JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang kasus penodaan agama yang menjerat Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah diputuskan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa (9/5). Hakim menyatakan Ahok terbukti melanggar Pasal 156 a KUHP dan menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara dengan perintah untuk langsung ditahan.

Keputusan hakim yang memerintah langsung dilakukan penahanan dikritik sejumlah pihak. Selain tidak adanya pertimbangan saat ini Ahok tengah menjalankan tugas sebagai gubernur DKI Jakarta. Syarat-syarat untuk dilakukannya penahanan dinilai tidak terpenuhi. Salah satu pemerhati hukum yang mengkritik putusan hakim ini adalah Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

ICJR mengaku telah lama mengkritik masih eksisnya Pasal Penodaan Agama dalam peraturan hukum Indonesia. "Pasal-pasal ini dalam implementasinya telah berkembang sedemikian jauh sehingga seringkali merugikan kepentingan kelompok minoritas," tulis Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi W. Eddyono dalam rilisnya kepada gresnews.com.

Menurut Supriyadi, persoalan itu muncul karena rumusan Pasal 156 a KUHP adalah rumusan yang tidak dirumuskan dengan sangat ketat dan karenanya dapat menimbulkan tafsir yang sangat beragam dalam implementasinya.

Menyangkut putusan PN Jakarta Utara terhadap kasus Ahok, ICJR mengkritik putusan majelis hakim tersebut. Menurut pandangan lembaga ini, hakim semestinya mengelaborasi secara tajam mengenai "niat kesengajaan untuk menghina" dalam peristiwa yang terjadi di Kepulauan Seribu.

Selain itu ICJR juga menyesalkan perintah penahanan yang dikeluarkan oleh PN Jakarta Utara. ICJR memandang bahwa syarat – syarat dilakukannya penahanan terhadap Ahok justru tidak tersedia. Dalam kasus ini, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah mengikuti dan bersikap kooperatif terhadap seluruh proses persidangan.

Penetapan hakim untuk melakukan penahanan terhadap Ahok tak bisa ditawar-tawar dan harus dilakukan. Sehingga Jaksa pun langsung menggelandang Ahok ke Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur.  

Menurut ketua Tim Jaksa Penuntut Umum, Ali Mukartono penahanan itu sesuai penetapan majelis hakim dalam putusan yang memerintahkan agar Ahok ditahan.

"Iya langsung dilaksanakan, tidak ada tawar menawar karena penetapan itu segera," kata Ali usai sidang, Selasa (9/5).

Ia menegaskan penahanan itu bukanlah eksekusi terhadap Ahok karena status yang bersangkutan masih terdakwa. Dijelaskannya hal itu artinya pelaksanaan penetapan hakim yang ada dalam putusan.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam putusanya memerintahkan agar dilakukan menahan terdakwa penodaan agama dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

"Memerintahkan terdakwa ditahan," ucap Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Dwiarso, saat membacakan amar putusan di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (9/5).

Majelis menyatakan terdakwa Ir Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pidana penodaan agama. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu pidana penjara 2 tahun.

HAKIM TIDAK INDEPENDEN - Kritik serupa juga disampaikan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Elsam menilai putusan hakim yang menghukum Ahok 2 tahun dengan langsung ditahan menunjukkan bahwa pengadilan gagal melindungi dan menjaga marwah Pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan. Putusan itu seolah mengkonfirmasi bahwa pengadilan tunduk pada tekanan massa.

Menurut Elsam, Majelis Hakim PN Jakarta Utara harus membaca secara cermat dan kontekstual terhadap eksistensi dan penggunaan Pasal Penodaan Agama. Sebab rumusan Pasal 156 a KUHP disusun secara sumir, longgar, dan tidak dirumuskan dengan sangat ketat. "Sehingga dapat menimbulkan tafsir yang sangat beragam dalam implementasinya," ujar pernyataan tertulis disampaikan Direktur Elsam Wahyu Wagiman yang diterima gresnews.com, Selasa (9/5)

Menurutnya dilihat dari prinsip kepastian hukum, Pasal 156a ini sangat berpotensi digunakan secara sewenang-wenang, tak ada prinsip kepastian hukum. Akibatnya Ahok dengan mudah menjadi korban dalam kasus penodaan Agama, diperparah lagi dengan adanya tuntutan massa.

Majelis Hakim harusnya melakukan analisa dan elaborasi secara kritis terhadap unsur "niat, kesengajaan untuk menghina" oleh Ahok dalam peristiwa di Kepulauan Seribu. Majelis Hakim sepertinya mengabaikan unsur mens rea atau sikap batin (kondisi jiwa) Ahok pada peristiwa di Kepulauan Seribu.

Buruknya putusan Majelis Hakim PN Jakarta Utara juga tampak dari perintah penahanan yang dikeluarkan oleh PN Jakarta Utara. Padahal syarat-syarat untuk dapat dilakukan penahanan terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak tersedia. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah mengikuti dan bersikap kooperatif terhadap seluruh proses persidangan. Ahok pun masih mengemban tugas yang sangat besar untuk menjalankan roda pemerintahan di Provinsi DKI Jakarta.

Dalam kerangka ini, independensi dan keteguhan pemikiran Majelis Hakim PN Jakarta Utara tidak tercermin dalam Putusan perkara No. 1537/PidB/2016/PNJktutr, karena dapat disimpulkan bahwa Putusan tersebut tidak berdasarkan fakta-fakta.

Putusan ini pun dinilai Elsam, akan berdampak pada semakin buruknya pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.


ALASAN PENAHANAN AHOK - Sebelumnya majelis hakim  menyatakan alasannya menetapkan agar Basuki Tjahaja Purnama langsung ditahan, karena apabila tidak dicantumkan perintah penahanan, putusan bisa tersebut bisa batal demi hukum.

"Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 193 ayat 2a KUHAP menyebutkan ´pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan, cukup untuk itu," kata Hakim dalam pertimbangannya.  

Selain itu juga dijelaskan alasan perintah penahanan terdakwa yang dimaksud adalah bilamana hakim pengadilan tingkat pertama yang memberi putusan berpendapat perlu dilakukannya penahanan tersebut karena dikhawatirkan bahwa selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana kembali

"Menimbang bahwa Pasal 21 ayat 4 KUHAP menyebutkan penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih," tambah hakim.

Ahok dinyatakan bersalah  melanggar Pasal 156a huruf a KUHP. Dimana ancaman maksimal dalam pasal tersebut adalah 5 tahun penjara.

Dengan putusan hukuman pidana penjara terhadap Ahok, maka surat putusan tersebut harus memuat apakah terdakwa ditahan atau tetap ditahan atau dibebaskan. Ketentuan itu sesuai dengan Pasal 197 ayat 1 huruf k KUHAP.

"Menimbang bahwa Pasal 197 ayat 1 huruf k KUHAP menyebutkan bahwa ´surat putusan pemidanaan memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan´," kata hakim.

Jika majelis hakim tidak mengeluarkan perintah penahanan, maka putusan hakim terhadap Ahok bisa dinyatakan batal demi hukum.

"Menimbang bahwa Pasal 197 ayat 2 KUHAP menyebutkan ´tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum," kata hakim.

Majelis hakim pun akhirnya memutuskan agar Ahok langsung menjalani penahanan. Jaksa kemudian melaksanakan penetapan itu dengan menahan Ahok di Rumah Tahanan, Cipinang, Jakarta Timur.(dtc)

BACA JUGA: