JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penolakan terhadap pembebasan bersyarat pengusaha Hartati Murdaya terus bergulir. Bahkan penolakan atas pembebasan orang terkaya urutan ke 13 di Indonesia versi majalah Forbes ini datang dari berbagai kalangan. Baik penggiat anti korupsi, KPK selaku lembaga pemberantas korupsi, hingga mantan terpidana kasus korupsi.

Koalisi Masyarakat Anti Korupsi menyatakan menentang pembebasan bersyarat kepada Hartati. Menurut perwakilan Koalisi,  Bahrain,  koalisi mendesak Kemenkumham membatalkan Pembebasan Bersyarat terhadap bos perusahaan perlengkapan olahraga merek League tersebut. Ia beralasan, pembebasan yang diberikan kepada Hartati tidak sah alias cacat hukum karena dalam konteks pembebasan itu ada syarat yang diabaikan Kemenkumham.

"Tidak ada persetujuan dari KPK. Seharusnya dalam PB, Kemenkumham meminta masukan pihak yang melakukan penyelidikan dalam hal ini KPK," ujar Bahrain kepada dihubungi Gresnews.com, Rabu (3/8).

Selain itu, alasan lainnya Kemenkumham dalam proses pembebasan tidak memperhatikan unsur keadilan bagi masyarakat. Kemenkumhan dianggap Bahrain,  hanya memperhatikan unsur terpidana yaitu Hartati Murdaya.

Menurut pria yang juga menjabat Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) ini menilai keputusan tersebut bertentangan dengan semangat pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi. Kemenkumham sebagai lembaga pemerintah seharusnya menghukum setiap pelaku korupsi, bukan malah membebaskannya.

Untuk itu ia berharap Kemenkumham dapat menarik kembali keputusannya atas pembebasan Ketua Umum Walubi ini. Karena walaupun telah dibebaskan, menurut Bahrain, Kemenkumham bisa meralat keputusannya tersebut, karena institusi yang dipimpinnya. Selain itu Kemenkumham yang politisi Partai Demokrat itu juga mempunyai kewenangan untuk meralat keputusan itu. "Dalam konteks pejabat, bisa membatalkan keputusan itu sendiri. Tiap putusan apabila ada kekeliruan bisa ditinjau ulang," tandasnya.

Jika Kemenkumham bersikeras atas keputusannya tersebut, ia mengancam akan menggugat Kemenkumham ke Pengadilan. Karena keputusan ini dianggap mencederai hukum dan juga rasa keadilan masyarakat.

Penolakan terhadap pembebasan Hartati ini juga disampaikan mantan narapidana kasus suap Nunun Nurbaeti. Dalam surat terbukanya yang berjudul "Surat Terbuka Untuk Presiden SBY dan Presiden Terpilih Jokowi" yang dibacakan oleh kuasa hukumnya Ina Rachman, Nunun, menganggap Menteri Hukum dan HAM tidak adil dalam menerapkan PP Nomor 99 tahun 2012 tentang Pemberian Remisi, Asimilasi dan PB.

Nunun mengaku surat terbuka ini ditulis setelah dirinya mendapatkan informasi bahwa akan ada beberapa narapidana koruptor yang akan memperoleh PB termasuk Hartati Murdaya. Dirinya lantas mengumpulkan informasi bahwa alasan PB diberikan diantaranya karena Hartati telah menjalani 2/3 masa tahanan.

Nunun lalu membandingkan dengan perkara suap yang membelitnya. Dirinya divonis penjara dua tahun enam bulan dan dinyatakan inkracht pada 21 November 2012. Saat itu Nunun termasuk tahanan yang terkena peraturan pemerintah soal pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat sehingga dirinya penuh menjalankan hukuman dua tahun dan 6 bulan.

Sedangkan Hartati, divonis Majelis Hakim pengadilan Tipikor pada 4 Februari 2013 lalu dengan penjara dua tahun dan delapan bulan karena terbukti bersalah melakukan suap senilai Rp3 miliar kepada Bupati Buol Arman Batalipu terkait izin usaha perkebunan. Perkara Hartati dinyatakan inkracht (berkekuatan hukum tetap) pada 24 April 2013.

Dari sinilah menurut Nunun, ketidakadilan terjadi. Pasalnya Hartati Murdaya mendapatkan pembebasan bersyarat dengan hanya menjalani hukuman 22 bulan padahal PP No 99 Tahun 2012 sudah diberlakukan. Selain itu menurut Nunun, Hartati bukanlah Justice Collaborator sehingga terhadapnya tak layak mendapatkan pembebasan bersyarat. "Secara jelas ada diskriminasi dalam penerapan hukum terhadap diri saya," cetus Nunun.

Sebelumnya, KPK juga meminta Kemenkumham untuk mengkaji ulang pembebasan bersyarat Hartati Murdaya. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan pemberian pembebasan bersyarat tersebut seharusnya batal demi hukum karena tidak sesuai dengan persyaratan yang diatur dalam undang-undang.

Bambang menilai pemberian pembebasan bersyarat untuk Hartati tersebut tidak memenuhi persyaratan, salah satunya terkait status justice collaborator. Menurut dia, KPK tidak pernah memberikan Hartati status justice collaborator sehingga sedianya Direktur Utama PT Hardaya Inti Plantation itu tidak mendapatkan pembebasan bersyarat. "Asumsi dasarnya, tak mungkin pembebasan bersyarat dikasih kalau JC (justice collaborator) tak diberikan karena itu semacam akumulasi. Kalau itu tak dapat, bagaimana itu bisa bebas bersyarat?" ujar  Bambang.

BACA JUGA: