JAKARTA, GRESNEWS.COM - Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang menyatakan upaya lanjutan hukum bagi para narapidana di tingkat Peninjauan Kembali (PK) yang hanya berlaku satu kali masih menjadi perdebatan. Sejumlah ahli hukum tata negara sebelumnya menganggap surat edaran itu inkonstitusional, karena sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah memutuskan PK dapat dilakukan lebih dari sekali.

Namun mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin. Amir justru mendukung keberadaan SEMA yang dirilis MA pada 31 Desember 2014 itu. Menurutnya keputusan MA atas surat itu sudah cukup tepat yang membatasi PK hanya boleh diajukan satu kali.

"Kalau tidak dibatasi, ahirnya timbul suatu kondisi ketidakpastian hukum. Sementara hukum itu sendiri tanpa kepastian, itu bukan hukum," ujar Amir kepada  wartawan di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (3/1).

Sementara itu, terkait pasal 268 ayat 3 tentang PK hanya boleh satu kali yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) menurut Amir hal itu bukanlah persoalan. Menurutnya, hal itu memang wewenang MK, tetapi MA sebagai eksekutor mempunyai kewenangan untuk mengatur.

Anggota Dewan Pertimbangan Partai Demokrat ini meyakini, MA tentu mempunyai alasan kuat seperti azas manfaat, keadilan, serta kepastian hukum. Amir menegaskan, jika PK tidak dibatasi, hal ini dikhawatirkan tersanderanya kepastian hukum, tidak selesainya sengketa dan perkara dan juga disalahgunakan oleh oknum - oknum tertentu.

"Kita cuma bisa mengharapkan pengadilan supaya memutus seadil-adilnya benar, jangan sampai timbul kekeliruan di dalam putusan itu. " tandasnya.

"Kalau alasannya takut kekeliruan dan tidak dibatasi PK itu, timbul keadaan ketidakpastian hukum yang lain yang menimbulkan permasalahan hukum yang lebih luas," sambungnya.

Mengenai keputusan mana yang lebih kuat sebagai dasar hukum PK Amir tidak ingin membandingkannya. Menurut Amir, baik MK dan MA mempunyai peran masing-masing. Kalau putusan MK, kata Amir, yaitu sepanjang suatu Undang-Undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Tetapi di dalam pelaksanannya Mahkamah Agung lah yang mempunyai kewenangan.

Amir sepertinya tidak ingin memperkeruh polemik ini. Menurutnya, siapapun yang mengambil keputusan mengenai PK, baik MA atau MK harus memperhatikan tiga hal. "Perhatikan azas tiga itu saja. Manfaat, adil, dan kepastian. Yang mana pun daripada putusan apakah putusan MK ataupun sema MA sepanjang memenuhi tiga kriteria tadi itu bisa digunakan," tutupnya.

Ahli hukum tata negara Andi Irmanputra Sidin berpendapat keluarnya SEMA ini tidak dapat dibenarkan dalam konstitusi.MA sebagai kekuasaan kehakiman dibentuk sebagai panji dalam menegakkkan hukum dan keadilan termasuk menjalankan keputusan Mahkamah Konsitusi yang menyebut PK bisa dilakukan beberapa kali.

Negara, yang dalam hal ini diwakili MA tidak boleh menutup upaya setiap umat manusia untuk meperjuangkan keadilan akan kebebasan dan kehidupannya. Sebab, pencarian keadilan setiap warga Negara bahkan umat manusia adalah hak konstitusional yang paling esensil untuk meperjuangkan kebabasan dan hak hidupnya.

"Negara tidak boleh “malas” untuk melayani pencarian keadilan untuk kehidupan dan kebebasan setiap umat manusia  selama terdapat adanya keadaan baru yang bisa membuktikan sebaliknya bahwa terpidana tersebut tidak bersalah," kata Andi kepada wartawan, Jumat (2/1).

BACA JUGA: