JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali berjanji bakal menyeret korporasi yang terlibat dalam kasus korupsi E KTP. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, korporasi bakal dijerat jika dinilai dominan berperan dan memperoleh keuntungan besar. Janji serupa sebelumnya pernah dilontrakan KPK dalam kasus suap reklamasi. Namun hingga kini belum satupun korporasi yang bisa dijerat.

"Ya kan setiap kasus itu bisa orangnya dulu, bisa korporasinya dulu. Khusus e-KTP itu kan orangnya dulu. Kalau nanti seandainya dalam proses, kan saat ini lidiknya masih berjalan," ujar Syarif di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (21/7).

"Dilihat bahwa korporasinya berperan sangat penting dan mendapatkan keuntungan yang banyak dari kasus e-KTP itu, tidak tertutup kemungkinan KPK menyasar korporasinya," imbuhnya.

KPK sendiri sudah mempunyai tim khusus untuk menelisik pidana korporasi. Tim ini berbeda dari tim penyidik sebelumnya. "Kami di KPK punya tim khusus untuk penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus yang berhubungan dengan tanggung jawab pidana korporasi," ungkap Syarif.

Namun, Syarif menegaskan hingga kini KPK masih fokus pada pihak-pihak individu. "Ya, karena ini kan belum ditangani loh yang e-KTP korporasinya. Jadi sekarang masih fokus kepada orang-orangnya," tuturnya.

Dalam kasus ini, beberapa korporasi memang disebut terlibat. Mereka adalah Konsorsium PNRI sendiri terdiri dari Perum PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo, dan PT Sandipala Artha Putra. Kemudian ada Konsorsium Astragraphia terdiri dari PT Astra Graphia IT, PT Sumber Cakung, PT Trisakti Mustika Graphika, dan PT Kwarsa Hexagonal. Berikutnya, konsorsium Murakabi Sejahtera terdiri dari PT Murakabi, PT Sisindocom, PT Aria Multi Graphia, dan PT Stacopa.

Diantara konsorsium tersebut, Konsorsium PNRI tampak terlibat secara dominan dalam perkara ini. Dalam putusan terdakwa Irman dan Sugiharto, majelis hakim menjelaskan Konsorsium PNRI selaku pemenang lelang menerima pembayaran seluruhnya dari Kemendagri senilai Rp4.917.780.473.606 (Rp4,9 triliun). Anggaran ini digunakan untuk pembayaran pencetakan 172.015.400 keping blangko e-KTP.

"Sejak tanggal 21 Oktober 2010 sampai dengan 30 Desember 2013, pihak penyedia, yaitu konsorsium PNRI, telah menerima pembayaran setelah dipotong pajak seluruhnya berjumlah Rp 4.917.780.473.606," kata hakim anggota Anshori Saifuddin, membacakan putusan terdakwa korupsi e-KTP Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (20/7).

Hakim memaparkan, mengacu pada keterangan ahli Bob Hardian Syahbuddin, Mikrajuddin, Eko Fajar Nur Prasetyo, dan Harmawan Kaeni, harga wajar untuk pengerjaan proyek e-KTP adalah Rp 2.626.110.155.007 (Rp2,62 triliun).

Berdasarkan surat putusan yang dibacakan majelis hakim, berikut ini rincian harga wajar proyek e-KTP bila tidak terjadi penyimpangan dengan mark up:

1. Harga wajar 172.015.400 keping blangko KTP elektronik, termasuk pembelian material PET/PETG, chip, personalisasi, dan distribusi setelah dipotong pajak seluruhnya berjumlah Rp821.757.994.655,79 (Rp821 miliar) yang terdiri dari :

a. Harga wajar material PET/PETG adalah Rp628,71 per keping blangko KTP, sehingga untuk 172.015.400 keping harga wajarnya adalah Rp108.147.802.134 (Rp108 miliar).

b. Harga wajar chip adalah Rp3.675 per keping sehingga untuk 172.015.400 keping blangko KTP elektronik seluruhnya berjumlah Rp632.156.595.000,00 (Rp632 miliar).

c. Harga wajar pekerjaan personalisasi adalah Rp1.073 per keping sehingga untuk 144.599.653 keping blangko KTP elektronik seluruhnya berjumlah Rp155.155.427.669 (Rp155 miliar).

2. Pembayaran riil distribusi 145.000.000 keping blangko KTP elektronik yang dibayarkan kepada PT Pos Indonesia setelah dipotong pajak sejumlah Rp17.882.609.120,79 (Rp17 miliar).

3. Real cost pengadaan software dan hardware yang terdiri dari harga pembelian, additional cost yang dikeluarkan distributor Hewlett-Packard Indonesia, serta biaya pengiriman hardware dan software ke lokasi seluruhnya berjumlah Rp907.738.582.333,28 (Rp907 miliar).

4. Real cost pembelian sistem AFIS kepada vendor L-1 sebelum dipotong pajak pertambahan nilai (PPN) sejumlah Rp530.400.298.847,87 (Rp530 miliar).

5. Real cost pembayaran jaringan komunikasi dan data kepada PT Indosat Tbk sebelum dipotong PPN sejumlah Rp238.943.433.115,00 (Rp238 miliar).

6. Real cost biaya yang dibayarkan PT Sucofindo untuk pembayaran helpdesk sejumlah Rp3.710.785.430,00 (Rp3,7 miliar).

7. Real cost biaya yang dikeluarkan PT Sucofindo untuk Gaji Pendamping Teknis sejumlah Rp49.857.230.477,86 (Rp49 miliar).

Maka, ada selisih sekitar Rp2,3 triliun dibanding harga yang dibayarkan kepada konsorsium PNRI setelah di-mark up. Jumlah tersebut dianggap hakim sebagai jumlah kerugian negara.

"Menimbang dengan membandingkan total pembayaran yang diterima konsorsium PNRI selaku penyedia dengan harga wajar, maka terdapat selisih sebesar Rp 2.314.904.234.275,39 yang merupakan jumlah kerugian negara sebagaimana laporan Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara di BPKP RI. Majelis sependapat dengan perhitungan BPKP tersebut dan mengambil atas pendapat majelis sendiri. Maka unsur merugikan keuangan negara telah terpenuhi," ucap hakim Anshori.

KEJAR PIHAK LAIN - KPK juga menegaskan akan mengejar pihak-pihak lain yang menerima aliran dana dalam kasus dugaan korupsi e-KTP. "Prinsipnya KPK akan mengejar pihak-pihak yang mendapatkan aliran dana dalam kasus e-KTP. Karena itu salah satu cara untuk mengembalikan uang kerugian negara," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (20/7).

KPK juga membuka pintu bagi pihak penerima duit e-KTP yang berniat mengembalikannya. Febri berharap pihak-pihak tersebut bersikap kooperatif. "Bagi pihak-pihak lain masih terbuka kemungkinan untuk melakukan pengembalian dana atau bersikap kooperatif dalam kasus ini," sambungnya.

Hanya saja, keseriusan KPK mengejar pihak lain dipertanyakan lantara ada nama-nama pihak yang sebelumnya disebut dalam dakwaan, namun hilang dalam berkas putusan. Awalnya, dalam tuntutan dan dakwaan jaksa disebutkan ada 38 nama yang diduga kecipratan dana e-KTP. Dalam sidang vonis hanya tersisa 19 nama pihak-pihak yang yang memperoleh keuntungan proyek e-KTP. Sebagian besar nama yang menghilang merupakan anggota DPR aktif, ataupun eks anggota DPR.

Deretan nama-nama anggota DPR aktif yang disebut-sebut menerima uang korupsi e-KTP juga menyusut dalam sidang pembacaan vonis. Saat sidang tuntutan dan dakwaan jaksa menyebut ada 12 anggota DPR aktif yang diduga menerima dana korupsi e-KTP. Namun majelis hakim menyebut hanya 3 nama anggota DPR yang terbukti menerima aliran dana korupsi e-KTP. Miryam S Haryani terbukti menerima US$1,2 juta, Markus Nari menerima US$400 ribu dan Rp4 miliar, serta Ade Komarudin sebesar US$100 ribu.

Selain itu, tercatat tidak ada nama Gamawan Fauzi, Anas Urbaningrum, Ganjar Pranowo, Yasonna Laoly, Marzuki Alie dan sejumlah nama besar lain yang disebut majelis hakim dalam vonisnya.

Terhadap vonis tersebut, Jaksa KPK Irene Putri mengatakan putusan akan menjadi salah satu pertimbangan jaksa akan mengajukan banding atau tidak. "Itu nanti jadi bahan yang kita akan kaji putusan ini, kita sampaikan. Jelas Markus Nari disampaikan tadi hakim meyakini dia menerima, Miryam kemudian dia menerima, Ade Komarudin juga bahkan disampaikan hakim dia menerima," ujar jaksa Irene.

Sementara itu, KPK akan mempelajari lebih lanjut putusan perkara korupsi e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto. KPK menyebut sebenarnya banyak pihak yang terindikasi aliran dana haram tersebut. "Tentu putusan akan kita pelajari. Ada cukup banyak sebenarnya pihak-pihak yang diduga mendapatkan aliran dana. Tentu ini belum bicara dalam konteks suap," ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah. (dtc)

BACA JUGA: