JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Putusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut kewenangan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri untuk membatalkan Peraturan Daerah (Perda) menjadi bukti adanya kelemahan dalam proses pembentukan Undang-Undang selama ini. Putusan tersebut menunjukkan bahwa hampir setiap lembaga ingin memiliki kewenangan sendiri-sendiri. Penyelenggara dari level menteri hingga pejabat di bawahnya ingin punya wewenang.

Menurut pakar hukum tata negara Margarito Kamis, bentuk keinginan memiliki kewenangan itu muncul dari adanya ketentuan di dalam UU yang kerap berbunyi "ketentuan lebih lanjut diatur di dalam peraturan menteri", misalnya. Demikian pula di dalam peraturan menteri tersebut kerap ditemukan norma yang berbunyi "ketentuan lebih lanjut diatur di dalam peraturan atau surat edaran Dirjen", dan sebagainya. Dengan demikian, kata Margarito, baik menteri, dirjen, maupun pejabat-pejabat lain di bawahnya punya kewenangan masing-masing.

"Hal itu juga menunjukkan bahwa UU yang selama ini dibuat sifatnya umum. Tidak rigid dan rinci," terang, kepada gresnews.com, Senin (10/4).  

Dalam konteks adanya pendelegasian kewenangan itu Margarito lantas menyebut kedudukan Kemendagri tak ubahnya "boss of the boss", bos besar dari bos-bos kecil di daerah. Makanya, saat MK mencabut kewenangan Kemendagri itu, lepas dari konteks bahwa banyak Perda yang menghambat investasi, secara tidak langsung, Kemendagri telah kehilangan ´wibawa´-nya di hadapan para pemimpin daerah.

"Kita sama-sama tahulah, saat Kemendagri punya kekuatan, orang-orang daerah itu kan ´berbondong-bondong´ ke Jakarta. Nah sekarang mereka tidak usah lagi melakukan hal itu," kata Margarito.

Dengan adanya kesan bahwa Kemendagri masih ingin memiliki kewenangan mencabut Perda, di sisi lain pihak daerah punya peluang untuk terus membuat perda, Margarito menyarankan, ke depan, pembuat UU harus membuat norma yang lebih rigid dan rinci.

"Bikin saja UU yang pasal-pasalnya rinci dan detail yang punya kemampuan untuk memprediksi apa yang akan dilakukan daerah. Potong peluang Pemda untuk membuat perda-perda yang dianggap menghambat investasi dan segala macamnya. Resikonya, pembuat UU mesti bekerja lebih keras," paparnya.

Namun demikian, Margarito mengingatkan, tugas besar bukan hanya ada di lembaga legislatif. Kemendagri sebagai lembaga eksekutif juga punya tanggung jawab sama besar untuk memastikan UU yang dibuat itu bakal rigid dan rinci.

"Intinya, harus ada koordinasi yang baik entah itu dengan unsur-unsur di parlemen maupun di kabinet untuk memastikan pembentukan UU ke depan bisa membatasi kreasi liar di daerah. Maksud saya, kreasi liar itu Perda-Perda yang bertentangan dengan UU," katanya.

Selain itu, Margarito juga menyarankan, untuk menjembatani dampak buruk dari adanya putusan MK. Misalnya para pencari keadilan terkatung-katung menunggu kepastian hukum, lembaga peradilan (dalam hal ini Mahkamah Agung) harus segera dibenahi.

Alasannya, Perda-Perda yang dianggap bertentangan dengan peraturan di atasnya itu masih bisa di-judicial review ke Mahkamah Agung. Bukan tidak bisa dibatalkan sama sekali. Karena itulah proses judicial review yang berlangsung di MA mesti dilakukan secara transparan, agar adu argumen di dalamnya bisa diikuti semua kalangan.

"Ajari pengadilan untuk mencintai negara ini sebagai sebuah negara kesatuan. Ajari pengadilan bahwa sebagai sebuah negara kesatuan, Republik Indonesia itu harga final. Jangan kasih celah-celah buat federalisme, misalnya begitu," kata Margarito.

Terakhir, Margarito menerangkan, alasan mengapa membuat Perda atau membuat peraturan lainnya terkesan ´digandrungi´ banyak pihak, hal demikian biasanya muncul dari syahwat kekuasaan.

"Kita tahu, wewenang atau hak seseorang tidak lahir dari klaim-klaim sosial maupun politik, tapi lahir dari aturan-aturan hukum. Praktis, hukumlah yang menjadi sumber hak dan kewenangan. Maka, untuk mewujudkan mimpi atau keinginan, Anda mesti melembagakan mimpi-mimpi itu ke dalam hukum," katanya.

SAMA-SAMA DIRUGIKAN - Sementara itu, Kuasa Hukum APKASI Andi Syafrani menyatakan, atas putusan MK, kerugian juga ada pada pihak APKASI. Bukan pada pihak Kemendagri semata. Alasannya, dari 14 pasal yang digugat, hanya 1 pasal saja yang dibatalkan. Itu juga cuma beberapa ayat.

"Secara umum, APKASI merasa kalah. Tidak merasa menang sama sekali. Dengan adanya putusan MK, Kemendagri mestinya merasakan apa yang dirasakan pihak Pemda selama ini: saat Perda dibatalkan, rasanya menyakitkan," kata Andi kepada gresnews.com, Senin (10/4).

Lantaran itulah sebagai pihak yang sama-sama ´dirugikan´, Andi menyambut baik rencana Kemendagri menggelar dialog dan pertemuan.

"Saya kira di sinilah posisinya kita bisa duduk bersama-sama mendiskusikan dengan Mendagri bagaimana agar peran bupati dan walikota ini bisa lebih maksimum dalam menjalankan fungsi-fungsi mereka untuk berbuat lebih banyak kepada rakyat," paparnya.

Di sisi lain, Andi juga berharap Mendagri bisa mencari solusi agar para pimpinan daerah sama-sama dinilai kooperatif dalam rangka pembangunan nasional.

"Kita cari solusinya. Saya kira pasti akan ketemu. Mungkin kalau mau, ke depan kita lakukan lagi perubahan terhadap UU. Menurut kita begitu. Jadi kita duduk bersama untuk merumuskan UU Pemda yang sesuai dengan nilai-nilai konstitusional," paparnya.

Namun demikian, Andi menerangkan, terkait substansi dicabutnya kewenangan Kemendagri untuk mencabut Perda, hal itu tidak bisa ditawar lagi karena sudah menjadi hukum positif.

Disinggung soal detail pertemuan dengan Kemendagri, Andi menyebut hal itu belum ada gambarannya sama sekali. "Untuk pertemuan dengan Kemendagri, saya belum update. Apkasi akan bahas dulu putusan ini secara internal minggu ini," pungkasnya.

Diketahui, pasca keluarnya putusan MK yang membatalkan kewenangan Kemendagri mencabut Perda, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan akan menggelar pertemuan dengan Apkasi. Tjahjo menyebut putusan MK justru telah menghambat investasi yang diinginkan Presiden Joko Widodo.

"Sebagai Mendagri, saya  tidak habis pikir dengan putusan MK yang mencabut kewenangan membatalkan perda-perda yang menghambat investasi," ujar Tjahjo, Kamis (6/4).

BACA JUGA: