JAKARTA, GRESNEWS.COM - Institute for Criminal Justice reform (ICJR) mendorong pemerintah untuk membentuk peraturan lebih konkrit tentang pembebasan biaya pembuatan visum et repertum bagi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sebab dalam praktiknya  masih banyak korban yang harus menanggung sendiri biaya visum. Terutama bagi warga yang tidak memiliki jaminan kesehatan.  

Oleh karena itu ICJR mengaku mendukung langkah Pemerintah DKI Jakarta yang tengah menyusun Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Pembebasan Biaya Visum bagi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di RSUD dan Puskesmas. Kebijakan ini ICJR nilai merupakan langkah maju dalam hal perlindungan korban, yang sebenarnya telah dinyatakan dalam berbagai regulasi.

Terkait biaya visum ini sebenarnya dalam UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dalam Pasal 39 dinyatakan bahwa korban berhak mendapatkan pemulihan dalam bentuk pelayanan kesehatan. Dalam Peraturan Pelaksanaan UU ini, yakni PP No 4 tahun 2006 tentang  Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga disebutkan, salah satu pelayanan kesehatan yang wajib diberikan oleh tenaga kesehatan kepada korban adalah pembuatan visum et repertum.

"Dalam PP ini juga dinyatakan secara tegas bahwa biaya pemulihan kepada korban, termasuk di dalamnya fasilitas pembuatan visum dibebankan kepada APBN dan APBD," tulis ICJR dalam situs resminya.

Peraturan Menteri Kesehatan No 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional juga menyebut bahwa pelayanan pembuatan visum masuk ke dalam pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan yang ditanggung oleh jaminan kesehatan nasional.  

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS), yang merupakan badan hukum yang menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional, juga menyatakan bahwa pelayanan kedokteran forensik termasuk pembuatan visum adalah bagian dari pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat lanjutan. Itu berarti, pembuatan visum merupakan salah satu layanan kesehatan yang dijamin oleh jaminan kesehatan nasional.

Namun demikian ICJR melihat upaya pemenuhan hak korban atas visum yang ditanggung oleh jaminan kesehatan nasional,  hanya diberikan kepada korban yang memiliki jaminan kesehatan nasional. Hal ini menimbulkan masalah bagaimana dengan nasib korban yang tidak tercover dalam layanan jaminan kesehatan.

Sebab alam praktiknya hal ini masih jauh dari harapan. Banyak korban yang harus menanggung sendiri biaya visum ketika berhadapan dengan kasus hukum. Padahal banyak korban yang belum memiliki atau mengikuti jaminan kesehatan, dan mereka bermasalah untuk dapat jamin hak atas visum gratis.

Hingga saat ini banyak korban yang justru mengeluh karena harus dibebani biaya visum yang nilainya beragam dari Rp1.500.000 atau lebih. Padahal visum merupakan alat bukti tindak pidana secara teori masuk ke dalam anggaran penyelesaian perkara pidana yang berdasarkan Pasal 136 KUHAP, sehingga  seharusnya menjadi tanggung jawab negara.

Pasal 136 KUHAP sebetulnya telah tegas mengamanatkan bahwa "Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kedua Bab XIV -(bab XIV: penyidikan) ditanggung oleh negara."

Oleh karenanya langkah Pemda Provinsi DKI Jakarta memasukkan biaya pemeriksaan/penyidikan ke dalam APBD merupakan suatu langkah Maju yang patut dicontoh daerah-daerah lain di Indonesia. Rencana pembuatan peraturan gubernur DKI Jakarta tentang pembuatan visum gratis ini juga  akan berdampak positif bagi memenuhi hak korban atas pelayanan kesehatan.

ICJR bahkan mendorong agar layanan kesehatan ini tidak hanya kepada korban KDRT, namun juga kepada korban kekerasan lainnya terutama korban kejahatan seksual.

TAMBAH BEBAN KORBAN - Kendati menjadi alat bukti dalam proses hukum, sehingga seharusnya menjadi bagian proses penanganan perkara dan dibiayai negara, kenyataannya biaya visum kerap menjadi persoalan karena dibebankan kepada korban yang sudah menderita.

Direktur Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama, Maya Dina RM sempat memprotes tidak dimasukannya anggaran untuk visum dalam APBD Kabupaten Jepara. Maya pun mendesak pemerintah setempat menyediakan dana untuk membiayai visum terhadap korban KDRT.

Sebab menurut Maya di Kabupaten Jepara dalam setahun bisa terdapat 30 kasus korban kekerasan seksual yang menimpa anak di bawah umur. Jika ditambah korban kekerasan dalam rumah tangga bisa jumlahnya bisa mencapai 100 kasus. "Mereka ketika divisum harus bayar sendiri," ungkap Maya beberapa waktu lalu.

Hal ini menurutnya kian menambah beban bagi korban yang sudah menderita.
Namun pemerintah setempat mengaku akan merespons keluhan Maya soal tidak tersedianya dana untuk visum korban KDRT.

Sementara di Kota Tarakan, Kalimantan Utara sejak awal Februari 2017 juga tak lagi menggratiskan biaya untuk visum bagi korban tindak kejahatan. Korban diharuskan membayar sendiri biaya pemeriksaan visum tersebut.

"Untuk proses hukum terhadap pelaku KDRT dan cabul, pihak kepolisian membutuhkan alat bukti. Di antaranya hasil visum dari rumah sakit terhadap para korban. Namun kini biaya visum di rumah sakit tidak lagi ditanggung oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Tarakan, tetapi ditanggung sendiri oleh korban," ujar Humas Polres Tarakan Zebua kepada surat kabar lokal, Rabu (22/3)..   

Menurutnya biaya visum untuk korban KDRT berkisar antara Rp300 ribu. Sedangkan untuk biaya visum korban pencabulan berkisar Rp700 ribu. Sehingga memang diperlukan regulasi yang jelas oleh pemerintah terkait pembiayaan pemeriksaan visum agar korban yang sudah menderita harus dibebankan kembali.

BACA JUGA: