JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pembahasan RUU Revisi Perlindungan Saksi dan Korban, dinilai belum memberikan angin segar bagi perubahan yang diharapkan. Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban menilai salah satu yang poin penting yang masih luput dalam pembahasan ini adalah terkait hak-hak saksi dan korban.

Mereka menilai, sejak rapat Kerja teranggal 26 Agustus lalu, DPR telah menyerahkan DIM jawaban fraksi-fraksi atas RUU yang merupakan revisi atas UU No 13/2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban itu, kepada pemerintah sekaligus membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk melanjutkan pembahasan RUU tersebut. Kemudian pada tanggal 28-30 Agustus disusul tanggal 4-6 September, Panja  telah melakukan dua kali konsinyering atas RUU tersebut.

Namun menurut pihak koalisi, berdasarkan dokumen pembahasan dan hasil monitoring, pembahasan RUU itu justru berpotensi melemahkan substansi perlindungan saksi dan korban. "Hasil pembahasan juga cenderung mengabaikan kebutuhan nyata saksi, korban, pelapor dan justice collaborator di tataran yang lebih ideal," kata Supriyadi Widodo Eddyono, anggota koalisi dari ICJR dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Minggu (7/9).

Lemahnya substansi pembahasan tersebut dapat di lihat dari beberapa poin. Pertama, lemahnya definisi korban kejahatan, pengertian korban masih bersifat perorangan, belum mengakomodir korban yang secara sifatnya berbentuk sekelompok korban. "Secara khusus hasil pembahasan tersebut juga belum mengakomodir korban kejahatan seksual sebagai bagian penting dari hak saksi dan korban," ujar Zainal Abidin dari Elsam.

Kedua, sempitnya definisi whistleblower atau pelapor. Laporan whistleblower hanya hanya terbatas ke penegak hukum, dan tidak masuk ke pelaporan ke lembaga negara lainnya. Ketiga, definisi justice collaborator (JC) yang lemah. JC diartikan secara terbatas dalam mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama/berkaitan.

Keempat, cakupan kompensasi yang terbatas, dimana kompensasi hanya diberikan terhadap korban pelanggaran HAM berat dan terorisme. Kelima, cakupan bantuan korban (medis psikologis) yang terbatas. Bantuan medis dan psikologis terhadap korban hanya dibatasi diberikan pada korban pelanggaran HAM berat dan terorisme

Keenam, lemahnya perlindungan dan reward bagi juctice collaborator di Pasal 10A Ayat (3). Dihapuskannya reward khusus berupa dapat dilepaskan dari tuntutan bagi juctice collaborator, dan reward hanya terbatas pada memberikan keringanan hukuman kepada JC.

Sebaliknya, RUU ini malah banyak memberikan fasilitas-fasilitas khusus yang di berikan kepada anggota LPSK yakni fasilitas pengamanan dan hak imunitas atau perlindungan hukum atas tuntutan dan gugatan karena melaksanakan tugas. Koalisi menilai DPR dan Pemerintah terlalu berlebihan dalam memberikan hak-hak tersebut kepada anggota LPSK.

"Dukungan dan fasilitas keamanan dan hak imunitas sebaiknya di berikan kepada saksi dan korban bukan kepada anggota LPSK," kata Supriyadi tegas.

Bagi Koalisi, tidak ada satupun lembaga negara terutama anggotanya termasuk Presiden RI yang diberikan hak imunitas yang tidak dapat digugat secara perdata. Koalisi memandang, setiap pejabat negara atau pejabat public seharusnya dapat/boleh digugat secara perdata. "Apalagi jika ternyata anggota maupun lembaganya dalam melaksanakan kewenangan justru melakukan abuse of power atau perbuatan melawan hukum," ujar Supriyadi.

Karena itu, koalisi merekomendasikan fasilitas keamanan dan hak  imunitas bagi anggota LPSK agar dialihkan kepada saksi dan korban. Hak imunitas dan fasilitas keamanan bagi saksi dan korban ini justru yang belum terlihat dari hasil pembahasan DPR dan Pemerintah," ujar Supriyadi.

Sesuai dengan rencananya, Komisi III DPR RI sendiri berinisiatif untuk menyelesaikan RUU tersebut sebelum masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014 berakhir  pada 30 September 2014 mendatang. Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban ini sendiri merupakan usulan dari LPSK.

Revisi diusulkan karena LPSK menilai, ketentuan-ketentuan di dalamnya tidak spesifik memberi perlindungan terhadap saksi dan korban kejahatan. "Ada beberapa pasal yang tidak menjelaskan secara jelas bagaimana melaksanakan perlindungan, khususnya kepada whistleblower dan justice collaborator," kata Wakil Ketua LPSK Lili Pintauli Siregar, beberapa waktu lalu.

Lemahnya UU Perlindungan Saksi dan Korban membuat perlindungan maupun hak-hak saksi dan korban, seperti restitusi dan pembayaran ganti rugi oleh negara tidak optimal. Sebagai contoh, jaksa tidak dapat mengedepankan restitusi atau pembayaran ganti rugi dari pelaku terhadap korban kejahatannya karena dalil tuntutan jaksa penuntut umum lemah sehingga tidak mampu meyakinkan hakim.

LPSK berharap revisi UU tersebut dapat memperkuat peran lembaga-lembaga hukum, sehingga mampu meluaskan jangkauan perlindungannya tidak hanya kepada saksi dan korban tindak pidana yang terbatas, tapi juga seluruh tindak pidana, termasuk korban terorisme dan narkoba. "Diharapkan ada penguatan lembaga dan status LPS dalam sistem peradilan pidana. Hal itu dapat mengoptimalkan peran LPSK," ujarnya.

BACA JUGA: