JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang terus memburu Setya Novanto dalam penyidikan kasus korupsi E KTP. Dari berbagai saksi yang diperiksa, KPK menegaskan sudah mendapat gambaran lebih jelas terkait transaksi duit haram dalam pusaran kasus itu.

Sampai saat ini, Novanto sendiri memang belum diperiksa KPK. Yang bersangkutan pun terus melakukan perlawanan dengan mengajukan praperadilan penetapannya sebagai tersangka. Namun hal itu tidak menjadi masalah besar bagi KPK.

"Kita periksa 1 orang saksi tadi dari pihak swasta. Kita semakin mendapat gambaran lebih jelas terkait indikasi transaksi keuangan dalam proyek e-KTP," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (13/9).

Febri menyebut dalam beberapa hari terakhir para saksi banyak memberikan informasi terkait indikasi tersebut. KPK pun akan terus mengejar aliran dana terkait indikasi tersebut.

"Jadi para saksi yang kita periksa dalam beberapa hari ini juga memberikan informasi tentang apa yang dia ketahui terkait indikasi transaksi keuangan dalam proyek e-KTP. KPK akan terus mengejar indikasi aliran dana pada sejumlah pihak ini untuk kepentingan pemulihan keuangan negara. Jadi penanganan e-KTP masih terus kita proses sampais saat ini," papar Febri.

Dalam kasus tersebut, 2 terdakwa yaitu Irman dan Sugiharto telah divonis bersalah. Sedangkan seorang tersangka lainnya yaitu Andi Agustinus alias Andi Narogong masih menjalani persidangan. Sementara itu, tersangka lain yaitu Setya Novanto dan Markus Nari masih dalam proses penyidikan.

Selain itu, KPK masih berupaya membuktikan apa yang didakwakan pada Irman dan Sugiharto dengan cara mengajukan banding. Pasalnya, dalam vonis Irman dan Sugiharto, banyak nama-nama yang hilang.

Salah satunya yaitu ketika jaksa KPK menyebutkan dalam dakwaan Irman dan Sugiharto yaitu setelah adanya kepastian tersedianya anggaran untuk proyek e-KTP, di ruang kerja Setya Novanto di lantai 12 gedung DPR dan di ruang kerja Mustokoweni, selanjutnya Andi Narogong beberapa kali juga memberikan sejumlah uang kepada pimpinan Banggar DPR.

Jaksa KPK menyebut mereka yang menerima adalah Melchias Marcus Mekeng selaku Ketua Banggar sejumlah US$1,4 juta dan 2 Wakil Ketua Banggar, yaitu Mirwan Amir serta Olly Dondokambey, masing-masing US$1,2 juta, dan Tamsil Linrung sejumlah US$700 ribu.

Selain itu, ada pula deretan nama-nama lain. Saat sidang tuntutan dan dakwaan jaksa menyebut ada 13 anggota DPR aktif yang diduga menerima dana korupsi e-KTP. Namun majelis hakim menyebut hanya 3 nama anggota DPR yang terbukti menerima aliran dana korupsi e-KTP.

Miryam S Haryani terbukti menerima US$1,2 juta, Markus Nari menerima US$400 ribu dan Rp4 miliar, serta Ade Komarudin sebesar US$100 ribu. Tercatat tidak ada nama Gamawan Fauzi, Anas Urbaningrum, Ganjar Pranowo, Yasonna Laoly, Marzuki Alie dan sejumlah nama besar lain yang disebut majelis hakim dalam vonisnya.

Oleh sebab itu, KPK mengajukan banding atas vonis itu. KPK berharap nama-nama yang disebutkan sebelumnya dapat dimunculkan kembali.

"Saya kira sudah pernah disampaikan sebelumnya, soal pengajuan banding alasannya apa, termasuk terkait dengan ada beberapa nama dan fakta persidangan yang belum disampaikan oleh hakim. Dalam banding ini tentu hakim akan melakukan pertimbangan dengan lebih kompleks, yang memperhatikan fakta-fakta hukum yang juga sudah muncul sebelumnya di fakta persidangan secara lebih utuh dan menyeluruh," jelas Febri.

KPK memang didesak untuk menggunakan pasal-pasal tindak pidana pencucian uang untuk menjerat para tersangka kasus E KTP sekaligus menelusuri pihak-pihak yang menikmati duit korupsi itu. Terkait hal itu, KPK telah mengantongi data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait kasus korupsi proyek e-KTP. KPK pun serius menelusuri tindak pidana pencucian uang (TPPU). "Sudah, sudah (dapat data dari PPATK)," ucap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (17/8).

Alex pun yakin bila potensi pencucian uang ada di kasus tersebut. Dia juga menyatakan KPK akan serius mengikuti arus uang dalam kasus itu. "Oh ada, ada (potensi TPPU). Bisa, sangat bisa (menerapkan TPPU di kasus e-KTP), kenapa nggak?" ucap Alex.

Bila berdasar pada vonis terhadap Irman dan Sugiharto dalam kasus itu secara terang menyebutkan bila proyek itu merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun. Sedangkan, aset yang baru disita KPK tak sampai angka itu. Alex pun menyebut upaya KPK yaitu dengan penelurusan TPPU tersebut.

"Masih banyak, makanya kita bekerja sama dengan PPATK. Itu kan sebetulnya simpel saja, dari pemerintah masuk satu rekening konsorsium. Dari konsorsium ini menyebar kemana nih, uang ini yang Rp5,9 triliun mengalir ke mana, ini yang kita telusuri. Misalnya dari konsorsium masuk ke anggota konsorsium, dari anggota konsorsium masuk mana lagi? Itu disub-sub kan, kita kejar lagi. Nah setelah dari situ kita lihat lagi berapa sih ongkos produksi e-KTP, berapa itu? Terus siapa yang menikmati selisihnya itu, yang dari hasil audit Rp2,3 triliun itu. Nah pengembangannya ke situ, follow the money," ucap Alex.

Sebelumnya tentang penerapan TPPU itu sudah lebih dulu disampaikan ahli pencucian uang Yenti Garnasih pada Jumat (24/3). Yenti menilai pasal pencucian uang efektif untuk mengusut aliran uang korupsi.

"Jika memang betul ada aliran dana sementara belum ada tindakan atau upaya paksa, seperti penyitaan dan pembekuan rekening, ini juga berbahaya. Orang-orang tersebut bisa melarikan diri dan hartanya sulit dilacak. Kalau KPK punya bukti kuat terkait aliran dana bancakan, maka harus menggunakan Tindak Pidana Pencucian Uang agar kerugian negara senilai Rp2,3 triliun bisa dilacak," kata Yenti.

SIDANG PRAPERADILAN SETYA NOVANTO DITUNDA - Sementara itu, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan menunda sidang praperadilan Setya Novanto karena KPK tengah mempersiapkan administrasi. Apakah ini merupakan strategi KPK mengulur waktu?

Saat dimintai konfirmasi, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menjawab diplomatis. Ia tidak mengiyakan dan membantah. "Jadi itu bisa jadi strategi bisa juga nggak. Yang penting bapak ini, Bapak Setyadi sudah bekerja," ujar Saut di sela rapat dengan Komisi III di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/9).

Sementara itu, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan KPK masih membutuhkan persiapan lebih lanjut untuk menghadapi praperadilan. "Ya, tetapi kami anggap masih belum memadai sehingga kami butuh persiapan lebih lanjut," tuturnya dalam kesempatan yang sama.

Laode menjelaskan tim biro hukum KPK meminta ditunda karena masih melengkapi berkas administrasi. "Untuk praperadilan, tim biro hukum KPK meminta untuk ditunda sampai minggu depan sampai dengan 2 minggu karena kami butuh menyiapkan beberapa hal," kata Laode.

Seperti diketahui, Novanto ditetapkan sebagai tersangka sejak Senin (17/7). Dia dijerat KPK terkait kapasitasnya sebagai Ketua Komisi II DPR periode 2009-2014. Ketua DPR ini diduga memiliki peran dalam setiap proses pengadaan e-KTP. Mulai dari perencanaan, pembahasan anggaran, hingga pengadaan barang dan jasa melalui tersangka lain, Andi Narogong.

Terkait pemeriksaan, KPK akan memanggil ulang Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus proyek e-KTP pada pekan depan. Sebab, Setya Novanto saat ini sedang mengalami sakit dan dirawat di Rumah Sakit Siloam, Jakarta.

"Jadi kemarin sudah kita panggil, namun tidak bisa datang dengan alasan sakit, maka akan disampaikan kembali panggilan kedua. Estimasi waktunya sekitar setelah minggu depan. Kita agendakan pemeriksaan ulang. Nanti pasti waktunya kami sampaikan kembali," kata Febri Diansyah.

Febri juga mengatakan saat ini KPK sedang mempelajari surat yang disampaikan kuasa hukum Novanto dan Sekjen Golkar Idrus Marham untuk menjadwalkan ulang pemeriksaan. Dalam surat tersebut, kata Febri, mereka melampirkan surat keterangan dokter.

"Surat yang disampaikan pihak SN (Setya Novanto) di surat yang berjudul penjadwalan ulang tentu kita pelajari terlebih dahulu. Memang ada keterangan sakit di sana, ada keterangan dari RS dan dokter, kita pelajari terlebih dahulu," ujar Febri.

Meski begitu, lanjut Febri, pihak KPK belum menyampaikan surat keterangan sakit Novanto ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk memeriksa kebenaran kesehatan Ketua Umum Partai Golkar itu.

"Kita sampai saat ini belum sampaikan surat ke IDI. Memang menurut perjanjian kerja sama tersebut, kalau memang kita membutuhkan keterangan dari IDI, tentu akan kita update-nya," jelas Febri.

Sebelumnya, tim dokter DPR mengecek kondisi Ketua DPR Setya Novanto di RS Siloam, Setiabudi, Jakarta Selatan. Menurut tim dokter, Novanto kembali mengalami vertigo setelah berolahraga tenis meja.

"Kondisi terakhir pokoknya, ya, masih dalam pendalaman. Kita kan waktu itu ngirim karena beliau lagi main pingpong jatuh, ya, jadi ada indikasi itu vertigo," ujar salah satu anggota tim dokter DPR, Heri Suseno, setelah mengunjungi Novanto di RS Siloam, Selasa (12/9).

PENUNDAAN PEMERIKSAAN - Terkait surat permintaab dari pimpinan DPR untuk menunda pemeriksaan Setya Novanto dalam kasus proyek e-KTP, KPK mengaku belum mengetahuinya. Surat itu diketahui diantarkan oleh Kepala Biro Pimpinan Kesetjenan DPR RI Hani Tahapari.

Sebelumnya, Kepala Biro Pimpinan Kesetjenan DPR Hani Tahapari mengantarkan surat ke gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, sore hari ini. Dalam surat tersebut, Hani mengatakan pimpinan DPR meminta KPK menghormati proses hukum praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto. Sehingga pemeriksaan Setya Novanto diminta ditunda karena sedang mengajukan sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan.

"Saudara Setya Novanto sebagai warga masyarakat menghormati proses hukum dan akan selalu taat atas proses itu. Dan Saudara Setya Novanto memohon kepada pimpinan DPR untuk menyampaikan surat kepada KPK tentang langkah praperadilan tersebut dengan penundaan pemeriksaan pemanggilan Saudara Setya Novanto," kata Hani di gedung KPK, Jakarta, Selasa (12/9

Namun Febri Diansyah mengaku belum tahu soal permintaan penundaan pemeriksaan itu. "Saya belum konfirmasi surat tersebut. Kalau ada surat ke KPK, kami pelajari dulu," kata Febri.

Namun, kata Febri, KPK akan melakukan tindakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Sehingga proses sidang praperadilan berjalan bersama dengan proses penyidikan.

"Namun, yang pasti, KPK dalam melakukan tindakannya khusus bidang penindakan sesuai dengan KUHAP dan UU Tipikor. Itu jadi pedoman kami. Proses praperadilan berjalan secara paralel, namun proses penyidikan untuk tersangka akan terus dilakukan," kata Febri.

Dalam UU Tipikor, lanjut Febri, pihak KPK sebagai penegak hukum tidak mempunyai kewajiban menghentikan perkara dalam tingkat penyidikan. "Saya belum terima, jadi saya belum terima informasi. Secara umum, penanganan perkara dilakukan UU berlaku. Patokan kita UU dan tidak ada dalam UU KPK atau Tipikor yang mewajibkan penegak hukum menghentikan perkara ditingkat penyidikan dilakukan," jelas Febri. (dtc

BACA JUGA: