JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Keputusan Mahkamah Agung menolak gugatan sejumlah narapidana kasus korupsi yang keberatan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang pengetatan pemberian remisi terhadap narapidana dinilai sudah tepat. Pernyataan itu diungkapkan Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menanggapi pernyataan anggota DPR yang menilai penerapan PP tersebut melanggar hak asasi manusia.  "Justru yang korupsi itulah yang sudah melanggar HAM orang lain, orang banyak lagi," kata Ade kepada Gresnews.com pada Jumat (29/11).

Menurut Ade, para koruptor sebenarnya saat melakukan korupsi sudah banyak melanggar HAM orang lain yang ingin mendapatkan rumah murah, naik haji murah dan cepat, dan lain-lain. Jika tak dikorupsi dana itu menjadi fungsi negara untuk menjamin dan mensejahterakan rakyatnya.  Bahkan selain pengetatan remisi itu,  pemerintah seharusnya juga memberikan hukuman memiskinkan para tersangka. "Memiskinkan itu bukan berarti seluruh hartanya disita, tapi aset-aset yang hanya bersumber atau berkaitan dengan kasusnya itu," imbuh Ade.

Peneliti Senior Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan Abdul Malik Gismar mengatakan saat seseorang diputus karena kasus korupsi, harus dilihat dari sisi hak seorang warga negara. "Ketika ada kasus korupsi harus dilihat, yang diputus itu (melanggar) HAM-nya atau privilege-nya," kata Malik kepada Gresnews.com pada Jumat (29/11).

Menurutnya, harus dibedakan antara hak asasi seseorang dengan privilege atau fasilitas yang melekat. Privilege itu semisal, Surat Izin Mengemudi (SIM) bila kemudian terjadi pelanggaran lalu lintas dan terjadi beberapa kali, maka petugas dapat mencabut SIM-nya, karena ada aturan yang mengatur. Demikian juga terhadap kasus korupsi, narkotika, terorisme dan kejahatan HAM. Kebebasan mereka, sebagai hak asasi harus sementara dibatasi negara untuk menerima konsekuensi atas pelanggaran yang dilakukan.

Privilege, imbuh Malik, merupakan hak seseorang yang tidak lepas dari hukum yang berlaku. Maka apabila melanggar hukum hak itupun bisa dicabut atas dasar hukum yang berlaku.

Sebelumnya anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Eva Kusuma Sundari menyayangkan putusan Mahkamah Agung yang menolak gugatan sejumlah mantan narapidana terhadap penerbitan PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang dinilainnya melanggar dan bertentangan hak asasi manusia.



Eva juga menyayangkan Menteri Hukum HAM yang membuat aturan tersebut. Menurutnya, pemberian remisi, asimilasi dan pembebasan bersyarat merupakan kewenangan lembaga yudikatif bukan pemerintah.

Menurut politisi asal PDIP itu, PP tersebut tidak akan membuat jera para koruptor. Seharusnya yang dilakukan adalah memutus seberat-beratnya para koruptor di pengadilan. "Para hakim di bawah MA itu seharusnya tegas memutus para koruptor," kata Eva kepada Gresnews.com pada Jumat (29/11).

Sementara anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat Gede Pasek Suardika mengatakan dengan ditolaknya gugatan uji materi terhadap peraturan tersebut itu artinya Mahkamah Agung membenarkan terbitnya peraturan tersebut.  "Berarti itu MA membenarkan PP tersebut dan tetap berlaku." katanya melalaui pesan singkat kepada Gresnews.com.

PP Nomor 99 Tahun 2012 itu menyebutkan untuk mengetatkan pemberian remisi, asimilasi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus korupsi, terorisme, narkoba dan kejahatan HAM. Pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 pada Pasal  34 A Ayat (1) Huruf a dan b, serta Pasal 36 Ayat (2) Huruf c Angka 3 juncto Pasal 43 A Ayat (1) Huruf a, b dan c, menyatakan pemberian remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat hanya dapat diberikan apabila napi tersebut bersedia bekerja sama dengan penegak hukum dan membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukan (baca: justice collabolator) dan telah membayar lunas denda serta uang pengganti yang dijatuhkan pengadilan (khusus untuk korupsi).

Peraturan pemerintah ini juga diperkuat dengan Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-04.PK.01.05.06/2013 yang menyatakan bahwa PP itu berlaku hanya bagi narapidana yang sudah diputus dan berkekuatan hukum putusannya sejak 12 November 2012, atau berlaku tidak surut.

Sedangkan gugatan uji materi peraturan pemerintah diajukan oleh terdakwa kasus korupsi Rebino dan Jumanto yang diwakili pengacara Yusril Ihza Mahendra. Rebino dan Jumanto menggugat PP itu karena menilai aturan tersebut bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan adanya PP itu para penggugat merasa haknya mendapat remisi, asimilasi dan pembebasan bersyarat dilanggar.  (Mungky Sahid/dtc/GN-02)

BACA JUGA: