Jakarta - Sembilan Hakim Konstitusi dalam amar putusannya mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian atas uji materiil Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No.37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Pasal 1 angka 13 UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

“Permohonan pemohon terkait inkonstitusionalitas larangan penggunaan nama Ombudsman beralasan menurut hukum. Menyatakan Pasal 46 UU ORI bertentangan dengan UUD 1945,” kata Ketua Majelis Hakim MK Moh. Mahfud MD, saat membacakan putusan di ruang sidang gedung MK, Jakarta, Selasa (23/8).

MK dalam pertimbangannya menilai, bahwa pembentukan lembaga Ombudsman adalah lazim dalam praktik universal di berbagai negara yang dilakukan baik pemerintah (pusat dan daerah) maupun lembaga swasta. Kata “Ombudsman” telah memiliki pengertian yang umum, bahkan diterima secara internasional sebagai fungsi independen dalam menerima keluhan, menginvestigasi, memberi alternatif penyelesaian hingga memberikan rekomendasi kebijakan.        

Sehingga jika terdapat monopoli istilah Ombudsman akan sangat mengganggu proses komunikasi publik dalam penyampaian gagasan. Hal ini akan mengganggu hak berkomunikasi dan kebebasan untuk menyampaikan pendapat yang dijamin dalam konstitusi. Mahkamah menilai lembaga ombudsman tidak dapat dimonopoli oleh negara.

“Karena itu larangan pembentukan lembaga dengan nama ombudsman oleh lembaga selain ORI tidak sejalan dengan perlindungan konstitusional yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” papar hakim konstitusi M. Akil Mochtar.           

Mahkamah juga berpendapat tidak ada persoalan konstitusionalitas penyebutan ombudsman sebagai lembaga negara sepanjang lembaga ombudsman dibentuk oleh negara atau organ negara. Dengan demikian Pasal 1 angka 13 UU Pelayanan Publik hanya berlaku bagi ombudsman yang dibentuk oleh negara atau pemerintah. Namun, tidak berarti lembaga nonpemerintah tidak dapat membentuk lembaga ombudsman meski tanpa harus disebut sebagai lembaga negara.

Salah kuasa hukum pemohon, Uli Parulian Sihombing menyambut baik putusan yang mengabulkan sebagian permohonan uji materiil UU ORI dan UU Pelayanan Publik ini. “Pasal 46 UU ORI dicabut/dihapus karena dianggap bertentangan dengan asas kepastian hukum dan nama ombudsman bersifat universal yang boleh digunakan lembaga lain selain lembaga pemerintah, itu saja sebenarnya inti putusannya. Kalau dalil yang terkait otonomi daerah ditolak,” ungkap Uli, usai sidang.

Dengan adanya putusan ini, kata Uli, lembaga-lembaga ombudsman yang sudah ada di daerah tetap diakui keberadaannya. “Dampak dari putusan ini, ombudsman daerah yang sudah ada tetap eksis karena Pasal 46 UU ORI dinyatakan secara otomatis tidak berlaku,” tandas Uli.

Sebelumnya, dalam permohonan pemohon dikatakan, Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU 37/2008 dan Pasal 13 UU 25/2009 bertentangan dengan UUD 1945, serta materi muatan pengaturan ombudsman bukanlah materi muatan UU akan tetapi meteri muatan peraturan daerah yang menjadi wewenang pemerintah daerah. Sehingga larangan mengunakan nama ombudsman seperti terhadap nama ombudsman yang telah dibentuk oleh para pemohon dianggap melanggar konstitusi.

Para pemohon adalah, Ilham Arief Sirajuddin (walikota makasar), Mulyadi Hamid (Komisioner Ombudsman Makassar), Bagus Sarwono (Anggota Ombudsman DIY), Ananta Heri Pramono (Anggota Ombudsman swasta DIY), Syahrul Eriadi (Anggota Ombudsman Kab. Asahan), Syamsuddin Alimsyah (Koordinator KOPEL), Bahar Ngintung (Anggota DPD RI).

BACA JUGA: