JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pernyataan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Thony Saut Situmorang yang menyebutkan istilah "gunung es" dalam kasus-kasus yang diungkap belakangan ini kian mengena. Tampak benar beberapa kasus korupsi, terutama yang dimulai dengan operasi tangkap tangan (OTT), terlihat hanya sebagai "pemanasan" semata.

Saut mengatakan alasan penyebutan istilah tersebut karena ia tidak melihat sebuah kasus korupsi hanya dari permukaannya saja. Tetapi, kata dia, kasus tersebut harus bisa diusut hingga tuntas, terlebih lagi bila melibatkan beberapa pihak yang jauh lebih besar.

"Saya selalu bilang, melihat sesuatu itu jangan lihat permukaannya tapi di bawahnya itu, dan korupsi tidak pernah berdiri sendiri," kata Saut ketika menghadiri acara Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Jumat (22/4).

BACA: Rumor Lippo di Balik Suap Panitera PN Jakpus

Menurut Saut, KPK memang tidak bisa secara gamblang menyebutkan adanya dugaan keterlibatan tokoh-tokoh maupun korporasi kakap dalam beberapa kasus korupsi yang sedang ditangani. Sebab, ujarnya, bila itu dilakukan, selain bisa mengganggu jalannya proses penyidikan, KPK juga menghormati asas praduga tak bersalah.

Meskipun begitu, lanjutnya, seharusnya para awak media bisa menangkap tanda-tanda ke arah mana kasus tersebut akan bermuara. "Kalau kalian bisa nangkap sinyal itu ya tangkaplah, kalau tidak bisa tangkap gak usah nulis kalian," tuturnya.

Namun, saat ditanya mengenai "gunung es" dalam kasus suap yang melibatkan Panitera/Sekretaris (Pansek) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Edy Nasution dan Doddy Aryanto Supeno dari PT Paramount Enterprise International (Paramount Group) yang merembet pada dugaan kuat keterlibatan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, Saut enggan mengatakannya. Termasuk saat dikonfirmasi awak media mengenai adanya "gunung es" di tubuh PT Paramount Enterprise International yang juga turut digeledah tim penyidik.

"Gak gak gak. Kalau saya bilang kami jangan spesifik di kasus itu, masih didalami. Kalian hanya menangkap sinyalnya, kami sudah mulai mencekal artinya apa, kasihan dong teman-temannya lagi kerja, gak usahlah spesifik ke perusahaannya atau kasusnya, entar gue "dipukulin" di dalam (KPK)," tuturnya.

KORPORASI BESAR - Mantan staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN) itu memang tidak secara gamblang menyebut adanya keterlibatan pihak lain dalam kasus ini. Namun, ia memberi beberapa tanda ke mana arah proses penyidikan yang saat ini dilakukan akan berkembang.

Pertama, mengenai pencegahan ke luar negeri. KPK telah meminta Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM untuk mencegah Nurhadi bepergian ke luar negeri. Surat pengajuan cegah itu dikirimkan hanya berselang sehari setelah operasi penangkapan Edy dan Doddy.

"Baru saja ada surat perintah dari pimpinan KPK untuk pencegahan. Ditjen Imigrasi telah menindaklanjuti dan dicegah berdasarkan Keputusan Pimpinan KPK NO: KEP-484/01-23/04/2016, tgl. 21/04/16, an. Nurhadi," ujar Dirjen Imigrasi Ronnie Sompie, kemarin.

Kemudian, sinyal kedua, Saut membenarkan kalau ada dugaan keterlibatan salah satu korporasi kakap di Indonesia. Saat ditanya apakah korporasi itu sama besarnya dengan PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) dan PT Agung Sedayu Group, yang para pimpinan atau pengendalinya diduga terseret kasus suap reklamasi Teluk Jakarta, Saut mengamininya. "Saya pikir grup besar. Most likely the same lah ya, orang konglomerat, konglomerat juga," pungkas Saut.

Namun saat ditanya lebih rinci mengenai perkara itu, Saut dengan tegas menolak. Termasuk saat ditanya mengenai hubungan antara Edy Nasution dan Doddy Aryanto Supeno dari PT Paramount Enterprise International (Paramount Group) yang sudah menjadi tersangka, dengan Sekretaris MA Nurhadi yang sudah dicegah ke luar negeri, Saut pun enggan menjelaskannya. "Oh jangan di sini lah, nanti kami periksa dulu," tuturnya.

Informasi yang dihimpun oleh gresnews.com dari sumber-sumber di internal KPK mengkonfirmasi bahwa uang Rp50 juta yang menjadi barang bukti dalam operasi tangkap tangan itu berkaitan dengan salah satu perkara perdata yang akan didaftarkan proses peninjauan kembalinya (PK) di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Uang tersebut diduga "hanya" bertujuan untuk memuluskan proses administrasi permohonan perkara.

Pemberian uang tersebut terjadi di Hotel Acacia, Kramat Raya, Jakarta Pusat. Sementara itu, masih dari informasi yang sama, pemberian uang Rp100 juta pada Desember 2015 diduga berkaitan dengan urusan kasus yang lain. Dalam proses penggeledahan ditemukan sejumlah uang lain di luar hasil tangkap tangan Edy dan Doddy. Uang tersebut didapat di kantor PT Paramount Enterprise International di Gading Serpong, Tangerang; kantor Sekretariat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; rumah Nurhadi di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan; dan ruang Sekretaris Mahkamah Agung.

Paramount Land adalah anggota dari PT Paramount Enterprise International. Proyek properti yang terkenal dari Paramount Land adalah Gading Serpong, Tangerang, seluas 1.200 hektare. Pengembang ini tengah membidik sejumlah proyek properti di kawasan barat dan selatan Jakarta, termasuk Bogor dan Tangerang.

Pada 2015, Paramount Land menggelontorkan belanja modal Rp1,5 triliun untuk mengembangkan proyek di Jawa, Sumatera, dan Bali. Selain itu, Paramount Land juga akan membangun kawasan mixed-use development di Central Business District (CBD) Jakarta, Riau, Bali. Sejumlah lahan di Semarang, Manado, dan Balikpapan juga sudah diakuisisi perusahaan ini untuk pembangunan real estat.

Berdasarkan catatan Kepaniteraan Mahkamah Agung, terdapat satu kasus perdata nomor 268 K/PDT/2013 antara pemohon kasasi Ella Rosdiana dan termohon PT Paramount Land Development, dengan klasifikasi perbuatan melawan hukum (PMH). MA menolak kasasi pemohon pada 30 Juli 2013. Majelis hakim adalah Abdul Manan, Abdul Gani Abdullah, dan Mohammad Saleh. Gugatan ini terkait dengan sengketa lahan di Curug Sangereng dan Cihuni, Tangerang.

Namun belum dipastikan apakah kasus suap yang melibatkan Panitera/Sekretaris PN Jakarta Pusat Edy Susanto di KPK terkait dengan peninjauan kembali perkara tersebut.

Sebagai catatan, pengendali Paramount Group adalah Elizabeth Sindoro. Dia mengambil alih kendali perusahaan dari mantan suaminya, Handiman Tjokrosaputro, yang meninggal dunia. Majalah Globe Asia 2014 menobatkan Elizabeth dalam daftar 150 orang terkaya Indonesia dengan total kekayaan US$255 juta (Rp3,35 triliun).

Elizabeth Sindoro adalah kakak Eddy Sindoro. Eddy adalah Chairman Paramount Enterprise International. Sebelumnya Eddy pernah menjabat sejumlah posisi direksi dan komisaris di perusahaan grup Lippo antara lain CEO Lippo Cikarang Tbk (1992-1997), Presiden Komisaris PT Lippo Cikarang Tbk (2000-2009). Pernah pula berkiprah di PT Lippo Karawaci Tbk, PT Bank Lippo Tbk, PT Siloam Healthcare Tbk, PT Lippo Land Development Tbk, dan PT Matahari Department Store Tbk.

Adik Eddy adalah Billy Sindoro. Billy divonis 3 tahun penjara pada 2009 di tingkat Peninjauan Kembali dalam kasus suap Rp500 juta kepada Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) M. Iqbal. Majelis hakim PK saat itu diketuai Artidjo Alkostar. Kapasitas Billy saat itu adalah Direktur Utama PT First Media Tbk (Lippo Group). Lippo adalah imperium bisnis yang dikendalikan oleh Mochtar Riady.

Billy memiliki jejak karier yang panjang di perusahaan grup Lippo. Antara lain ia pernah menjadi CEO PT Siloam Health Care Tbk, Direktur PT Lippo Karawaci Tbk, Presiden Direktur Lippo Telecom, Direktur Utama PT Bank Lippo Tbk, Presiden Direktur AIG Lippo Life, Presiden Komisaris PT Lippo General Insurance Tbk, dsb. Billy bekerja di Lippo sejak 1986.

BARU JERAT DUA TERSANGKA - Sebelumnya KPK telah menjerat dua orang tersangka dalam operasi penangkapan yang dilakukan kemarin. Mereka adalah Panitera/Sekretaris PN Jakarta Pusat Edy Nasution dan Doddy Aryanto Supeno (PT Paramount Enterprise International).

"Setelah melakukan pemeriksaan 1 x 24 jam pascapenangkapan dan memutuskan meningkatkan status ke penyidikan sejalan penetapan EN sebagai tersangka penerima (suap)," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (21/4).

Eddy diduga menerima suap dari Doddy terkait pengajuan PK yang didaftarkan di PN Jakpus. Uang suap yang diberikan sebesar Rp50 juta. Namun pemberian itu tidak hanya sekali, karena sebelumnya diberikan juga pada Desember 2015 sekitar Rp100 juta.

Atas tindakan yang dilakukannya, Edy dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 Ayat (1) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Selain itu, KPK juga menetapkan Doddy yang turut diamankan dalam OTT kemarin sebagai tersangka pemberi suap. "Sebagai tersangka pemberi, DAS disangkakan dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 Ayat (1) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP," ujar Agus.

Diberitakan, dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar pada Rabu (20/4), Tim Satgas KPK menangkap EN dan DAS di area parkir basement salah satu hotel di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Penangkapan yang berlangsung sekitar pukul 10.45 WIB ini dilakukan setelah EN menerima uang dari DAS. Uang sebesar Rp50 juta dengan pecahan Rp100 ribu yang disimpan dalam sebuah paperbag bermotif batik itu diberikan DA kepada EN terkait pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang didaftarkan di PN Jakpus.

BACA JUGA: