JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejumlah advokat dan seorang warga negara Nigeria merasa mendapat perlakuan diskriminatif dengan tidak memperoleh  upaya hukum yang sama berdasarkan peraturan perundang-undangan. Mirisnya, perlakuan diskriminatif itu justru mereka nilai ada pada forum Mahkamah Konstitusi, yakni pada ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).

Mereka mengaggap norma pengaturan kedudukan hukum (legal standing) pemohon warga negara asing dalam pengujian undang-undang itu menghambat kliennya sekaligus para advokat untuk memenuhi hak pemberi kuasa. "Jelas pasal dalam UU MK tersebut tidak sejalan dengan UUD 1945," tutur Iqbal Alif Maulana, pemohon sekaligus kuasa hukum para pemohon saat menyampaikan pokok-pokok permohonan di sidang perdana pengujian UU MK di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (22/12).

Pasal tersebut berbunyi: "Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai  dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum  publik atau privat; atau d. lembaga negara".

Pemohon yang terdiri dari Didit Wijayanto Wijaya, Antonius Sujata, Ahmad Murad, Erdiana, Ristan BP Simbolon, Hanung Hudiono, Iqbal Alif Maulana sebgai pemohon 1 dan Agbasi Chika sebagai pemohon 2, menilai ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) UUD 1945. Sebab, ketentuan hanya menyatakan "Warga Negara Indonesia", bukan "setiap orang".

Karena ketentuan tersebut, Agbasi mereka nilai telah diperlakukan secara tidak adil dalam proses peradilan sebagai seseorang yang telah dinyatakan bersalah melanggar UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) dan UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (UU Psikotropika).

Padahal persamaan di hadapan hukum yang diartikan secara dinamis dipercayai akan memberikan jaminan adanya akses untuk memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua orang tanpa memperdulikan latar belakangnya. Sementara dalam barang bukti baik yang ditetapkan dalam tingkat pengadilan negeri maupun tingkat kasasi tidak ada satu pun di dalamnya dinyatakan barang bukti berupa narkotika.

Di sisi lain, Agbasi telah diperlakukan sama dengan telah dinyatakan bersalah atas perbuatannya melanggar UU Narkotika dan UU Psikotropika, dan sedang menjalani hukuman untuk perbuatannya itu. Namun dalam hal untuk mendapatkan keadilan, berupa upaya hukum tidak sama. "Adanya Pasal 51 ayat (1) UU MK justru membatasi dan membedakan upaya hukum Pemohon 2," terang Iqbal.

Seharusya, lanjut dia, selama menyangkut persoalan persamaan dan keadilan sebgai bagian dari hak asasi manusia, tanpa kecuali, setiap negara dan perangkat atau lembaga yang ada didalam negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak asasi manusia pribadi-pribadi yang ada di dalam jurisdiksinya, termasuk orang asing sekalipun. Hal ini termaksud dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 mengandung makna bahwa hak asasi manusia dimiliki oleh siapa saja, sepanjang ia dapat disebut sebagai manusia.

Meskipun Agbasi berstatus warga negara asing, seharusnya , menurut Didit, hak untuk memperoleh keadilan adalah wajib diberikan kepada Agbasi, karena hak tersebut adalah milik setiap orang, bukan hanya warga negara tertentu saja. Termasuk perolehan pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum adalah hak asasi manusia yang sangat mendasar bagi setiap orang. Karena hal ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh keadilan bagi semua orang (justice for all).

"Seharusnya Pemohon 2 memperoleh hak asasi manusia yang sama dimanapun ia berada,"  tuturnya.  Termasuk ketika Agbasi berada di Indonesia yang nota bene sebagai negara hukum yang secara pasti melindungi setiap hak asasi manusia. Akibat pengabaian justice for all, para pemohon 1 merasa diperlakukan tidak adil dan dipermalukan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia karena semua upaya yang dilakukan dalam kepentingan pembelaan perkara Agbasi dianggap tidak bernilai. Mereka merasa telah dibatasi ruang pembelaannya.

Ia berpendapat, Agbasi yang telah dihukum berdasarkan undang-undang pemidanaan yang berlaku di Indonesia, seharusnya juga diakui sebagai pribadi di hadapan hukum di Indonesia. Sebab, Indonesia sebagai Negara Hukum yang dalam konstitusinya maupun Undang-Undang Hak Asasi Manusianya tidak membeda-bedakan hak asasi manusia. Dengan adanya Pasal 51 ayat (1) UU MK, menurut mereka, Pemohon 2 telah dirugikan hak konstitusionalnya sebagai pribadi di hadapan hukum dan hal tersebut bertentangan dengan 28I ayat (1) UUD 1945 dan ketentuan tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia.

Karena itu, dalam petitumnya, mereka memita MK menyatakan Pasal 51 ayat (1) MK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Menaggapi permohonan tersebut, sidang panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto menyarankan agar pemohon memperbaiki permohonannya. Sebab norma-norma yang dimohonkan pemohon pernah di uji materilkan ke MK. Diantaranya putusan perkara nomor 23/PUU-V/2007 dan nomor 73/PUU-VIII/2010. "ini penting untuk untuk memperkuat penyusunan keterkaitan atara petitum dengan positanya, " jelas Aswanto.

 

BACA JUGA: