JAKARTA, GRESNEWS.COM - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan siap memberikan perlindungan terhadap korban perkosaan yang dilakukan oleh 15 pria di Lampung Timur. Lembaga ini juga menyatakan siap untuk memberikan rehabilitasi mental dan psikis terhadap korban yang masih dibawah umur.  Mengingat adanya campur tangan anggota legislatif, maka posisi korban menjadi sangat rawan mendapat ancaman baik fisik maupun hukum.

Kesanggupan itu disampakan Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai terkait santernya pemberitaan kasus tersebut di sejumlah media massa. LPSK juga mengkritisi adanya upaya perdamaian yang mengarah pada penghentian penyidikan tindak pidananya. LPSK  menilai pemberian uang dari pelaku tindak pidana terhadap korbannya tidak bisa dianggap sebagai tanda "perdamaian".

Uang yang diberikan baik sebagai biaya  pengobatan maupun pemakaman bagi korban meninggal, merupakan bentuk restitusi atau ganti rugi yang merupakan hak korban, tanpa mengurangi tuntutan hukum terhadap pelaku. “Bahkan tuntutan hukuman pidana selain penjara, bisa ditambahkan dengan tuntutan restitusi”, ujar Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai melaui rilis yang dikirim ke Gresnews.com, (29/1).
          
Pernyataan Abdul Haris itu menanggapi kasus yang terjadi di Lampung Timur, dimana seorang gadis yang dilaporkan diperkosa 15 orang hingga mengalami kebusukan rahim. Namun kedua orang tua korban yang merupakan warga Kecamatan Sekampung Udik, Lampung Timur merupakan petani miskin, sehingga tidak mengetahui langkah hukum apa yang musti mereka ambil menghadapi kasus anaknya tersebut. Pada perkembangannya, seorang anggota DPRD yang awalnya bermaksud membela korban, belakangan justru “memfasilitasi” perdamaian antara pelaku dan korban. Korban diberikan “uang damai” sebesar Rp 2 juta agar tidak melanjutkan kasusnya.

Menurut Abdul Haris hal tersebut merupakan contoh bahwa uang yang diberikan pelaku sampai saat ini masih dianggap uang perdamaian. Parahnya ‘perdamaian’ tersebut seringkali difasilitasi oleh aparat penegak hukum dengan modus cabut perkara. Padahal seharusnya uang tersebut memang hak korban dan kewajiban pelaku.

Namun terkait dengan proses pidananya, sudah seharusnya tetap berlanjut. “Apalagi pelecehan seksual bukan merupakan delik aduan, maka tidak ada alasan penegak hukum menerima pencabutan perkara dari korban. Hal ini juga sebagai peringatan terhadap calon-calon pelaku lain agar tidak melakukan perbuatan yang sama”, ujar Abdul Haris .

Namun yang kerap kali menjadi masalah adalah adanya stigma buruk terhadap korban pemerkosaan. Pemberian stigma ini sebenarnya kurang tepat, karena korban yang sudah menderita akibat pelecehan seksual masih menanggung malu akibat pandangan masyarakat. Padahal yang seharusnya masyarakat justru menyoroti tindakan pelaku yang sudah keluar dari norma hukum dan kesusilaan. Dukungan masyarakat terhadap korban, bisa membantu korban, dan juga keluarga korban, untuk kembali menjalankan perannya di tengah masyarakat.

BACA JUGA: