JAKARTA, GRESNEWS.COM - Nama Arif Budi Sulistyo, yang merupakan  adik ipar dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), mendadak menjadi pembicaraan publik lantaran namanya disebut dalam surat dakwaan bos PT Eka Prima Ekspor Indonesia (EKP) Ramapanicker Rajamohanan Nair. Ia diduga menjadi penyebab lolosnya pembebasan hutang pajak PT EKP sebesar Rp78,7 miliar.

Arif sendiri diketahui merupakan Direktur Operasional PT Rakabu Sejahtera. Ia juga diketahui merupakan Ketua Bidang Usaha Indonesian Bare Core Assosiation atau Asosiasi Kayu lapis seluruh Indonesia sejak Mei 2015.

Alumnus UPN Veteran Yogyakarta ini disebut memfasilitasi pertemuan Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi dengan pengusaha Rajamohanan. Hingga berujung dibebaskannya pengusaha tersebut dari sejumlah kewajiban atas hutang pajaknya.

Arif bukanlah orang pertama dalam keluarga penguasa yang terbelit kasus hukum di KPK. Pada periode penguasa sebelumnya ada nama mantan Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan. Besan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono juga sempat berurusan dengan lembaga antirasuah ini.

Terkait Arif, KPK sendiri memang terlihat sangat berhati-hati untuk memprosesnya. Bahkan, namanya juga tidak masuk dalam jadwal pemeriksaan saksi yang biasa tertera di ruang pemeriksaan KPK.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengaku belum bisa menjerat Arif walaupun dalam konstruksi dakwaan ia disebut melakukan pertemuan dengan Direktur Jenderal Pajak, Ken Dwijugiasteadi. Menurut Saut terlalu dini untuk menyimpulkan adanya tindak pidana yang dilakukan Arif.

"Kita belum sampai ke sana, baru disebut nama itu, masih ada proses, tapi sejauh apa perannya belum detail," kata Saut di kantornya, Minggu (19/2).

Saut memaparkan pihaknya akan mencari informasi lebih jauh mengenai keterlibatan Arif dari keterangan para saksi lain. Harapannya, agar segala informasi yang diterima penyidik mempunyai validasi yang akurat. "Harus lah, crosscheck, doublecheck," tandasnya.

TRAGEDI ANTASARI - Saut juga mengapresiasi pernyataan Presiden Joko Widodo yang mempersilahkan KPK memproses hukum iparnya. "Kalau ada komentar dari istana, itu bagus," ujarnya.

Presiden Joko Widodo sebelumnya sempat angkat bicara mengenai disebutnya nama Arif dalam surat dakwaan Rajamohanan. Kepala Negara yang kerap disapa Jokowi ini justru menyerahkan segala proses hukum terkait hal tersebut kepada KPK.

"diproses hukum saja. Kita semua menghormati proses hukum yang ada di KPK. Kita semua harus menghormati proses hukum yang ada di KPK. Dan saya yakin KPK bekerja profesional dalam proses semua kasus," kata Jokowi, di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (16/2).

Namun, KPK diduga dibayangi pengalaman pahit saat memproses perkara keluarga penguasa. Sebab tak lama setelah lembaga antikorupsi ini mentersangkakan Aulia Pohan, Antasari Azhar, Ketua KPK kala itu menjadi tersangka, karena disebut menjadi dalang pembunuhan Presiden Direktur Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen.

Perjalanan perkara ini dimulai ketika Antasari mengumumkan status tersangka Aulia Pohan pada 29 Oktober 2008 karena diduga melakukan korupsi terkait penarikan dana Rp100 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI).

Kemudian pada 27 November 2008 ia ditahan tim penyidik karena berbagai alasan baik subyektif maupun obyektif. Penahanan Aulia Pohan setelah ia diperiksa untuk keempat kalinya baik dalam kapasitasnya sebagai saksi maupun tersangka.

Beberapa bulan kemudian tepatnya pada 14 Maret 2009 masyarakat terkejut atas meninggalnya Nasrudin Zulkarnaen yang diduga merupakan korban pembunuhan. Antasari Azhar kerap disebut namanya karena diduga mempunyai konflik berlatar belakang asmara dengan seorang caddy golf bernama Rani.

Selanjutnya pada 4 Mei 2009, ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya karena diduga menjadi dalang pembunuhan ini. Pada hari yang sama, ia pun langsung ditahan penyidik.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengklaim jika pihaknya akan bekerja secara profesional untuk mengungkap kasus tersebut. Saat ditanya apakah KPK berani menjadikan Arif sebagai tersangka, Febri enggan berkomentar pasti.

"Bukan soal berani atau tidak. Proses hukum sedang kami lakukan dan KPK tentu profesional dalam menjalankan proses hukum tersebut," ujar Febri.

PERANAN ARIF - Dalam surat dakwaan Rajamohanan, disebutkan Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus Muhammad Haniv sempat bertemu dengan penyidik pajak Handang Soekarno dan menyampaikan pesan dari Arif Budi Sulistyo bahwa ia ingin melakukan pertemuan dengan Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi.

Maksud dari pertemuan itu, diduga untuk membantu Rajamohanan yang sedang terlilit beberapa kasus pajak termasuk kewajiban dengan total Rp78,7 miliar.

"Pada tanggal 22 September 2016, Muhammad Haniv bertemu dengan Handang Soekarno. Kemudian Muhammad Haniv menyampaikan keinginan Arif Budi Sulistyo supaya dipertemukan dengan Ken Dwijugiasteadi selaku Direktur Jenderal Pajak. Keesokan harinya tanggal 23 September 2016 Handang Soekarno mempertemukan Arif Budi Sulistyo dengan Ken Dwijugiasteadi di Lantai 5 Gedung Dirjen Pajak," ungkap jaksa KPK Ali Fikri.

Pertemuan itu berbuntut keputusan yang menguntungkan perusahaan Rajamohanan. Yakni, penghapusan tunggakan kewajiban pajak PT Eka Prima Ekspor Indonesia senilai Rp52,3 miliar untuk masa pajak Desember 2014, dan Rp26,4 miliar untuk masa pajak Desember 2015.

"Selanjutnya Muhammad Haniv selaku Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Nomor : KEP- 07997/NKEP/WPJ.07/2016 tertanggal 2 November 2016 tentang Pembatalan Surat Tagihan Pajak Nomor : 00270/107/14/059/16 tanggal 06 September 2016 masa pajak Desember 2014 atas nama Wajib Pajak PT EKP dan Surat KeputusanNomor:KEP-
08022/NKEP/WPJ.07/2016 tertanggal 3 November 2016 tentang Pembatalan Surat Tagihan Pajak Nomor : 00389/107/14/059/16 tanggal 06 September 2016 masa pajak Desember 2015 atas nama Wajib Pajak PT EKP, dimana kedua surat keputusan tersebut diterima Terdakwa pada tanggal 7 November 2016," ungkap jaksa.

Sebelum diterbitkannya surat keputusan itu, perusahaan Rajamohanan yang terafiliasi dalam Lulu Group itu memang menghadapi persoalan pajak. Diantaranya terkait restitusi pajak sebesar Rp3,5 miliar pada periode Januari 2012-Desember 2014. Permohonan atas restitusi itu diajukan pada 26 Agustus 2015 ke KPP PMA Enam. Akan tetapi, permohonan restitusi itu ditolak lantaran PT EKP ternyata memiliki tunggakan pajak sebesar Rp52,3 miliar untuk masa pajak Desember 2014, dan Rp26,4 miliar untuk masa pajak Desember 2015. Tunggakan itu sebagaimana tercantum dalam surat tagihan pajak dan pertambahan nilai (STP PPN) tanggal 6 September 2016.

Selain itu, KPP PMA Enam juga mengeluarkan surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) PT EKP. Dasar pencabutan itu ditengarai lantaran PT EKP tidak menggunakan PKP sesuai ketentuan. "Sehingga ada indikasi restitusi yang diajukan tidak sebagaimana semestinya," ujar jaksa.

Atas persoalan itu, Rajamohanan lantas meminta bantuan Muhammad Haniv selaku Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus agar membatalkan tunggakan STP PPN tersebut. Kepada Rajamohanan, Haniv menyarankan agar PT EKP membuat surat pengaktifan PKP ke KPP PMA Enam.

Setelah pertemuan di Lantai 5 Gedung Ditjen Pajak itu, Haniv memerintahkan Kepala KPP PMA Enam Johnny Sirait agar membatalkan surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) PT EKP. Diduga, titah tersebut  merupakan arahan dari Ken.


BACA JUGA: