JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perkembangan dunia digital semakin pesat dengan hadirnya media sosial seperti seperti Facebook, Twitter, YouTube, atau Instagram. Kemudahan dalam mengakses media sosial tersebut membuat masyarakat mengetahui banyak hal disekelilingnya namun di sisi lain dimanfaatkan pula oleh segelintir orang untuk menciptakan sesuatu yang meresahkan.

Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna aktif internet di Indonesia yang aktif mengunjungi media sosial berkisar umur 10-25 tahun yang berjumlah 24,4 juta orang (18,4 persen penduduk Indonesia).

Beranjak dari situ, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa berkaitan dengan hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial. Berbagai hal diatur mulai dari cara membuat postingan hingga cara memverifikasi.

Fatwa nomor 24 tahun 2017 itu ditetapkan di Jakarta pada 13 Mei 2017 oleh Komisi Fatwa MUI. Salah satu yang menjadi pertimbangan MUI untuk mengeluarkan fatwa tersebut yaitu lantaran banyaknya fitnah hingga hoax yang bertebaran di media sosial.

"Menimbang bahwa banyak pihak yang menjadikan konten media digital yang berisi hoax, fitnah, ghibah, namimah, desas desus, kabar bohong, ujaran kebencian, aib dan kejelekan seseorang, informasi pribadi yang diumbar ke publik, dan hal-hal lain sejenis sebagai sarana memperoleh simpati, lahan pekerjaan, sarana provokasi, agitasi, dan sarana mencari keuntungan politik serta ekonomi, dan terhadap masalah tersebut muncul pertanyaan di tengah masyarakat mengenai hukum dan pedomannya," demikian salah satu bunyi poin pertimbangan dalam fatwa tersebut.

Ada salah satu poin dalam pertimbangan tersebut yang perlu digarisbawahi yaitu ´sarana mencari keuntungan politik serta ekonomi´. Poin itulah yang kemudian melahirkan adanya aktivitas buzzer di media sosial. Dengan bahasa awamnya, buzzer merupakan individu yang sangat aktif di media sosial dalam menyebarkan informasi apa pun, termasuk hoax, fitnah, gosip, dan sebagainya untuk mendapatkan keuntungan.

"Aktivitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram. Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya," tulis MUI dalam fatwanya.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma´ruf Amin membeberkan tentang pembuatan fatwa. Dia mengatakan MUI memiliki standard operating procedure (SOP) yang jelas agar fatwa itu berfungsi membimbing umat Islam supaya terhindar dari masalah-masalah yang tidak tercantum dalam Alquran atau hadis.

"Ada SOP-nya. Ada prosedurnya," kata Ma´ruf mengawali diskusi ´Fatwa MUI dan Hukum Positif´ di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (17/1).

Ma´ruf lalu mengatakan awal pembuatan fatwa melalui kajian komprehensif. Kajian yang dimaksudnya dapat dilakukan melalui makalah dari para ahli sesuai dengan masalah yang akan dibuatkan fatwa.

Kemudian, Ma´ruf menyebut tim investigasi masalah fatwa itu akan melakukan tugasnya. Setelah itu, tim tersebut akan membuat rumusan masalah sampai kajian tentang dampak sosial yang akan timbul dari fatwa yang dibuat.

Ma´ruf lalu mengatakan fatwa yang dibuat sebaiknya memiliki titik temu kesepakatan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Namun Ma´ruf menyebut tidak selalu titik temu didapatkan. Ada kalanya terjadi perbedaan pendapat dan hal itu pun akan disampaikan apa adanya.

"Misalnya soal rokok itu tidak tercapai, maka ditampilkan apa adanya. Yang satu mengatakan haram, yang satu mengatakan makruh," kata Ma´ruf memberikan contoh.

UPAYA PERANGI HOAX - Wakil Ketua DPR Fadli Zon mendukung langkah Majelis Ulama Indonesia menerbitkan fatwa terkait hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial. Menurut Fadli, fatwa tersebut dapat membantu menurunkan penyebaran fitnah di media sosial.

"Menurut saya fatwa MUI meng-endorse apa yang sudah menjadi common sense dan saya sependapat memang tidak boleh ada fitnah, apalagi datanya tidak benar, tak akurat, berita hoax. Saya sependapat (dengan Fatwa MUI) itu," kata Fadli, Senin (5/6).

Menurut Fadli, fatwa tersebut dapat jadi masukan dan dasar etika dalam bermedia sosial. Pengguna medsos akan lebih bijak ke depan. "Saya kira itu akan ikut membantu agar media sosial ini dipergunakan secara bertanggung jawab, jangan menyebarkan fitnah, menyebarkan ghibah, bergosip yang tidak mempunyai dasar dan sebagainya," katanya.

Fatwa MUI itu terkait hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial. Fatwa ini mengatur banyak hal, mulai cara membuat posting media sosial sampai cara melakukan verifikasi.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut ada pihak yang coba membenturkan seolah dirinya tidak sejalan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tito menegaskan dirinya tetap menghormati MUI.

Hal ini disampaikan Tito terkait pemaparannya saat menjadi keynote speaker dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk ´Fatwa MUI dan Hukum Positif´ di PTIK, Jakarta Selatan, Selasa kemarin.

"Tolong dicatat, karena saya lihat ada beberapa yang memberikan komentar bahkan seolah-olah saya tidak sependapat, membenturkan seolah-olah saya tidak sejalan dengan fatwa MUI, tidak mungkin," kata Tito di Mapolda Metro Jaya, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu (18/1).

Tito menyatakan, dia mengawali pemaparannya itu dengan mengatakan MUI merupakan lembaga terhormat dan fatwa MUI adalah fatwa yang dihormati.

"Apalagi saya sendiri sebagai umat Islam. Ada fatwa MUI nggak ngerokok ya saya upayakan nggak ngerokok juga," ujarnya.

MUI dikatakan Tito adalah lembaga yang sangat penting dan harus dihormati serta memiliki perananan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI yang menjadi tuntunan bagi umat Islam.

"Cuma memang ada beberapa fatwa yang terakhir, dari sudut pandang kepolisian itu membawa dampak sosial dan dampak hukum," tuturnya.

Tito mencontohkan seperti fatwa MUI soal larangan bagi umat Islam memakai pakaian Natal. Ada pihak-pihak yang ingin menegakkan fatwa MUI dengan sejumlah cara seperti sweeping, tindakan kekerasan di Solo, memukuli orang-orang hingga pohon-pohon Natal kemudian dirubuhkan.

Karena itu para pelaku ditangkap dan tersangkanya dibawa ke Polda Jawa Tengah. Di tempat lainnya seperti Bekasi dan Surabaya, massa ramai-ramai mendatangi mal atas nama sosialisasi. Pemilik dan manajemen mal dipaksa membuat pernyataan atas nama sosialisasi.

"Nah ini kan bagi kami Polri merupakan suatu persoalan yang perlu dipecahkan. Oleh karena itu salah satu upaya memecahkan persoalan itu adalah meminta masukan," ujarnya.

"Yang ingin saya klarifikasi di sini, tolong dicatat bahwa FGD itu adalah ajang diskusi ilmiah. Saya meminta kepada Gubernur PTIK Irjen Sigit, ini ada persoalan dari sudut pandang keamanan, yang berkaitan dengan fatwa MUI dan hukum positif yang sudah jadi polemik selama ini--Alangkah baiknya kita dengarkan pendapat para ahli-ahli melalui diskusi yang hanya fokus. Bukan diskusi besar," sambungnya.

Kata Tito, dialog ilmiah tersebut merupakan dialog intelektual dengan referensi-referensi sehingga memiliki landasan akademik yang kuat untuk menentukan sikap Polri.

"Jadi sama sekali bukan bermaksud untuk mendiskreditkan. Apalagi saya sudah menyampaikan fatwa MUI bukan sesuatu yang dilarang, bukan sesuatu yang haram bahkan kita butuhkan," ucapnya.

Persoalannya, menurut Tito, yaitu ketika ada yang ingin menegakkan fatwa tersebut. "Terus apa boleh ditegakkan? Siapa yang harus menegakkan? Siapa yang harus mensosialisasikan? Ini banyak pertanyaan-pertanyaan intelektual yang harus dijawab dengan dialog intelektual," sebutnya.

Karena itu, tujuan diskusi ilimah untuk memberikan masukan kepada Polri sehingga memiliki referensi. Tito juga mengutip ucapan Joseph Mayone Stycos dalam bukunya Louis Richardson Theorysm, ´if policy without theory is for gambler. Theory without policy is for academics´.

"Teori tapi tanpa didukung dilaksanakan dengan kebijakan itu hanya untuk para akademisi. Tapi kebijakan yang dibuat tanpa teori, itu spekulasi, gambling kita. Yang paling tepat adalah dalam membuat kebijakan disertai dengan landasan teori dan kajian akademik yang kuat. Jadi tujuan kita kemarin adalah salah satu cara untuk mendapatkan landasan akademik, bukan suatu keputusan," tuturnya. (dtc/mfb)

BACA JUGA: