JAKARTA, GRESNEWS.COM - Permohonan terpidana kasus suap Urip Tri Gunawan untuk mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung atas vonis 20 tahun penjara dinilai tidak memiliki bukti baru atau novum. Sehingga Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Mahkamah Agung  menolak permohonan tersebut.

Jaksa KPK Ahmad Burhanuddin menyampaikan, menurut ketentuan pasal 263 ayat (2), harus ada alasan yang menjadi dasar permintaan pengajuan PK. Pertama, apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa keadaan itu sudah diketahui pada saat sidang berlangsung. Dan hasilnya berupa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat diterima.

Kedua, apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu bertentangan satu dengan yang lain," ujar Jaksa Ahmad Burhanuddin saat membacakan tanggapan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (25/9).

Atau, apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Dalam pasal 263 ayat (3) disebutkan atas dasar alasan yang sama sebagaimana pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali. Apabila, dalam putusan itu perbuatan yang didakwakan dinyataka terbukti tetapi tidak diikuti suatu pemindanaan.

Selain itu, menurut Jaksa KPK lainnya Rini Triningsih, bukti baru (novum) diajukan mantan jaksa itu tidak beralasan. Menurut dia, dalih Urip dengan menyatakan ada tumpang tindih penyidikan kasus BLBI antara Kejaksaan Agung dan KPK keliru. Sebab, dia mengatakan dalil itu dipakai Urip buat menutupi dan mengaburkan fakta persidangan sebenarnya. Yakni Urip terbukti menerima suap dari obligor BLBI dari Bank BDNI, Syamsul Nursalim melalui Artalyta Suryani sebesar USD 660 ribu.

"Belum ditingkatkannya kasus BLBI ke penyidikan oleh KPK hingga saat ini merupakan keadaan lain, dan sama sekali tidak berhubungan dengan perbuatan terdakwa yang menerima sejumlah uang dari Artalyta Suryani," kata Jaksa Rini.

Pernyataan Urip, lanjutnya, soal tidak adanya kalimat perintah penahanan dalam amar putusan Mahkamah Agung juga bukanlah novum. Menurut dia, mestinya bila Urip merasa amar putusannya tidak lengkap, maka dia seharusnya mengajukan permintaan itu sesaat setelah ditahan tanpa ada surat penetapan perpanjangan penahanan dari MA.

"Namun pemohon PK tidak pernah mengajukan keberatan sampai pelaksanaan eksekusi. Berdasarkan hal-hal tesebut, maka alasan pemohon PK bukan merupakan novum sehingga harus dikesampingkan," tandasnya.

Jaksa Rini menambahkan kewenangan KPK dalam mengeksekusi terdakwa juga tidak bertentangan dengan hukum. Sebab menurut dia, selama ini seluruh eksekusi perkara yang sudah dinyatakan berkekuatan hukum tetap dilaksanakan oleh Jaksa KPK. Untuk itu ia berharap, Majelis Hakim menolak permohonan PK Urip dan menguatkan putusan MA  nomor 243 K / Pid.Sus/ 2008 pada 11 Maret 2009.

BACA JUGA: