JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan kepala daerah yang tidak mundur saat mencalonkan diri sebagai calon presiden atau wakil presiden tetap konstitusional. MK juga menyatakan keharusan kepala daerah meminta izin kepada Presiden tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sebab seseorang yang menduduki jabatan itu berarti telah mengikatkan diri ke dalam struktur pemerintahan negara.
 
Keputusan Mahkamah tersebut sekaligus menolak permohonan Yonas Risakotta dan Baiq Oktavianty. Keduanya meminta Pasal 6 Ayat (1), Penjelasan Pasal 6 Ayat (1), dan Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) dinyatakan bertentangan dengan UD 1945.
 
"Mengadili, menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya", tutur Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan perkara nomor 52/PUU-XII/2014 di Gedung MK, Rabu (21/1).
 
Mahkamah berpendapat, norma yang menentukan keharusan kepala daerah meminta izin kepada Presiden tidak bertentangan dengan UUD 1945. Khususnya pasal-pasal yang dijadikan dasar pengujian konstitusionalitas pemohon yakni Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.

Hal tersebut didasarkan kepada argumentasi hukum selain mengasumsikan adanya persamaan subyek hukum, juga mengasumsikan adanya perbedaan subyek hukum. "Berdasarkan asumsi hukum yang demikian maka hukum harus mengatur secara sama kepada subyek hukum yang sama dan harus mengatur secara berbeda terhadap subyek hukum yang berbeda," ucap Arief.

Mahkamah membenarkan, bahwa hukum dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 menentukan secara konstitusional segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Namun, secara konstitusional harus dianggap benar pula kepala daerah yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon presiden atau wakil presiden meminta izin kepada Presiden.

Karena itu para kepala daerah yang mencalon diri juga dibenarkan untuk tidak mengundurkan diri dari jabatan tersebut karena seseorang yang menduduki jabatan itu berarti telah mengikatkan diri ke dalam struktur pemerintahan Negara. Yakni pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berada di bawah Presiden.

"Dengan demikian, MK berbendapat, keharusan meminta izin tersebut tidaklah dapat diartikan sebagai suatu pengaturan yang memperlakukan secara berbeda terhadapnya dari warga negara lain," ucap Arief menegaskan.
 
Pengujian UU Pilpres ini dimohonkan Yonas dan Baiq  lantaran keduanya merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal-pasal tersebut.
 
Pasal 6 Ayat (1) menyatakan: "Pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya".

Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) berbunyi: "Yang dimaksud dengan pejabat negara dalam ketentuan ini adalah Menteri, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi".
 
Menurut pemohon, kata "pejabat negara" dalam ketentuan pasal di atas tidak dirumuskan secara jelas siapa yang dimaksud dengan pejabat negara. Akan tetapi, siapa saja yang dimaksud sebagai "pejabat negara" ditentukan secara limitatif dalam penjelasan pasal tersebut.

"Termasuk tidak menjelaskan kandungan makna pasal, frasa atau bagian dari ayat, melainkan telah menentukan secara limitatif apa yang dimaksud dengan pejabat negara," demikian argumen yang disampaikan pemohon.


Karena tidak menjelaskan kandungan makna pasal, frasa atau bagian dari ayat, melainkan telah menetukan secara limitatif, mereka menganggap penjelasan pasal tersebut telah membuat norma baru sehingga tidak sesuai dengan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hak ini dinilai bertentangan dengan undang-undang lain (disharmoni) yang akan menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dan dilindungi oleh Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
 
Pemohon juga mempersoalkan Pasal 7 Ayat (1) yang bebunyi: "Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota yang akan dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden Atau calon Wakil Presiden harus meminta izin kepada Presiden".

Pasal 7 Ayat (2): "Surat permintaan izin gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) disampaikan kepada KPU oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai dokumen persyaratan calon Presiden atau calon Wakil Presiden".
 
Sebagai warga DKI Jakarta, pemohon mengaku telah dirugikan hak konstitusionalnya sebagai pemilih Joko Widodo yang mencalonkan diri sebagai Presiden. Sebab pemohon telah menggunakan hak pilihnya dengan memilih pasangan calon Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama saat Pemilukada Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012.
 
Mereka juga menilai, ketentuan Pasal 6 Ayat (1) dan Pasal 7 Ayat (1) UU Pilpres mengandung perlakuan yang berbeda diantara penajabat negara seperti kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak harus mengundurkan diri. Sedangkan Menteri, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksaan Keuangan, Panglima TNI, Kapolri, dan Pimpinan KPK harus mundur dari jabatannya jika dicalonkan sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden.
 
Berdasarkan hal-hal tersebut, para Pemohon beranggapan ketentuan dalam pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji, bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Perlakuan berbeda yang ditetapkan pada pejabat negara yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 6 Ayat (1) UU Pilpres dinilai menimbulkan perlakuan yang berbeda dari negara terhadap pejabat negara tersebut.
 
Disamping adanya pembedaan perlakuan atas kepala daerah dengan pejabat negara, nomenklatur "pejabat negara" dikatakan memiliki cakupan berbeda-beda. Seperti diatur dalam Pasal 122 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
 
Dalam pasal tersebut dikatakan: "Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu: a. Presiden dan Wakil Presiden; b. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; d. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; e. Ketua, Wakil Ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc; f. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; g. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; h. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Komisi Yudisial; i. Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; j. Menteri dan jabatan setingkat menteri; k. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; Gubernur dan Wakil Gubernur; Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang".
 
Atas cakupan yang berbeda, pemohon menganggap dalam implementasinya akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena pada satu saat seorang kepala daerah disebut sebagai pejabat negara, sedangkan pada saat yang lain tidak disebut sebagai pejabat negara. Pertentangan ini juga dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dan dilindungi oleh Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
 
Karena itu mereka meinta MK menyatakan, pasal-pasal yang dimohonkan itu, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai frasa "pejabat negara termasuk gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati atau walikota atau wakil walikota". Serta menyatakan Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

BACA JUGA: