Jakarta - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Masyarakat Cipta Media(MCM) menilai adanya inkonsisteni dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar. Hal itu tercermin dari inkonsistensi pemikiran konsepsional tentang penyelenggaraan televisi digital dan model usaha terkait.

"Patut dipertanyakan adanya campur tangan yang tidak sehat dalam persaingan usaha dalam penyelenggaraan penyiaran multipleksing," kata Ketua MCM, Paulus Widiyanto dalam acara diskusi publik Sistem Penyiaran Nasional, di Jakarta, Kamis (12/1).

Menurut Paulus, masalah teknologi penyiaran digital yang mencakup beberapa dimensi tak cukup diatur oleh ketentuan setingkat menteri, melainkan harus dengan UU karena melibatkan pembahasan intensif antara DPR dan Pemerintah.

Selain itu, lanjut Paulus, banyak terminologi atau istilah yang terlalu dipaksakan, mengada-ngada, sehingga tidak sejalan dengan ketentuan baku pada peraturan yang lebih tinggi, misalnya Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LPPPS) dan Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM). Dalam Permen 39/2009 dikenal istilah penyelenggara Program Siaran dan Penyelenggara Infrastruktur, juga penyelenggara Multipleksing Publik dan Swasta.

Paulus juga melihat, dalam permen tersebut adanya pengecilan hak masyarakat dalam penyiaran karena tidak ada bantuan perolehan set-top-boks. Justru hanya memberikan waktu transisi yang cukup agar masyarakat memilik alat bantu penerima siaran digital. "Hal ini sangat membebani masyarakat atau bertentangan dengan kepentingan publik," ujar Paulus.

Kemudian, Permen tersebut tidak mencerminkan kebijakan publik soal pembiayaan dalam proses digitalisasi, terutama pembiayaan migrasi ke teknologi digital bagi LPP TVRI. Hal ini membuktikan bahwa tidak adanya strategi khusus untuk memperkuat LPP dalam dunia penyiaran nasional.

BACA JUGA: