JAKARTA, GRESNEWS.COM – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak Presiden Joko Widodo mengeluarkan keputusan presiden (Kepres) untuk membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) atas kasus penembakan di Paniai, Papua. TPF diperlukan untuk mengungkap kasus penembakan dan kekerasan yang terjadi di wilayah tersebut.

Komisioner Komnas HAM Otto Nur Abdullah mengatakan pembentukan TPF merupakan rekomendasi kepolisian. Rekomendasi tersebut disampaikan pada Komnas HAM untuk ditindaklanjuti. Ia membenarkan TPF memang diperlukan karena Komnas HAM tidak akan sanggup menginvestigasi kasus ini sendirian. Pasalnya diduga ada keterlibatan antar instansi dalam kasus ini.

"Jadi TPF ini harus terdiri dari Komnas HAM, Polri, TNI, dan unsur masyarakat adat Paniai," ujar Otto  ditemui Gresnews.com di kantor Komnas HAM, Selasa (23/12).

Otto menjelaskan paska kejadian penembakan terhadap warga Paniai dan penyerangan Markas Polres dan Koramil Paniai belum ada rekonsiliasi apapun di Paniai. Sebelumnya menteri politik, hukum, dan HAM Tedjo Edy Purdjianto sempat mengatakan persoalan konflik Paniai sudah selesai dengan bakar batu antara warga dan aparat. Tapi nyatanya setelah Otto mengkonfirmasi ketua dewan adat Paniai, belum ada ritual bakar batu sebagai symbol telah berdamai.

Simpang siur kasus penembakan di Paniai ini memang telah Otto temukan sejak awal investigasinya di lapangan. Terdapat banyak versi baik dari Polri dan TNI dan versi masyarakat. Misalnya pihak polisi memberikan keterangan bahwa kendaraan yang datang ke arah pondok natal adalah motor. Sementara, warga mengatakan kendaraannya merupakan Toyota Rush.

Lalu polisi mengatakan ada tembakan dari atas gunung, sedangkan Otto menganalisis kondisi geografis tempat kejadian tidak memungkinkan adanya tembakan dari atas karena jarak tembaknya terlalu jauh dari gunung. Selanjutnya, polisi mengatakan ada massa yang membawa panah saat berkumpul di lapangan. Padahal menurut keterangan warga tidak ada yang membawa senjata. Perihal penyerangan koramil dilakukan dengan menggunakan batu.

Lebih lanjut, soal warga yang tewas, polisi mengatakan tiga dari lima warga yang tewas merupakan warga biasa dan bukan pelajar yang diganti pakaiannya dengan seragam sekolah. Sementara menurut pengakuan kepala sekolah di Paniai, tiga dari warga yang tertembak adalah siswanya. Otto menduga kemungkinan adanya skenario yang ingin dibuat oleh polisi dan TNI untuk merekayasa bahwa kejadian ini dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka. Tapi ia meyakini tidak ada kaitannya dengan OPM lantaran jarak geografis dengan gunung yang jauh.

Sejumlah ketidakpastian kronologis ini yang mendasari dibentuknya TPF agar kasus yang sebenarnya bisa terungkap. Soal kapan TPF bisa dibentuk agar kasus ini bisa segera diselesaikan, Otto mengatakan kuncinya ada di Kepres yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi. Sebabn TPF hanya bisa dibentuk melalui Kepres tersebut untuk bisa menjalankan tugas investigasinya.

"Jadi sebaiknya sebelum Presiden Jokowi ke Papua, beliau sikapi keadaan di Papua dengan membuat pernyataan presiden. Untuk menunjukkan keseriusannya terhadap keadaan di Paniai. Presiden tentu banyak mendapatkan masukan juga dari masyarakat adat, aktivis HAM, polri, dan TNI," lanjutnya.  

Pada kesempatan yang berbeda, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan pemerintah sangat hati-hati memperlakukan masyarakat Papua. Ia menganggap baik TNI/Polri atau warga yang terkena tembak, keduanya sama-sama melanggar HAM. "Pemerintah sedang berupaya menyelesaikan konflik di Papua," ujar JK di Mabes TNI, Jakarta Timur, Kamis (11/12).

Sebelumnya, lima warga Paniai, Papua tewas ditembak saat warga menyerang kantor Markas Polres dan Koramil Paniai. Warga menyerang markas karena malam sebelum kejadian terdapat warga yang menegur anggota TNI karena tidak menggunakan lampu mobil. Akibatnya  mobil ditahan. Tapi warga yang menahan mobil tersebut malah dianiaya.

BACA JUGA: