JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Kelautan dan Perikanan akhirnya mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26/PERMEN-KP/2013 tentang Perubahan Atas Pemen KP Nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Beleid baru tersebut sebenarnya sudah ditandatangani oleh Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Cicip Sharif Sutarjo sejak beberapa pekan lalu. Namun hingga Jumat (18/10), beleid yang mengatur usaha perikanan tangkap itu belum juga dipublikasikan secara resmi oleh pihak KKP.

Berdasar bocoran dokumen revisi yang diterima redaksi Gresnews.com, revisi ini memuat beberapa perubahan semisal tidak lagi mewajibkan pemilik kapal kumulatif di atas 200 GT untuk membangun pabrik pengolahan ikan. Para pemilik kapal di kelas itu justru diminta untuk bermitra dengan unit pengolahan ikan di dalam negeri. Pihak KKP sendiri, beralasan aturan mendirikan pabrik sendiri juga telah membuat permasalahan di industri perikanan nasional, yakni, soal minimnya pasokan bahan baku, tidak bisa diatasi.

Selain itu beberapa pasal dalam aturan itu juga melibatkan lintas direktorat jenderal (Ditjen) pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dengan adanya keterlibatan lintas Ditjen itu, pihak KKP berharap Permen 26 Tahun 2013 tersebut menjadi lebih fokus dan terarah serta dapat diawasi dengan baik.

Namun dari semua itu, poin yang dianggap paling krusial adalah dihapusnya aturan yang membolehkan kapal penangkap ikan berukuran di atas 1.000 GT dengan alat tangkap purse seine (pukat cincin) yang dioperasikan secara tunggal di Zona Ekonomi Eksklusif RI, mendaratkan ikan di luar pelabuhan pangkalan, baik pelabuhan dalam negeri maupun di pelabuhan luar negeri.

Aturan yang tercantum dalam pasal 69 ayat 3 Permen KP 30/2012 itu lebih dikenal dengan nama transhipment. Aturan ini mengundang kontroversi karena dianggap membolehkan dilakukannya pencurian ikan alias Illegal Fishing. "Jangankan yang 1.000 GT, kapal-kapal yang ada hari ini saja tidak mau melaporkan hasil tangkap yang sesungguhnya. Mereka melaporkan hasil tangkap yang tidak benar," kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Abdul Halim, kepada Gresnews.com.

Lahirnya pasal itu juga dinilai kontroversial karena sebenarnya pasal itu tidak ada dalam draft resmi yang beredar. Namun saat menjelang disahkan, pasal itu muncul. Dalam draft resmi terakhir yang dikeluarkan KKP sebelum ditandatangani menteri, ketentuan ayat 3 di Pasal 69 itu tidak ada.

Resminya, pasal itu memuat aturan sebagai berikut: "Dalam pelaksanaan transhipment, ikan wajib didaratkan di pelabuhan pengapalan sesuai dengan surat izin penangkapan ikan (SIPI) atau surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI)."

Tapi, tahu-tahu, dalam beleid yang diedarkan ada kata-kata: "Kecuali bagi kapal penangkap ikan yang menggunakan alat penangkapan ikan purse sein berukuran di atas 1.000 GT yang dioperasikan secara tunggal."

Klausul ini, kata sumber Gresnews.com, jelas merupakan klausul siluman yang disusupkan demi kepentingan bisnis. Kabarnya ada dua perusahaan asal Taiwan yang sudah deal dengan pihak KKP untuk pengadaan kapal berbobot 1000 GT.

Apalagi Permen KP 30/2012 juga memuat aturan soal impor kapal ini pada pasal 31 ayat 1 sampai 6. Khusus impor kapal berkapasitas 1.000 GT dari luar negeri diatur dalam ayat 6 (b). Karena itu, wajar jika banyak yang menduga, ada permainan bisnis perizinan di balik aturan ini.

Terkait soal ini, Menteri KKP Cicip Sharif Sutarjo memang tak banyak berkomentar. Bahkan dia kerap membantah isu miring tersebut. Cicip bilang, izin mendaratkan ikan hasil tangkapan langsung ke luar negeri itu diberikan karena melihat fokus tangkapan kapal 1.000 GT adalah ikan-ikan besar yang harus langsung sampai ke pelabuhan tujuan dalam kondisi segar.

Tetapi tetap saja beleid ini dinilai merugikan. Sebab jika ikan-ikan yang berkualitas tinggi dibongkar muat di pelabuhan luar negeri, maka pasokan ikan untuk industri dalam negeri bisa kolaps. Hasil penelitian Direktur Executive Indonesia for Global Justice (IGJ), Riza Damanik, pada 2007 mengungkapkan terjadinya penurunan jumlah industri perikanan di Sulawesi Utara akibat adanya pencurian ikan dan transhipment (alih muatan) ini.

Di kawasan Bitung, Sulawesi Utara, ada 17 perusahaan pengolahan ikan yang megap-megap karena pasokan ikan berkualitas grade A, B, dan C ke pabrik-pabrik makin menyusut. Tuna-tuna kualitas ini biasanya diolah dalam bentuk steak dan loin dan diekspor ke Amerika Serikat. Akibat maraknya illegal fishing, grade tuna yang banyak diterima pun hanya grade lokal yang laku di pasar lokal.

"Karena itulah, Permen KP 30/2012 yang malah melegalkan transhipment harus direvisi karena akan mematikan industri lokal. Sebaliknya, malah menyejahterakan nelayan asing," kata Riza kepada Gresnews.com.

Kini beleid kontroversial itu sudah direvisi, namun apakah persoalan selesai? Menurut Koordinator Advokasi Hukum dan Kebijakan KIARA, A. Marthin Hadiwinata, revisi tersebut tidak menyelesaikan permasalahan pencurian ikan di Indonesia. "Bahkan berpotensi tetap melanggar Pasal 25B UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan," kata Marthin kepada Gresnews.com.

Berdasarkan perubahan Pasal 19 persyaratan permohonan Surat Izin Penangkapan Ikan bagi kapal diatas 30 (tiga puluh) GT tidak diwajibkan memenuhi Surat Keterangan Pemasangan Transmitter vessel monitoring system. Surat keterangan pemasangan transmitter haruslah dikeluarkan oleh Pengawas Perikanan.

Kewajiban memenuhi surat keterangan pemasangan transmitter awalnya ditegaskan dalam Permen KP No. 30 Tahun 2012 yang kemudian direvisi dengan Permen 26 Tahun 2013 yang melonggarkan kewajiban menjadi surat pernyataan kesanggupan memasang dan mengaktifkan transmiter sebelum kapal melakukan operasi penangkapan ikan.

Persyaratan tersebut selain kepada kapal penangkapan ikan diatas 30 GT juga kepada usaha perikanan tangkap yang menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing. Dengan tidak diwajibkannya pemasangan transmitter vessel monitoring system kepada usaha perikanan tangkap oleh asing akan meningkatkan pencurian ikan di perairan Indonesia. Karena kapal perikanan akan menangkap ikan di luar wilayah penangkapan yang ditetapkan izin yang diberikan.

Permen Revisi Usaha Perikanan Tangkap tidak menjawab mandat UU Perikanan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menetapkan sistem pemantauan kapal perikanan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf e UU No. 45 Tahun 2009. Penangkapan ikan di luar daerah atau wilayah yang diberikan izin berarti melakukan pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 45 Tahun 2009 yang mewajibkan penangkapan ikan di daerah yang ditetapkan.

Selain itu, meski resminya Pasal 69 Ayat (3) yang kontroversial itu dicabut, ternyata beleid baru tetap membolehkan dilakukannya transhipment. Pengaturan mengenai transhipment dari antara kapal di atas perairan masih dimungkinkan dilakukan berdasarkan Permen 26 Tahun 2013.

Perubahan pengaturan alih muatan tidak berbeda dengan peraturan yang sebelumnya, yang hanya dipindahkan pasalnya ke Pasal 37 ayat (7), ayat (8), ayat (9) dengan tambahan Pasal 37A, Pasal 37B, dan Pasal 37C yang mengatur persyaratan usaha pengangkutan ikan dengan pola kemitraan.

Dengan masih diberikan kebebasan untuk melakukan alih muatan merupakan celah yang berisiko tetap terjadinya pencurian ikan. "Terlebih dengan adanya pengecualian terhadap komoditas tuna segar untuk wajib diolah di dalam negeri," kata Marthin.

Selain itu beleid baru ini juga tak menolong bagi industri karena komoditas Tuna Segar dikecualikan dari unit pengolahan ikan. Pasal 44 ayat (1) Permen 26 Tahun 2013 mengatur setiap perusahaan yang menggunakan kapal penangkap ikan dengan jumlah kumulatif 200 GT sampai dengan 2.000 GT wajib bermitra dengan Unit Pengolah Ikan. Namun, berdasarkan Pasal 44 ayat (3a) Permen 26/2013 kewajiban usaha perikanan dengan jumlah kumulatif 200 GT sampai dengan 2.000 GT untuk bermitra dengan Unit Pengolah Ikan dikecualikan bagi komoditas tuna segar.

Padahal, wilayah perairan Indonesia merupakan sebagian dari daerah penangkapan tuna (tuna fishing ground) dunia. Aturan Pasal 44 ayat (3a) yang mengecualikan penangkapan komoditas tuna segar tidak diwajibkan untuk diolah dalam negeri merupakan aturan yang akan merugikan sumber daya perikanan Indonesia.

Berbagai kapal penangkap ikan tuna dari Jepang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia dari yang terkecil sebesar 50 GT sampai berukuran lebih besar dari 300 GT.

Menurut Marthin, aturan pengecualian terhadap komoditas tuna merupakan pelanggaran terhadap Pasal 25B Ayat (2) UU Nomor 45 Tahun 2009. Pasal  25B Ayat (2) UU Nomor 45 Tahun 2009 mewajibkan kepada pemerintah untuk memprioritaskan produksi dan pasokan ke dalam negeri untuk mencukupi kebutuhan konsumsi nasional.  "Pasal ini merupakan kebijakan penting mengenai domestic obligation untuk memprioritaskan konsumsi protein bagi setiap warga negara Indonesia," ujar Marthin.

KIARA menilai kebijakan ini telah mengelabui publik yang khawatir dengan kebijakan pengelolaan perikanan Indonesia yang dinilai merugikan bangsa sendiri.

(GN-03)

BACA JUGA: