JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) telah menyatakan keberatan dimasukannya ketentuan pidana khusus itu ke dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah dibahas DPR. Keberatan itu telah mereka layangkan kepada pimpinan DPR. Keberatan yang sama juga belakangan dilayangkan Komnas Ham terkait dimasukannya Tindak pidana HAM berat dalam RKUHP.

Sebelumnya dalam pembahasan di Tingkat Panja bersama Pemerintah beberapa bagian  tindak pidan khusus disepakati masuk dalam  RKUHP. Namun  adanya nota keberatan dari Pimpinan KPK dan Pimpinan BNN Panja terpaksa menundanya. KPK dan BNN menyatakan tidak menghendaki ketentuan Tindak Pidana Khusus, khususnya Tindak Pidana Narkotika dan Korupsi diatur di dalam RKUHP. Keberatan yang sama diajukan oleh Komnas Ham terkait Tindak pidana HAM berat dalam R KUHP.

BNN menyatakan agar rumusan bab 17 Tindak Pidana Narkotika tidak dicantumkan dalam R KUHP. Alasannya Kejahatan Narkotika adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) sehingga diperlukan penanganan khusus dalam penanggulangannya.

Ditambahkan mereka bila rumusan itu dicantumkan di RUU KUHP maka akan terdapat dua Undang-undang yang mengatur tindak pidana narkotika. Hal ini akan menimbulkan multitafsir, kontradiktif dan kontraproduktif dalam pelaksanaannya di lapangan. "Selain juga akan  menghilangkan kekhususan dalam penanganan Tindak Pidana Narkotika sebagaimana yang diatur UU Narkotika," ujar Kepala BNN Budi Waseso saat rapat dengan DPR,Selasa (30/5).
 
Pimpinan KPK Laode M Syarif bahkan mengaku telah mengirim surat resmi yang berhubungan dengan kodifikasi KUHP dan yang berhubungan dengan Tindak Pidana Khusus, yakni Tindak Pidana Korupsi. Ia menghendaki aturan atau norma yang ada di dalam Tindak Pidana Korupsi tetap berada di luar KUHP. Sementara saat ini semua tindak pidana korupsi masih menjadi bagian dalam RUU KUHP. Ia pun mempertanyakan kalau semua norma-norma itu masuk di dalam RUU KUHP lalu apa yang tersisa sebagai tindak pidana khusus?

"Rumusan terakhir RKUHP masih memasukkan semua Tindak Pidana Korupsi di dalam Rancangan KUHP sekarang," ujar Laode.
 
Menanggapi keberatan ini, kalangan DPR menegaskan bahwa pasal-pasal Pidana dalam Buku II R KUHP merupakan hal-hal yang bersifat umum untuk melengkapi dan memperkuat hal yang belum diatur dalam Undang-Undang khusus.

Menurut mereka dari hasil rapat pembahasan menyatakan bahwa pengaturan dalam RUU KUHP tidak ada mengurangi kewenangan yang ada dalam undang-undang yang bersifat khusus. Sehingga dimasukkan ketentuan tindak pidana korupsi dan narkotika dalam RUU KUHP bertujuan untuk memperkuat dan bukan memperlemah. DPR menjamin apabila  potensial pasal atau ketentuan dianggap memperlemah, maka pasal atau ketentuan tersebut akan dihapus.
 
Sementara Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly menyatakan bahwa RUU ini sudah dibahas puluhan tahun, dan Pemerintah sudah berkali-kali rapat untuk menyatukan Persepsi. Menurutnya Tidak ada keinginan Pemerintah untuk menegasikan institusi manapun.

Menurut Tim Pemerintah, Prof. Muladi mengatakan bahwa  RUU KUHP ini merupakan Kodifikasi Terbuka dan atas dasar Pasal 218 RUU KUHP atau Pasal 103 KUHP sekarang. "Jadi KUHP itu isinya Hukum Pidana Materil dan harus dikonsolidasikan," ujarnya dalam rapat dengan DPR,KPK dan BNN.

Berbagai tindak pidana khusus tersebut dikategorikan sebagai Tindak Pidana Luar Biasa, bersifat Transnasional, dan diperlukan Hukum Acara Pidana yang bersifat khusus. "Apabila KUHP baru tersebut sudah diundangkan tindak pidana yang berasal dari UNCAC 2003 langsung berlaku efektif dan bisa diterapkan sehingga bisa menambah area responsibility dari KPK," jelasnya.  

Pembahasan R KUHP Buku II, diketahui telah memasuki pengaturan Tindak Pidana Khusus.  Ada 5 (lima) Tindak pidana khusus yang penting untuk menjadi perhatian, yaitu Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika, Tindak Pidana HAM Berat, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Terorisme, dan Tindak Pidana Pencucian Uang.
 


PERLU KONSOLIDASI - Institute Criminal Justice reform (ICJR ) dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengaku menyambut baik hasil rapat kerja tersebut. "Sudah tepat langkah DPR untuk meminta kepada Pemerintah  agar melakukan konsolidasi  Pengaturan Tindak Pidana Khusus dalam RKUHP bersama KPK, BNN dan seluruh lembaga terkait," sebut Supriyadi W. Eddyono, Direktur Eksekutif  ICJR, dalam rilisnya kepada gresnews.com.

ICJR mendorong seluruh lembaga Negara seperti Komnas HAM, BNPT dan PPATK juga segera diundang oleh pemerintah untuk memastikan nasib tindak pidana khusus dalam R KUHP. "Posisi dan rekomendasi lembaga lembaga ini penting di dengar oleh Tim perumus R KUHP," ujar Supriyadi.

ICJR dan Aliansi Nasional reformasi KUHP, menilai RKUHP mengadopsi pasal-pasal  tindak pidana khusus secara tidak cermat. Menurutnya  ada banyak terjadi perubahan tindak pidana khusus yang dimasukkan dalam R KUHP. "Intinya tindak pidana khusus dipaksakan masuk dengan adopsi yang tidak sempurna, belum lagi dengan pendekatan yang berbeda seperti UU Narkotika yang harusnya lebih berperspektif kesehatan masyarakat ketimbang pidana," tambahnya.

Hal ini, menurutnya, akan menimbulkan ketidakjelasan, serta konflik antara RKUHP dan instrumen hukum yang memuat ketentuan pidana di luar KUHP tersebut. Di samping itu model kodifikasi mengisyaratkan adanya RUU transisi pelaksanaan KUHP baru, yang sampai sekarang tidak pernah dihasilkan oleh pemerintah.

"Tanpa adanya RUU transisi KUHP, bisa diduga pelaksanaan kodifikasi KUHP di masa depan akan menghadapi banyak kendala serius," ujar Supriyadi.

BACA JUGA: