JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus penahanan seorang pedagang jagung bakar bernama Didin (48) yang dituduh telah melakukan perusakan lingkungan karena mencari cacing sonari di Kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGP) dinilai telah mengusik rasa keadilan. Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menilai kasus penahanan Didin menunjukkan, aparat tidak mengerti undang-undang.

Arsul mengatakan, penahanan Didin karena mencari cacing di kawasan hutan itu bukan karena melakukan pembalakan pohon secara liar. Ini menunjukkan aparat tak mengerti Undang-Undang.

"Dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juncto UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) itu memberikan kewenangan kepada penegakan hukum terkait dengan kehutanan kepada PPNS (Penyidik PNS) Kehutanan atau Polhut untuk menangani perusakan hutan, diutamakan perambahan atau pembalakan liar (illegal logging), bukan untuk kasus-kasus perorangan seperti Didin yang masuk hutan hanya sekadar mencari cacing tanah," jelas Arsul, di gedung DPR, Rabu (17/5).

Politisi dari PPP ini mengatakan, sejatinya aparat menerapkan prinsip penegakan hukum berbasis keadilan restorasi (restorative justice). Melalui prinsip ini yang harus dilakukan penegak hukum jika ada kerusakan kecil akibat mencari cacing adalah memperbaiki kerusakan kecil di hutan tersebut. Bukan malah melakukan proses hukum biasa kepada masyarakat kecil seperti Didin tersebut.

"Ketika banyak kasus perambahan hutan yang disertai dengan pembalakan liar masif oleh korporasi perkebunan, para penegak hukum malah tidak berbuat maksimal untuk melakukan proses hukum. Ini sangat ironis," terang Arsul.

Seperti diketahui, Didin ditahan karena kegiatannya mengambil cacing sonari di Kawasan TNGP dianggap telah merusak kawasan TNGP. Didin ditahan di balik jeruji besi sejak 24 Maret 2017 lewat tuduhan pelanggaran Pasal 78 Ayat (5) dan atau Ayat (12) juncto Pasal 50 Ayat (3) huruf e dan atau huruf m Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Terkait masalah ini pihak Komisi VII DPR menegaskan, akan segera menggelar rapat dengan pihak KLHK. Anggota Komisi VII DPR RI Joko Purwanto yang smepat menyambangi Didin (48) di sel tahanan Polres Cianjur, Jawa Barat mengatakan, dia telah mendengar langsung keterangan Didin dalam kasus ini.

Hasil pengakuan Didin ini, kata Joko, akan dijadikan bahan pembahasan dalam rapat komisi di DPR-RI. Selaku anggota komisi yang menangani persoalan lingkungan hidup, Joko menegaskan, maksud kedatangannya semata untuk menghimpun informasi dari kedua belah pihak.

"Kasus ini kan sekarang sedang ramai, di sini maupun di sana (ibu kota). Kita ingin input data dari keduanya, baik dari pihak kementerian maupun dari Didin sendiri. Tadi sudah dengar langsung penjelasannya dari pak Didin, tinggal hasilnya akan saya bawa ke komisi sebagai bahan materi rapat evaluasi bersama kementrian terkait," papar Joko.

Joko menyebutkan akan mendalami terus kasus ini agar jelas duduk persoalannya, termasuk apakah aktivitas Didin ini terkait dalam kasus kerusakan lahan akibat perburuan cacing kalung atau merupakan kasus yang berbeda, termasuk perdebatan mengenai jenis cacing yang dipersoalkan dalam kasus ini.

"Ini menjadi sesuatu hal yang menarik yang akan kita tindaklanjuti. Bahwa saat ini ada hal yang sangat memprihatinkan terjadi ada kerusakan di lahan TNGGP. Perihal di situ ada cacing kalung atau cacing-cacing lainnya itu sebagai ekses saja, tapi setidaknya telah terjadi kerusakan," ujarnya.

BUKAN KRIMINALISASI - Sementara itu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengatakan tindakan hukum yang dilakukan terhadap Didin (48) bukanlah bentuk kriminalisasai. Dia mengatakan, tindakan Didin bukan semata melakukan pengambilan cacing sonari, melainkan perusakan kawasan hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).

Siti menuturkan tindakan hukum dilakukan berdasarkan laporan pihak taman nasional terhadap maraknya kegiatan ilegal di TNGGP. Didin kini ditahan Polisi Hutan. Kegiatan pencarian cacing dilakukan sudah berkali-kali dan untuk mendapatkan cacing mereka menebang pohon, membuat pondokan, dan membakar kayu untuk pengapian," kata Siti dalam keterangannya, Sabtu (13/5).

Menurut Siti, cacing sonari itu diperjualbelikan dengan harga sekitar Rp40.000 per ekor. "Jadi jutaan atau puluhan juta. Jumlah yang didapatkan sering kali banyak, mereka biasanya bekerja per kelompok," ujarnya.

Siti menambahkan aktivitas ilegal tersebut merusak kawasan taman nasional. Aparat TNGGP, dikatakan Siti, juga sudah memberi peringatan. Karena itu, jika tidak dilakukan tindakan, akan marak kegiatan ilegal di taman nasional tersebut. "Jadi tindakan hukum yang dilakukan bukan terkait cacing, tapi lebih kepada memasuki dan merusak kawasan konservasi secara ilegal," tuturnya.

Saat ini, kasus tersebut ditangani UPT Penegakan Hukum dan proses hukum sedang berjalan. Karena itu, Siti membantah adanya kriminalisasi. "Tidak benar bahwa terjadi kriminalisasi terhadap orang yang membutuhkan cacing untuk obat karena cacing tersebut ternyata diperjualbelikan," ucapnya.

Sementara itu terkain penahanan Didin, Direktur Penegakan Hukum Pidana Kementerian LHK Muhammad Yunus hal itu bukan lagi kewenangan pihak KLHK, terlebih jika dikaitkan dengan upaya pembebasan Didin. "Sudah bukan wewenang kami. Kasusnya sudah P21 (berkas lengkap), jadi locus-nya sudah di pengadilan," Yunus, Selasa (16/5).

Yunus menyebut pihaknya saat ini hanya menunggu jadwal pengadilan. Kementerian LHK menyiapkan saksi, ahli, dan orang-orang yang mungkin diminta pengadilan. "P21 sudah lama, sebelum ramai seperti saat ini," ucap Yunus.

Yunus menjelaskan kasus Didin murni soal penegakan kawasan konservasi. Tidak ada hubungan dengan harga cacing sonari yang diambil. Juga tidak terkait dengan hewan dilindungi atau tidak. "Dalam aturan, jangankan beraktivitas, masuk ke kawasan konservasi saja harus izin," katanya.

BERHARAP BEBAS - Didin sendiri dalam kasus ini mengaku tak merusak hutan, melainkan hanya mengambil cacing sonari yang menempel di pohon kadaka. Dia berharap mendapatkan keringanan hukuman. Didin mengaku tidak tahu menahu kerusakan lahan seluas 35 hektare di zona inti kawasan TNGGP sebagaimana informasi yang berkembang saat ini.

Saat tahu dirinya dikaitkan dengan kasus kerusakan lahan tersebut, ia kaget. "Saya tidak tahu itu. Saya nyarinya di tempat yang ada tumbuhan Kadaka, karena cacing sonari adanya di tumbuhan itu yang nempel di batang pohon," kata Didin.

Didin yang berprofesi sebagai penjual jagung bakar itu mencari cacing sonari atas pesanan 2 orang yang mengaku dari Bekasi. Kedua orang tak dikenal itu memesan 400 cacing. Alih-alih pesanan terselesaikan, Didin malah dijemput petugas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kamis (23/4).

Keesokan harinya, Jumat (24/3), Didin ditahan dan dititipkan di sel Mapolres Cianjur. Bapak 2 anak ini terancam hukuman 10 tahun karena aktivitas mencari cacing dinilai merusak hutan.

Istrinya, Ela Nurhayati (43) juga sudah berupaya melakukan pembebasan terhadap Didin dengan cara mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo. "Warga dan ketua RT sini dukung, saya ingin status hukum suami saya jelas dan terang karena sudah 53 hari dia ditahan di Polres Cianjur, saya ingin pak Presiden bantu," tutur Ela.

Ela mengaku dalam surat yang ditulisnya itu meminta Presiden Jokowi agar membantu membebaskan suaminya. Pasalnya, tudingan-tudingan yang dialamatkan kepada suaminya oleh pihak TNGGP dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sama sekali tidak benar dan tidak sesuai fakta yang terjadi di lapangan.

"Saya yakin suami saya tidak bersalah. Suami saya tidak merambah hutan, menebang pohon, merusak lahan apalagi sebagai penadah cacing kalung. Suami saya hanya mencari cacing sonari di tanaman Kadaka. Itu pun (mencari) tidak setiap saat, karena jika ada orang yang pesan saja," ucapnya.

Ela dan Didin diketahui sudah tinggal selama 15 tahun di Kampung Rarahan, ia tinggal di rumah sederhana milik warga asal Jakarta. Ada sebuah televisi dan dua lemari pendingin yang disebut Ela adalah kepunyaan pemilik rumah. Hasil pernikahan dengan Didin Ela dikaruniai dua orang anak, anak pertamanya berusia 20 tahun sementara yang kecil berusia 6 tahun.

Usai merampungkan tulisan di suratnya, ditemani ketua RT setempat, Ela pun bergegas menuju kantor pos terdekat untuk mengirimkan surat "jeritan hatinya" itu. "Mudah-mudahan sampai ke pak Jokowi dan dibaca langsung," ucapnya penuh harap. (dtc)

 

BACA JUGA: