JAKARTA, GRESNEWS.COM - Terdakwa kasus dugaan korupsi proyek Hambalang atau proyek-proyek lainnya dan pencucian uang Anas Urbaningrum lolos dari dakwaan kumulatif ketiga tindak pidana pencucian uang dalam pembelian izin tambang PT Arina Kota Jaya di Kutai Timur. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menilai Anas tak terbukti mengeluarkan  uang Rp3 miliar untuk pengurusan izin usaha pertambangan (IUP) atas nama PT Arina Kota Jaya di Kutai Timur.

Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum KPK mendakwa Anas dalam dakwaan ketiga dengan dakwaan pasal 3 ayat 1 huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah berdasarkan UU No 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang terkait pemberian uang untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan PT Arina Kota jaya. Namun dakwaan tersebut tidak dapat dibuktikan dalam proses persidangan.

Hakim Anggota Prim Haryadi mengatakan pada awal tahun 2010 ada pertemuan di Hotel Sultan yang dihadiri Anas, Isran Noor, Khalilur R. Abdullah Sahlawy alias Lilur, Muhammad Nazaruddin dan Gunawan Wahyu Budiarto. Dalam pertemuan itu, mereka membicarakan Ijin Usaha Pertambangan milik PT Arina Kota Jaya.

"Untuk membicarakan IUP atas nama PT Arina Kota Jaya seluas kurang lebih 5 ribu sampai 10 ribu hektar yang berada di dua kecamatan yaitu kecamatan Bengalon dan Kongbeng Kabupaten Kutai Timur," sebut Hakim Prim saat membacakan berkas putusan Anas di dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (24/9) sore.

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, Hakim Prim menyatakan pertemuan di Hotel Sultan telah disangkal oleh Anas, Isran, dan Lilur. Hanya Nazar yang membenarkan ada pertemuan itu. Namun Nazar tidak ingat kapan waktu pertemuan tersebut. Untuk itu, berlaku asas Unus testis, Nullus testis. Yaitu, keterangan satu orang saksi tidak bisa digunakan jika saksi lainnya yang jumlahnya lebih banyak, berbeda keterangannya.

Dalam dakwaan, sambung Hakim Prim, Nazar memerintahkan Wakil Direktur Keuangan Permai Grup saat itu Yulianis untuk mengeluarkan dana Rp 3 miliar dengan menerbitkan tiga lembar cek untuk pengurusan IUP melalui Lilur. Hal ini dibenarkan Lilur yang mengaku beberapa kali melakukan pertemuan dengan Nazar terkait tambang Batubara. Hal itu dilakukan Nazar, agar bisa memiliki tambang batubara dalam jumlah besar.

Untuk mewujudkan hal itu, Hakim Prim mengungkapkan,  Nazar meminta dicarikan 10 perusahaan yang akan digunakan untuk mengajukan permohonan IUP di Kutai Timur. Namun dari semua perusahaan tersebut hanya satu yang memenuhi syarat yaitu PT Arina Kota Jaya yang mana pengurus dan pemegang sahamnya adalah saksi Sarifah yang  juga karyawan Muhammad Nazaruddin.

Hakim mengatakan untuk pengurusan IUP tersebut, Lilur menerima tiga lembar cek Bank Mandiri dari Nazar. Jumlahnya Rp 2 miliar, Rp 500 juta dan Rp 500 juta. "Namun dari ketiga lembar cek itu hanya satu lembar yang bisa dicairkan Lilur. Sedangkan dua lembar cek lagi tidak bisa dicairkan," ujar Hakim Prim.

Hal itu, lanjut Hakim Prim, sesuai dengan keterangan Yulianis yang menyatakan sempat disuruh Nazar untuk membuat laporan kehilangan. Sehingga cek-cek tersebut tidak bisa dicairkan.

Berdasarkan pertimbangan di atas, Hakim Prim menilai Anas tidak memberikan bayaran sebesar Rp 3 miliar yang berasal dari Permai Grup kepada Lilur untuk pengurusan IUP PT Arina Kota Jaya. Dengan begitu, kata dia, oleh karena unsur dengan sengaja membayarkan atau membelanjakan harta yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana baik atas namanya sendiri maupun orang lain menurut hemat majelis tidaklah terbukti menurut hukum dilakukan oleh Anas.

Meski tak terbukti dalam pemberian uang untuk pengurusan Izin Usaha Pertambangan. Sejumlah dakwaan terkait tindak pidana pencucian uang oleh Anas bisa dibuktikan dalam persidangan. Diantaranya Anas terbukti menyamarkan sumber harta kekayaan berupa rumah dan tanah.

Dalam dakwaan kedua dari pasal 3 ayat 1 huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang perbuatan menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh dari perbuatan tindak pidana, disebutkan gaji Anas tak mencukupi untuk pembelian sejumlah aset. Selaku anggota DPR sejak 1 Oktober 2009 sampai 21 Agustus 2010 yang gaji seluruhnya 534 juta dianggap tidak mencukupi untuk membeli aset berupa rumah dan tanah. Rumah tersebut berada di Jalan Teluk Semangka seluas 639 meter persegi senilai Rp3,5 miliar dan di Jalan Selat Makassar senilai Rp690 juta yang dibeli melalui Nurachmad Rusdam.

"Di persidangan saksi Carel Ticulau menerangkan bahwa pengusaha Ayung yang sudah meninggal memberikan Rp5 miliar yang dicicil 4 kali, tapi sistem hukum Indonesia menyatakan butuh minimal 2 alat bukti dan kenyataannya hanya ada saksi Carel Ticualu yang menyatakan uang dari Ayung dan Ayung sudah meninggal dunia, sehingga keterangan satu saksi saja tidak bisa digunakan untuk meyakinkan hakim," ungkap hakim Prim.

Dalam tuntutannya  jaksa mengungkapkan Anas mendapatkan bantuan dana dari M Nazaruddin melalui Permai Grup sebesar Rp30 miliar dan 5,225 juta dolar AS untuk pemenangan sebagai Ketum Partai Demokrat dalam kongres di Bandung 2010. Uang tersbeut diketahui masih tersisa 1,3 juta dolar AS dan Rp700 juta. Uang tersebut kemudian disimpan untuk pembelian sejumlah aset berupa rumah dan tanah di Duren Sawit dan Mantrijeron.

Rumah dan bangunan lain milik Anas yang bisa dibuktikan sebagai tindak pidan pencucian uang adalah pembelian tanah seluas 200 meter persegi di Jalan DI Panjaitan No 57 Mantrijeron Yogyakarta dan diJalan DI Panjaitan No 139 Mantrijeron seluas 7.870 meter persegi senilai Rp15,74 miliar.

Hakim Sutio yang membacakan putusan terhadap Anas mengatakan menemukan kejanggalan dari kesaksian Nurachmad Rusdam yang mengaku membawa sebesar Rp1 miliar dari mertua Anas Atabik Ali. Sebab uang sebesar itu dikirim tidak melalui transfer tetapi dibawa menggunakan mobil, padahal beresiko membawa uang sebesar itu menggunakan mobil. Sehingga hakim menilai janggal. Selain itu pernyataan Atabik yang mengaku sisa pembayaran dilakukan dengan uang 1,1 Juta dolar Amerika dan emas batangan, yang ia kumpulkan sejak 1980 juga dinilai janggal.

Sebab berdasarkan penjelasan Steve Kessler US Department of Justice Office of Overseas Prosecution Development Assitance and Training melalui email mengatakan nomor seri pembayaran untuk pembelian tanah dan bangunan di mantri jeron adalah uang dolar baru yang dikeluarkan pada 2006. "Sehingga tidak benar Atabik Ali yang menjelaskan bahwa uang dolar AS dikumpulkan dengan cara membeli dolar sejak 1989," ungkap hakim.

Sehingga disimpulkan uang pembelian aset tersebut bukan berasal dari Atabik Ali. Tapi dari tindak pidana korupsi yaitu fee proyek-proyek pemerintah sebagai realisasi kerja sama Anas dengan Nazaruddin yang mendapatkan proyek-proyek pemerintah.

"Terdakwa terbukti menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul kekayaan telah terpenuhi dalam perbuatan terdakwa," kata anggota majelis hakim Prim Hariyadi dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.

Dalam kasus ini hakim memvonis Anas hukuman 8 tahun penjara, denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp57,59 miliar dan 5,26 juta dolar AS subsider 3 bulan kurungan.

 

BACA JUGA: