JAKARTA, GRESNEWS.COM - Lama tak terdengar kasus  dugaan korupsi keberatan wajib pajak oleh Bank Central Asia (BCA) akhirnya menemui titik terang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menargetkan perkara yang melibatkan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo akan selesai dalam waktu dekat.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan saat ini penyidik masih terus melakukan pemeriksaan intensif kepada para saksi. Tak hanya itu, sejumlah ahli juga  dihadirkan untuk dimintai keterangan terhadap kasus yang melibatkan bank swasta terbesar di Indonesia itu.

KPK, kata pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) ini, juga menerjunkan tim ahli untuk menghitung besaran kerugian negara yang diduga sebagian dana itu masuk ke kantong Hadi Purnomo. "Dan Proses penghitungan juga sedang dilakukan kerugian. Prosesnya masih terus berlangsung," ujar Bambang di Kantornya, Rabu (14/1) malam.

Mantan pengacara ini mengaku ingin menjadikan kasus ini sebagai prioritas dan bisa selesai dalam beberapa bulan mendatang. "Kami ingin menjadikan kasus ini sebagai prioritas yang ingin ditangani. dan mudah-mudahan sebelum semester pertama tahun ini atau mudah-mudahan caturwulan pertama kita sudah bisa selesaikan‎ kasus ini," tandasnya.

Pernyataan Bambang ini sekaligus menepis kabar yang sebelumnya beredar bahwa KPK sengaja menutupi kasus ini. Kabar itu mulai bergulir setelah tidak adanya jadwal pemeriksaan selama beberapa bulan ini terkait perkara Hadi Purnomo. Ditambah lagi, hingga saat ini Hadi juga belum pernah diperiksa penyidik KPK.

Tak hanya itu, KPK juga terkesan menutupi sejumlah pejabat BCA yang menjadi saksi kasus ini. Hal ini diduga merupakan permintaan dari pihak BCA untuk menjaga kestabilan sahamnya agar tidak terjun bebas. Busyro Muqoddas yang ketika itu masih menjabat Wakil Ketua KPK memang sudah menepis adanya kabar tersebut.

"Terlalu rendah kalau (kasus) BCA dituduh seperti itu. BCA swasta, menembak KPK, apa kepentingannya?" tegas mantan Ketua Komisi Yudisial ketika itu.

Ketua KPK Abraham Samad pun mengungkapan alasan yang sama. Menurutnya lamanya penanganan kasus ini, karena setiap kasus mempunyai spesifikasi tertentu. Oleh karena itu, ada perbedaan mengenai penanganan dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mencari kebenaran materiil terhadap kasus ini.

Abraham mengakui, pengungkapan kasus yang tidak berasal dari operasi tangkap tangan berbeda penanganannya, selain itu memakan waktu lebih lama. Pasalnya, masih banyak hal yang harus ditelusuri untuk terus melengkapi berkas-berkas pemeriksaan.

Selain itu, ia tidak menyangkal KPK harus mempunyai kecermatan tersendiri mengungkap kasus perbankan. Hal itu bisa dilihat dari lamanya penanganan kasus pemberian Fasilitas Peminjaman Jangka Pendek (FPJP) Bank Century yang telah menjerat mantan Deputi Bank Indonesia Budi Mulya.

Namun, ia membantah KPK kesulitan dalam mengungkap kasus tersebut. "Sebenarnya tidak terlalu rumit-rumit amat, cuma memerlukan kecermatan, ketelitian," sanggahnya.

Perkara ini bermula saat Direktorat Pajak Penghasilan (PPh) pernah mengusut dugaan pengemplangan pajak yang diduga dilakukan BCA. Sumihar Petrus Tambunan selaku Direktur Pajak Penghasilan pada 2003 langsung mempelajari dokumen yang diajukan BCA sebagai keberatan pajak.

Setahun kemudian, Direktorat PPh merampungkan kajiannya. Hasilnya Dirjen Pajak menolak permohonan keberatan pajak BCA. BCA diwajibkan melunasi tagihan pembayaran pajak tahun 1999 sebesar Rp 5,77 triliun. Untuk pelunasannya, BCA diberi tenggat hingga 18 Juni 2004.

Kemudian, dokumen risalah tadi diserahkan ke Hadi Purnomo selaku Dirjen Pajak. Sehari sebelum tenggat BCA membayar tagihan pajaknya (17 Juli 2004), Hadi menandatangani nota dinas Dirjen Pajak yang ditujukan kepada bawahannya, Direktur PPh.

Isi nota dinas ini bertolak belakang dari risalah yang dibuat Direktur PPh. Hadi justru mengintruksikan kepada Direktur PPh agar mengubah kesimpulan risalah yang awalnya menolak menjadi menyetujui keberatan.

Atas perbuatan Hadi itu, negara diduga telah mengalami kerugian sekitar Rp 375 miliar. Atas perbuatan itu, Hadi disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

BACA JUGA: