JAKARTA, GRESNEWS.COM - Putusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan seluruh partai politik calon peserta Pemilu 2019 harus mengikuti verifikasi faktual, dinilai DPR bakal menimbulkan kerepotan baru dalam menghadapi Pemilu 2019. Kerepotan tersebut bakal dihadapi oleh Komisi Pemilihan Umum yang harus mengubah beberapa peraturan.

Anggota Komisi II DPR RI Yandri Susanto menyebutkan Keputusan MK tersebut mengharuskan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengubah beberapa aturan terkait Pemilu Serentak 2019. "Keputusan MK ini bermasalah dalam hal teknis, yang kita sayangkan kenapa hal yang sangat urgent begini MK menganggap enteng. Saya juga tidak tahu apakah Mendagri, KPU atau Bawaslu dihadirkan dalam putusan MK," ungkapnya saat rapat dengar pendapat  dengan KPU, Bawaslu dan Ditjen Otda di KK II Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (15/1).

Putusan MK mengharuskan semua partai politik yang akan berlaga di 2019 melewati tahap verifikasi faktual. Padahal, sebelumnya parpol peserta Pemilu 2014 tak mesti menjalani proses tersebut.

"Atas persamaan ini saya nggak tahu apa solusinya. apakah hadapi saja, karena Februari masa pengumumam partai politik, atau pemilu diundur. Maka dari itu, penting membuat kesepakatan agar tidak merusak semua tahapan pemilu," tegasnya, seperti dikutip dpr.go.id.

Hal senada juga disampaikan anggota Komisi II DPR Ace Hasan Syadzily. Dia mengatakan KPU harus tetap menjalankan Keputusan MK. Namun Ace menyarankan untuk tidak bertentangan dengan UU Pemilu, terutama soal batas waktu ditetapkan dalam UU.

"Upaya kebijakan KPU soal verifikasi faktual partai politik haruslah tidak bertentangan dengan UU, di samping tetap menjalankan keputusan MK tersebut. Untuk itu, diperlukan adanya payung hukum verifikasi faktual parpol dengan melakukan perubahan terhadap waktu yang ditetapkan tersebut," jelasnya.

Lebih lanjut politisi partai Golkar itu mengatakan, agar putusan MK tak bertentangan dengan UU Pemilu ialah penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu. "Agar proses tahapan pemilihan legislatif itu tidak terganggu dan memerlukan waktu yang cepat, maka penting kiranya untuk dipertimbangkan adanya Perppu terhadap penetapan parpol peserta pemilu yang harus ditetapkan 14 bulan sebelum pemilu. Ini penting agar tidak melanggar peraturan yang ada," imbuh dia.

Sementara itu, anggota Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin mengharapkan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat melakukan simulasi terkait hal tersebut. Yanuar menuturkan, KPU perlu menyimulasikan putusan MK tersebut dengan penjadwalan dan landasan yang ada.

"KPU harus membuat simulasi dengan seluruh penjadwalan yang ada. Verifikasi faktual ini landasannya apa, sensus atau populasi. Dari segi ini saja kita melihat ada sesuatu yang harus segera diselesaikan," ujar Yanuar.

Politisi F-PKB ini menyebut, KPU diminta agar segera melakukan beberapa hal, seperti Sipol dan update SK. Ia berharap Sipol dan update SK tak hanya jadi bagian dari persiapan pemilu. KPU pun diminta untuk bekerja cepat terkait update yang terjadi di setiap partai politik.

"Belajar dari kasus putusan MK, ini ada hal-hal yang harus kita lakukan secara cepat. Sipol ini kita kenapa tidak kita buat menjadi bukan hanya dari bagian persiapan pemilu, tapi jadi pekerjaan rutin. Seperti update SK. Setiap ada pergantian struktur langsung dicek, di-update SK. Terlepas dari pileg atau pilkada," tandas politisi asal dapil Jawa Barat itu.

TIDAK BOLEH ADA PERLAKUAN BERBEDA - Sebelumnya MK memutuskan seluruh partai politik calon peserta Pemilu 2019 harus mengikuti verifikasi faktual. Hal itu sesuai dengan putusan MK yang mengabulkan permohonan uji materi Pasal 173 Ayat (1) dan (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Uji materi tersebut sebelumnya ‎diajukan oleh Ketua Umum Partai Islam Damai dan Aman (IDAMAN) Rhoma Irama dengan Nomor 53/PUU-XV/2017

Mahkamah menyatakan frasa "telah ditetapkan" dalam Pasal 173 Ayat (1) dan (3), UU Pemilu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. "Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan frasa ´telah ditetapkan´ dalam Pasal 173 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyatakan Pasal 173 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujar Ketua MK Arief Hidayat didampingi delapan hakim lainnya, saat membacakan putusan tersebut.

Rhoma Irama selaku pemohon, menilai pasal yang digugat bersifat diskriminatif. Sebab, aturan tersebut memberikan perlakuan berbeda pada partai lama dan partai baru. Dengan kata lain, ketentuan itu berstandar ganda. "Dengan berlakunya ketentuan tersebut, parpol peserta Pemilu 2014 dapat langsung mengikuti Pemilu 2019 tanpa adanya proses verifikasi. Sementara parpol baru mesti mengikuti proses verifikasi faktual untuk menjadi peserta pesta akbar demokrasi yang berlangsung pada 2019 mendatang," ujar Rhoma.

Dalam pendapat Mahkamah, Wakil Ketua MK Anwar Usman  menjelaskan Mahkamah pernah memutus perkara mengatur pembedaan perlakuan antarpartai politik calon peserta Pemilu meski dalam undang-undang yang berbeda, yakni Pasal 8 Ayat (1) Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 52/PUU-X/2012 bertanggal 29 Agustus 2012, telah menyatakan norma Pasal 8 Ayat (1) UU a quo bertentangan dengan UUD 1945.

Anwar mengungkapkan berdasarkan pertimbangan dalam pengujian terhadap ketentuan UU 8/2012 yang mengandung perlakuan berbeda terhadap partai politik calon peserta Pemilu, dapat ditarik benang merah yang harusnya dipedomani pembentuk undang-undang dalam menentukan syarat maupun untuk menerapkan syarat kepada setiap calon peserta Pemilu. Benang merah tersebut, yakni norma UU Pemilu tidak boleh memuat norma yang pada pokoknya mengandung perlakuan berbeda terhadap calon peserta Pemilu.

"Perlakuan berbeda bertentangan dengan hak atas kesempatan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Kemudian, perlakuan berbeda terhadap partai politik calon peserta Pemilu dapat dihindari dengan cara bahwa dalam pelaksanaan Pemilu, setiap partai politik calon peserta Pemilu harus mengikuti verifikasi," kata Anwar dalam pertimbangannya, seperti dikutip laman mahkamah konsitusi.

Menurut Mahkamah, perlakuan berbeda terhadap calon peserta Pemilu merupakan hal yang bertentangan dengan Konstitusi. Hal tersebut bukan hanya karena bertentangan dengan hak untuk mendapat kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945, melainkan juga karena perlakuan berbeda menjadi penyebab terjadinya ketidakadilan Pemilu.

"Bahwa untuk memastikan tidak ada perlakuan berbeda terhadap setiap calon peserta Pemilu, dari dua kemungkinan alternatif jalan yang dapat ditempuh sebagaimana dimuat dalam Putusan a quo, Mahkamah telah menentukan caranya, yaitu dengan melakukan verifikasi terhadap seluruh partai politik calon peserta Pemilu 2014. Sementara pembentuk UU Pemilu dalam merumuskan Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu justru memberikan perlakuan yang berbeda terhadap partai politik yang memiliki kursi di DPR berdasarkan hasil Pemilu 2014,"  tutur Anwar saat membacakan Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017 tersebut.

Anwar melanjutkan sekalipun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, Mahkamah menyatakan verifikasi dilakukan terhadap seluruh partai politik calon peserta Pemilu 2014, namun guna menghindari adanya perlakuan berbeda terhadap partai politik calon peserta Pemilu 2019, pertimbangan dimaksud juga relevan dan harus diberlakukan untuk setiap partai politik calon peserta Pemilu 2019. Bahkan, tidak hanya untuk Pemilu 2019, melainkan juga untuk Pemilu anggota DPR dan DPRD dalam Pemilu periode-periode selanjutnya.

"Alasan mendasar lainnya mempertahankan verifikasi adalah untuk menyederhanakan jumlah partai politik peserta Pemilu. Dalam batas penalaran yang wajar, bilamana dalam setiap penyelenggaraan Pemilu tidak dilakukan verifikasi terhadap semua partai politik calon peserta Pemilu, maka jumlah partai politik akan cenderung terus bertambah," terang Anwar.

BACA JUGA: