JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara Pelaksanaan Hak warga Binaan Pemasyarakat yang salah satunya mempermudah pemberian remisi bagi pengguna dan pecandu narkoba mengundang polemik. Rencana pemerintah itu sendiri digulirkan dalam rangka mengurangi jumlah tahanan di lembaga pemasyarakatan yang sudah over kapasitas.

Terkait rencana ini, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan dukungannya. Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, pilihan pemerintah untuk melakukan remisi yang menyasar kasus narkotika sudah tepat. "Setidaknya kebijakan ini akan menyasar langsung 28.624 penghuni pengguna dan pecandu narkotika di Indonesia," ujarnya kepada gresnews.com, Sabtu (29/4).

Dia mengatakan, syarat pidana penjara minimal 5 tahun dalam Pasal 34A Ayat (2) PP 99 telah mengakibatkan kesalahan dalam mengidentifikasi pengguna dan pecandu narkotika. Ketentuan ini mengakibatkan banyak pecandu dan pengguna narkotika yang terkena ancaman pidana dengan pasal "bandar" sehingga diancam dengan pidana 5 tahun. "Aturan hukum narkotika di Indonesia, memiliki masalah besar dalam pengkualifikasian antara pengguna narkotika dengan ´bandar´," kata Supriyadi.

Dalam catatan ICJR, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, label bandar dan pengguna hanya dipisahkan oleh pasal-pasal penguasaan dalam narkotika yang terkenal karet, sehingga, banyak pengguna dan pecandu narkotika yang dikategorikan sebagai "bandar". Dengan kata lain, jumlah pengguna dan pecandu narkotika secara faktual dan empiris lebih banyak dari data resmi yang dikeluarkan pemerintah.

"Sekali lagi, karena UU Narkotika gagal untuk secara tegas mengidentifikasi dikotomi antara bandar dan pengguna atau pecandu," tegas Supriyadi.

Data penelitian tahun 2016, di PN Surabaya yang dilakukan oleh ICJR, Rumah Cemara dan Yayasan Orbit di Surabaya misalnya, dakwaan tertinggi yang dijatuhkan bagi pengguna dan pecandu narkotika adalah pasal-pasal dengan label "bandar". Temuan ICJR, 61% dakwaan yang diajukan Jaksa pada pengguna dan pecandu narkotika mencantumkan Pasal 111 dan 112 UU Narkotika.

"Pasal-Pasal ini adalah pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat pengguna dan pecandu narkotika dengan ancaman pidana yang sangat tinggi, yaitu minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun," papar Supriyadi.

Pasal-pasal ini juga secara otomatis mengategorikan seorang pengguna dan pecandu sebagai "bandar", dengan kata lain, pada mereka, tidak dapat diberikan remisi. Masalahnya, sejalan dengan penggunaan pasal "bandar" tersebut, 94% pengguna dan pecandu narkotika, dijatuhi pidana penjara dan otomatis tidak mendapatkan remisi.

ICJR, kata Supriyadi, menaruh perhatian besar pada para pengguna dan pecandu narkotika yang ada dalam Lapas. Buruknya keadaan Lapas menambah buruk penanganan pengguna dan pecandu narkotika, salah satu sumber dari masalah ini adalah penghuni berlebih dalam Lapas di Indonesia. "Lebih dari itu, penanganan khusus pengguna dan pecandu narkotika dengan prinsip pengurangan dampak buruk juga tidak berjalan baik, salah satunya penyediaan pusat rehabilitasi dan obat-obatan yang sangat minim," ujarnya.

ICJR juga mempertimbangkan juga posisi BNN yang telah disampaikan oleh Kepala Bagian Humas BNN Kombes Sulistiandriatmoko. BNN memilih inovasi lapas dan klasifikasi kategori terpidana narkoba untuk mencegah lapas kelebihan kapasitas. ICJR, kata Supriyadi, mengapresiasi rekomendasi BNN. Namun, kata dia, dalam kondisi saat ini, sangta sulit untuk melakukan inovasi, karena Rutan dan Lapas yang ada sudah mengalami kelebihan beban untuk menampung para narapidana. Kapasitas yang tersedia hanya untuk 121.790 orang, namun jumlah penghuni Rutan dan Lapas saat ini adalah 217.957 orang per Maret 2017.

"Fasilitas lapas juga tidak memadai, apalagi untuk mendukung program rehabilitasi bagi pengguna dan pecandu narkotika, sehingga tidak heran apabila peredaran gelap narkotika marak di dalam Lapas, sebab selain pengguna dan pecandu minim pengobatan mereka juga hidup dalam situasi yang minim," ujar Supriyadi.

Selain itu, masalah klasifikasi antara pengguna dan pengedar narkotika sudah pasti sulit dilakukan, sebab bahkan UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika gagal untuk memuat pengaturan rinci untuk membedakan pengguna dan bandar narkotika. Hasilnya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, banyak para pengguna dan pecandu narkotika yang justru dilebeli sebagai Bandar, dan bukan sebaliknya.

Supriyadi menilai, Revisi PP 99 oleh Pemerintah tentu saja akan memberikan angin segar bagi penanganan pengguna dan pecandu narkotika, meskipun target yang disasar masih sangat rendah yaitu hanya persoalan kelebihan beban Lapas. Untuk itu rekomendasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah yakni: pertama, Pemerintah perlu merevisi PP 99 khususnya untuk kasus-kasus narkotika, khususnya bagi terpidana yang didakwa dengan pasal pengguna dan pecandu narkotika.

Kedua, memastikan berjalannya program-program pengurangan dampak buruk bagi pengguna dan pecandu narkotika. "Untuk saat ini, program rehabilitasi harus tersedia di seluruh Lapas di Indonesia, tidak hanya itu, program rehabilitasi yang dimaksud harus dilakukan berdasarkan kebutuhan masing-masing pengguna dan pecandu narkotika," katanya.

Ketiga, segera melakukan revisi pada UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika yaitu memastikan tidak ada pidana penjara bagi pengguna dan pecandu narkorika. "Selain itu memastikan pengaturan pidana penjara tidak akan menyasar korban pengguna dan pecandu narkotika," pungkas Supriyadi.

BOROSKAN APBN - Sebelumnya, peneliti Pusako Universitas Andalas Khairul Fahmi mengatakan, saat ini jumlah tahanan/narapidana yang menembus 200 ribuan orang membuat anggaran makan mereka membengkak. Akibatnya, triliunan rupiah APBN digelontorkan per tahun untuk memberi makan penghuni LP/rutan, yang sebagian besar adalah pengguna narkotika. "Dengan terus meningkatnya jumlah napi, beban APBN akan bertambah," kata Fahmi, Senin (24/4).

Dalam satu hari, negara memberikan jatah makan Rp15 ribu untuk tiga kali makan. Uang jatah makan Rp15 ribu per hari itu masih dipotong keuntungan pihak katering. Saat ini jumlah tahanan dan narapidana 200 ribuan orang. Bila dikalikan Rp15 ribu per hari dan dikalikan 365 hari, dalam setahun APBN harus dikucurkan sebesar triliunan rupiah untuk makan tahanan/narapidana.

"Penambahan narapidana tersebut akan berdampak pada menurunnya kualitas asupan makanan dan gizi para napi. Hal demikian tentu bertentangan dengan tujuan pemasyarakatan, yakni untuk lebih memperlakukan napi secara manusiawi," ujar Fahmi.

Dengan efek domino dari overkapasitas itu, diperlukan strategi ´mengurangi´ penghuni secara kilat. Salah satunya mempermudah remisi bagi pengguna dan pengecer kecil narkoba. Dari 70 ribuan terpidana narkoba, ternyata hanya 28 ribuan terpidana yang masuk kategori gembong narkoba.

Oleh sebab itu, diperlukan revisi PP 99/2012 karena PP 99/2012 itu mempersulit pengguna narkoba mendapatkan remisi. Karena salah satu syaratnya harus mendapatkan surat justice collaborator (JC). "Dengan hanya sebagai pemakai atau pengedar yang juga tidak terlalu jelas detail kategorinya dalam UU Narkotika, amat sulit bagi napi memenuhi syarat jadi JC yang diatur dalam PP 99/2012," ujar Fahmi.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pun menyambut baik imbauan itu. Dia mengatakan pihaknya saat ini tengah berupaya mengurangi kelebihan kapasitas di lapas. Salah satu solusinya dengan mengkaji anggaran rehabilitasi untuk pengguna narkotika di lapas.

"Kita mengurangi demand side seperti pendidikan, bantuan masyarakat, pendidikan itu penting. Rehabilitasi, jangan hanya artis yang direhab. Anggaran rehab harus kita pikirkan ulang. Dua tahun lalu kita alokasikan 100 ribu, itu mahal. Tapi kalau tidak ditreat, lapas jadi lahan subur untuk permainan," ujar Yasonna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (25/4).

Yasonna mengatakan, mustahil saat ini untuk membangun lapas baru. Ia beralasan, anggaran membangun lapas membutuhkan biaya yang tidak sedikit. "Bayangkan, kita punya 5 juta pemakai, ini survei. Ditangkap 10 persen berarti 500 ribu. Sekarang saja dengan kapasitas 220 ribu sudah mabok, sudah tidak manusiawi, sudah tidak bisa tidur, tidurnya giliran, berdiri, itupun tidur jongkok. Kita tidak mampu terus-terusan membangun lapas karena biayanya mahal sekali," ujar Yasonna.

Karena itu, pemerintah saat ini tengah mengkaji revisi PP 99/2012. Saat ini, fokus Yasonna untuk melakukan remisi terpidana narkoba. "Kita sepakat korupsinya nggak dulu. Ini soal narkoba, kita nilai soal kerancuan siapa bandar. Kalau bandar tidak akan mungkin kita inikan. Kadang dalam penerapan hukum dibuat evaluasi. Kadang dia memiliki 3, dikatakan kurir. Jadi, dari kasusnya ada tim yang mengoreksi itu. Ini akan menolong," jelas Yasonna.

Mengenai tim yang dibentuk untuk mengkaji, Yasonna mengatakan banyak yang dari kalangan independen. "Banyak dari independen, tergantung dari institusi. Misalnya dari kepolisian atau kejaksaan. Ini harus ada untuk memberikan masukan yang fair. Tokoh masyarakat atau independen, kita kaji," ujar Yasonna.

Yasonna juga menjelaskan, dalam waktu dekat ini tidak mungkin untuk melakukan remisi terpidana korupsi. "Kalau korupsi banyak resistensi. Walaupun filosofi semua orang berhak. Ini kan kita harus responsif dengan tuntutan masyarakat," tutupnya.

 

BNN TAK SETUJU - Pada sisi lain, Badan Narkotika Nasional (BNN) menolak usul pengurangan tahanan dengan melonggarkan remisi untuk terpidana narkotika. BNN lebih memilih inovasi lapas dan klasifikasi kategori terpidana narkoba untuk mencegah lapas kelebihan kapasitas. "Beberapa kali Pak Buwas menyatakan, mengatasi overkapasitas lapas bukan remisi, tetapi bagaimana mengembangkan lapas dan rutan lebih inovatif seperti dulu pernah disampaikan ada lapas untuk kategori bandar, pengedar, dan pengguna," ujar Kombes Sulistiandriatmoko, Selasa (25/4).

Sulis mengatakan, dahulu Kepala BNN pernah mengusulkan ada satu penjara khusus untuk bandar narkoba di pulau terluar Indonesia atau lapas maximum security khusus pengedar narkoba. Toh, pada akhirnya langkah itu lebih efektif untuk menekan angka peredaran narkoba di Indonesia. "BNN tidak sependapat kalau jalan keluar remisi. Tetapi itu ranah Menkum HAM untuk menentukan," tuturnya.

Sebetulnya, lanjut Sulis, munculnya ide inovasi lapas dengan dijaga hewan buas merupakan sindiran halus. Terlebih dengan maraknya praktik peredaran narkoba di lapas dan wacana pembangunan lapas yang membuang anggaran pemerintah. "Jangan sekadar bangun lapas, tapi inovasi. Klasifikasi mana bandar, mana pelaku yang pengedar dan pengguna, jadi masing-masing punya komunitas lapas sendiri," paparnya.

Sebagaimana diketahui, saat ini terpidana narkoba menjadi penghuni mayoritas LP yang mencapai 70 persen. Angka itu terdiri atas bandar, gembong, atau produsen narkotika sebanyak 23 ribu orang, pengedar narkoba sebanyak 34 ribu orang, dan pemakai narkoba 20.171 orang. Jumlah yang sangat besar itu menjadi penyumbang terbesar overkapasitas LP.

Sulis pun mempertanyakan sistem pengawasan pemberian remisi untuk terpidana narkoba. Terlebih penjahat narkoba terus mengikuti perkembangan zaman yang ada. "Siapa yang biasa awasi mereka itu pengguna? Jangan-jangan dengan remisi bisa salah orang, yang mana peran bukan pengguna, tapi karena pintar dia bisa atur diri bisa jadi pengguna," tuturnya.

Sedangkan terhadap usulan justice collaborator (JC), Sulis melihat hal itu juga kurang efektif. Sebab, selama ini penyelidikan dan penangkapan selalu menggunakan sistem berbasis IT. "Kalau JC, kita akan selektif berikan JC, karena hampir kasus yang ditangani BNN tidak ada tersangka dan terpidana yang sifatnya JC, karena proses penangkapannya menggunakan teknologi IT, sehingga kita tahu persis peran yang bersangkutan," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: