JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kerjasama KPK, Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI dan BPK berhasil mengungkap korupsi dalam pengadaan  helikopter Agusta Westland (AW)-101 di lingkungan TNI. Dalam kasus ini tiga orang perwira TNI ditetapkan sebagai tersangka.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan ada sejumlah pelanggaran yang diduga dilakukan 3 tersangka tersebut. Gatot menyebut pelanggaran itu terkait ketidaktaatan terhadap perintah, penyalahgunaan wewenang jabatan, tidak mengikuti peraturan dalam pengadaan barang dan jasa, penggelapan, dan pemalsuan.

"Sekali lagi, akibat perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian negara," ujar Gatot saat konferensi pers di KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (26/5).

Ketiga perwira yang dijadikan tersangka itu adalah Marsma TNI FA, selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa. Kemudian Letkol WW, selaku pejabat pemegang kas; dan Pelda SS, yang diduga telah menyalurkan dana-dana terkait pengadaan kepada pihak-pihak tertentu.

Gatot menyebut dari hasil pemeriksaan, penyidik POM TNI sudah memperoleh alat bukti yang cukup, hingga meningkatkan status dari penyelidikan ke penyidikan.

Proyek pengadaan pembelian heli senilai Rp738 miliar itu telah terjadi korupsi hingga menimbulkan kerugian keuangan negara yang nilainya ditaksir mencapai Rp220 miliar.

Penyidikan ini, menurut Gatot , diawali dari investigasi yang dilakukan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU). Perintah untuk melakukan investigasi itu dilayangkan Panglima melalui surat perintah tertanggal 29 Desember 2016. KSAU sendiri kemudian mengirimkan hasil investigasi itu pada 24 Februari 2017.

Dari hasil investigasi itu, menurut Gatot, semakin jelas ditemukan adanya kasus korupsi dalam pembelian heli yang awalnya untuk kegiatan VVIP seperti kegiatan Presiden. Namun Gatot mengungkap, karena tindak pidana korupsi melibatkan pelaku-pelaku (lain) dan ada konspirasi.

"Maka bermodal investigasi KSAU, saya bekerja sama dengan kepolisian, BPK khususnya dengan PPATK dan KPK mengembangkan investigasi tersebut," ujar Gatot.

Ketua KPK Agus Rahardjo menyebut dalam kasus pembelian heli itu diduga ada mark-up.  Pembelian heli yang semestinya tak semahal itu kenyataannya dalam kontraknya dinyatakan melebihi dari yang seharusnya.

Guna menangani kasus tersebut menurut Agus, Puskom akan menangani tersangka yang berasal dari pihak TNI, Sedangkan KPK akan menangani pihak swastanya. Selanjutnya para tersangka dari pihak TNI akan disidangkan di Peradilan. "Sedang untuk pihak swasta akan disidangkan di Pengadilan Tipikor seperti biasanya," ujar dalam kesempatan yang sama.

Dalam penyelidikan bersama POM TNI bersama KPK ini, mereka telah memeriksa sejumlah saksi diantaranya 6 orang dari pihak militer dan 7 orang sipil-militer. Selain itu KPK juga telah menyita uang dari penyedia barang yang berada di rekening BRI.

"Barang bukti uang yang dapat diamankan atau disita dari pemblokiran rekening BRI atas nama PT Diratama Jaya Mandiri selaku penyedia barang sebesar Rp139 miliar," sebut Agus.

Agus juga mengungkapkan dua hari lalu sempat melakukan penggeledahan terhadap sejumlah lokasi. Penggeledahan dilakukan oleh Pom TNI yang diback- up oleh KPK. Penggeledahan dilakukan di 4 lokasi, diantaranya di kantor PT Diratama Jaya Mandiri di Sentul, kemudian di Bidakara ada rumah saksi, swasta di Bogor, kemudian rumah swasta di Sentul City.

"Jadi, oleh karena itu, ini masih memerlukan pendalaman karena yang akan dirangkai untuk melanjutkan kasus ini," ujar Agus.

Kasus korupsi pembelian heli tergolong nekat . Sebab sebelumnya rencana pembelian helikopter tak memperoleh restu dari pemerintah. Presiden Joko Widodo bahkan sempat menolak rencana pembelian itu dengan alasan harga yang ditawarkan kelewat mahal, di sisi lain negara dalam kesulitan keuangan. Jokowi bahkan memerintahkan pengadaan alutsista jika bisa diadakan di dalam negeri dilakukan lewat pengadaan dalam negeri.


BUNTUT SENGKETA KEWENANGAN - Pengungkapan kasus korupsi dalam pembelian helikopter AgustaWestland (AW) 101 oleh TNI AU diduga merupakan buntut polemik kewenangan antara Panglima TNI dan Kementerian Pertahanan.

Dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Februari lalu. Baik Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Menteri Pertahanan  Ryamizard Ryacudu mengaku sama-sama tak mengetahui rencana pembelian tersebut.  

Menurut Gatot, setelah menyatakan membatalkan kontrak pembelian itu, ia mengaku tidak pernah mengetahui adanya rencana pengadaan helikopter tersebut.

Bahkan Panglima mengungkapkan tidak mengetahui soal pembelanjaan alutsista dari masing-masing matra, setelah ada aturan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertahanan pada 2015.

"Begitu muncul Peraturan Menhan No 28 Tahun 2015, kewenangan saya tidak ada. Harusnya ini ada. Sekarang ini tidak ada. Kewajiban TNI membuat perencanaan jangka panjang, menengah, pendek," lanjutnya.

Menurut Gatot ia hanya bisa menjelaskan belanja barang di TNI untuk postur yang ada di Mabes saja. Total belanja barang di Mabes TNI sebesar Rp4,8 triliun. Untuk tiga matra itu, ia mengaku tidak lagi mengetahuinya.

Akibatnya Panglima TNI mengaku kesulitan bertanggung jawab soal pengadaan alutsista di matra AD, AL, AU. Padahal itu tentu saja sangat berkaitan dengan proses MEF TNI.

Pasal 3 UU TNI, TNI di bawah koordinasi Kemenhan, tapi bukan unit operasionalnya. Karena Pasal 4, TNI terdiri atas AU, AD, AL di bawah Kemenhan. "Saya buka ini seharusnya sejak 2015," ujarnya beberapa waktu lalu.

Gatot mengaku mengungkap masalah itu mengingat Maret 2018, pihaknya akan memasuki masa pensiun. Menurutnya jika ini terus terjadi, kewenangan Panglima TNI menjadi tidak ada.

Panglima mengaku tak lagi mengatur anggaran AU, AD, AL. Angkatan langsung tanggung jawab ke Kemenhan, tidak melalui Panglima. "Ini pelanggaran hierarki karena kami tidak membawahi angkatan. Jadi kita bicara di sini anggaran belum tentu kita bisa cairkan," ujarnya dalam kesempatan lain.

Untuk itu ia menegaskan tengah melakukan bersih-bersih setahun ini. TNI melakukan pembersihan internal terkait kasus korupsi. Bahkan TNI bekerja sama dengan KPK untuk melakukan pembersihan itu.

Menurut dia, pihaknya kesulitan melakukan pengawasan jika tidak bisa memantau proses anggaran di masing-masing angkatan.

"Mungkin ini tidak mengenakan, tapi saya harus mempersiapkan adik-adik saya yang akan jadi Panglima TNI supaya bisa mengawasi anggaran juga," bebernya.

Sementara Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan, Helikopter AW-101 pada awalnya dipesan untuk helikopter kepresidenan, sehingga ada kemungkinan dibeli melalui Sekretariat Negara.

Soal rencana pembelian Helikopter ini Kepala Staf TNI Angkatan Udara sebelumnya Marsekal Agus Supriatna, pernah mengungkapkan bahwa TNI AU akan membeli enam unit helikopter AW-101. Rinciannya, tiga untuk angkut berat dan tiga unit untuk VVIP.

Namun, Presiden Joko Widodo pada Desember 2015 lalu telah menolak usulan TNI Angkatan Udara terkait pengadaan helikopter tersebut.

Jokowi mengatakan menolak pembelian helikopter untuk VVIP itu karena terlalu mahal di tengah kondisi ekonomi nasional yang sulit. Ternyata satu tahun berselang setelah penolakan itu, TNI AU tetap membeli helikopter tersebut meski hanya satu unit. (dtc)
 

BACA JUGA: