JAKARTA, GRESNEWS.COM – Mahkamah Agung (MA) menegaskan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Permohonan Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) dalam Perkara Pidana bukan untuk membangkang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013. Namun SEMA untuk menegaskan upaya peninjauan kembali (PK) hanya sekali, sesuai Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kehakiman) dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA).
 
Ketua MA Hatta Ali menjelaskan, Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 tertanggal 6 Maret 2014 hanya membatalkan ketentuan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sehingga upaya PK dalam perkara pidana yang awalnya hanya dapat dilakukan satu kali menjadi dapat dilakukan berkali-kali
 
"Putusan MK hanya membatalkan PK yang diatur KUHAP, tetapi tidak menghapus ketentuan dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA tersebut," tutur Hatta kepada wartawan di Media Center MA, Jakarta, Rabu (7/1).
 
Sementara UU Kehakiman dan UU MA tersebut, lanjut Hatta, merupakan undang-undang yang mengandung asas pokok yang tidak boleh dilanggar oleh lembaga MA, termasuk bawahannya. Karena alasan itu, ketentuan PK hanya satu kali dalam UU Kehakiman dan UU MA masih berlaku, dan para hakim harus menerapkan aturan itu.
 
Pasal 24 ayat (2) UU Kehakiman tersebut berbunyi: "Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali". Kemudian Pasal 66 ayat (1) UU MA menyatakan: "Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali".
 
Menurut Hatta, subtansi PK yang dapat diajukan berkali-kali akan mengakibatkan tidak ada habisnya, sama artinya dengan tidak ada kepastian hukum. Ketika tidak ada kepastian hukum maka akan menimbulkan ketidakadilan hukum. "Padahal tujuan penegakkan hukum itu adalah untuk keadilan, kepastian hukum, kemanfaatannya," terangnya.
 
Di sisi lain, penanganan PK merupakan kewenangan MA yang tidak dimiliki oleh lembaga lain dan MA merupakan lembaga tertinggi dalam penegak hukum yang membawahi peradilan. Sehingga MA sendiri yang merasakan sulitnya menangani PK yang dapat diajukan berkali-kali.

Dia menegaskan, MA tidak sembarangan menerbitkan SEMA, tetapi telah melalui kajian, penelitian dan membahasnya melalui tim kelompok kera (pokja). Di samping itu, MA juga memiliki wewenang untuk menentukan mekanisme sendiri yang akan digunakan untuk lingkungan internal dan tidak terikat dengan lembaga lain. "Penerbitan SEMA ini merupakan bagian dari sikap independensi MA,"  tegasnya.
 
Sebelumnya, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat menilai, terbitnya SEMA yang membatasi pengajuan PK hanya satu kali, sebagai pembangkangan terhadap konstitusi. Menurutnya, beredarnya SEMA tersebut merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap keputusan MK yang bersifat final dan mengikat. Sekaligus pelanggaran terhadap konstitusi dan pelanggaran terhadap konsepsi negara hukum yang puncak hukum tertinggi adalah konstitusi.
 
Padahal, kata Arief, MK melalui putusan Nomor: 34/PUU-XI/2013, MK menyatakan, pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan putusan ini, upaya PK dalam perkara pidana yang awalnya hanya dapat dilakukan satu kali menjadi dapat dilakukan berkali-kali.
 
"Tegasnya, ketidakpatuhan terhadap putusan MK saya sebut pembangkangan terhadap putusan MK dan itu adalah pelanggaran terhadap konstitusi," kata Arief, dalam acara Refleksi Kinerja MK Tahun 2014 dengan di Gedung MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (5/1).
 
Alasannya, MK diberi kewenangan oleh UUD 1945 sebagai penafsir konstitiusi yang tertinggi dan final. Sehingga lembaga lain tidak bisa menafsirkan konstitusi secara sendiri-sendiri berdasarkan kewenangan masing-masing. "Kalau itu yang terjadi maka kekuasaan di Indonesia dan kewenangan yang ada tidak lagi dijalankan sesuai dasar konstitusi," tutur Arief.

BACA JUGA: