JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia menilai langkah Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Permohonan Pengajuan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana terlalu jauh, tidak tepat, dan patut disayangkan. Kemudian, dua pasal yang menjadi landasan argumentasi MA menerbitkan SEMA tersebut juga tidak cermat dan tepat. Sementara surat edaran bukanlah produk peraturan perundang-undangan.

"Dengan penerbitan SEMA tersebut, MA telah memposisikan diri layaknya pembentuk undang-undang," kata peneliti PSHK Indonesia, Miko Susanto Ginting kepada Gresnews.com, Senin (5/4).

Padahal Kata Miko, SEMA bukanlah produk peraturan perundang-undangan. SEMA merupakan instrumen administratif yang bersifat internal dan ditujukan untuk memberikan petunjuk lebih lanjut dari suatu norma peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Hal ini juga telah dikuatkan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Karena itu, dia berpenapat, penerbitan SEMA tersebut patut dikaji ulang karena substansinya yang tidak tepat dan berpotensi menimbulkan kekacauan hukum.

Kemudian, dua pasal yang menjadi landasan argumentasi MA menerbitkan SEMA tersebut juga tidak cermat dan tidak tepat ketika memaknai Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kehakiman) dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA), sehingga upaya permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali.

Kedua pasal tersebut, lanjut Miko, semestinya diposisikan sebagai pemberi dasar bagi pengajuan peninjauan kembali untuk semua perkara, kecuali perkara pidana dan militer. Sebab pengaturan PK untuk perkara pidana dan militer secara khusus sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dimana permohonan peninjauan kembali yang sebelumnya dibatasi hanya satu kali (Pasal 268 ayat (3) KUHAP) telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 34/PUU-XI/2013.

"Tidak tepat memperluas pemberlakuan SEMA menjadi seakan-akan norma hukum baru yang bersifat substantif layaknya peraturan perundang-undangan," tutur Miko. Apalagi, lanjutnya, limitasi yang membatasi upaya permohonan PK dalam perkara pidana yang dibatasi hanya satu kali ini secara jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.

MK melalui putusan tertanggal 6 Maret 2014 tersebut membatalkan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP); Menyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945); Menyatakan Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. PK yang awalnya hanya dapat dilakukan satu kali menjadi dapat dilakukan lebih dari satu kali.

Seperti diketahui, MA dinilai enggan menindaklanjuti putusan tersebut dengan alasan putusan MK tidak dapat dieksekusi (nonexecutable). MA berpendapat, putusan MK tidak serta merta menghapus norma hukum yang mengatur permohonan peninjauan kembali yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UU Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU MA.
 
MA beralasan, permohonan PK yang diajukan lebih dari satu kali terbatas pada alasan yang diatur dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan PK, yaitu apabila ada suatu objek perkara terdapat dua atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana.
 
"Permohonan PK yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke MA sebagaimana diatur SEMA Nomor 10 Tahun 2009," bunyi angka lima SEMA Nomor 7 Tahun 2014 yang ditandatangani Ketua MA Hatta Ali pada 31 Desember 2014 tersebut.

BACA JUGA: