

"Mungkinkah ada kerugian pemohon dengan pengujian dua undang-undang itu. Apa saja kerugian pemohon tentu harus dielaborasi dengan jelas," tegas Patrialis. Apakah kerugian itu akibat dari adanya keterlibatan DPR itu, atau kerugian yang bersifat spesifik.

BACA JUGA: