JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung tengah menyidik dugaan korupsi pembiayaan, dan pemberian dana talangan oleh PT Pengembangan Armada Niaga Nasional/PANN Maritime Finance (Persero)  ke PT Meranti Maritime untuk pembelian kapal. Namun pengucuran dana itu diduga untuk pembiayaan fiktif, serta  terjadi kongkalikong antara manajemen PT PANN dengan PT Meranti untuk  membobol keuangan perusahaan BUMN tersebut.

Dalam kasus ini, penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) telah memeriksa sejumlah saksi. Diantaranya, Hery Sugiarso dari PT PANN dan kepala Divisi Unit Bisnis PT PANN Eko Musono. Dalam kasus ini Hery diperiksa terkait prosedur pembayaran ke PT Meranti Maritime. Sedang Eko Musono diperiksa terkait prosedur permohonan pembiayaan kapal ke PT Meranti.

"Ada delapan saksi yang telah diperiksa penyidik," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Moh Rum di Kejaksaan Agung, Jumat (9/9).

Rum mengatakan, tim penyidik akan kembali memanggil sejumlah pihak untuk dimintai keterangan, agar dugaan pidana kasus korupsi itu semakin terang.

Menanggapi penyidikan ini, pihak Meranti mengklaim persoalan tersebut hanya perkara perdata bukan perkara pidana. Presiden Direktur PT Meranti Maritime Henry Djuhari mengatakan kendati menghormati proses hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung. Namun Henry menilai dugaan pidana dalam kasus ini tak tepat. Sebab pembiayaan untuk pembelian dan perawatan kapal yang dituding  fiktif didasari atas perjanjian hitam di atas putih. "Ada akte perjanjian antara PT PANN dan perusahaan," dalihnya  kepada gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Justru Henry menuding ditariknya kasus ini ke persoalan pidana karena ada kepentingan bisnis pihak tertentu. Upaya itu dalam rangka menguasai aset-aset milik PT Meranti. Sebab jika ditemukan ada tindak pidana dalam kasus ini, pihak terkait itu akan dengan mudah menguasai aset perusahaan.

"Kasus ini semata-mata dilatari persaingan bisnis," ungkap Henry.

Hal itu menurut dia,  ditandai dengan ditolaknya proposal perdamaian penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang diajukan PT Meranti oleh kreditur khususnya PT Maybank, di persidangan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Padahal  PT PANN menerima proposal perdamaian tersebut. Pengadilan Niaga pun akhirnya memutus pailit PT Meranti Maritime dan Henry Djuhari. Hingga pengelolaan asetnya kini di tangan kurator.

Padahal saat mengajukan PKPU itu Henry Djuhari, sempat mengajukan planing bisnis. Termasuk rencana sejumlah jaminan yang bisa dikembangkan untuk melunasi utangnya. Menurut dia, ada tiga aset properti Meranti Maritime yang dijadikan jaminan untuk mendapatkan pembiayaan perkapalan baik dari PT PANN dan Maybank yakni tanah di Jalan Tanjung Karang, Jalan Plaju, dan Jalan Simpruk Garden.

Pengembangan usaha properti diajukan karena sejumlah kapal sudah tidak bisa beroperasi lagi. "Ada dua unit properti dengan nilai yang signifikan untuk bisa dikembangkan guna pembayaran utang," beber Henry.

Dalam perjalanan PKPU itu, ada dua kapal yang dilelang krediturnya karena pihak Maybank terus bersikeras untuk mempailitkan, bahkan tidak ingin menempuh jalur damai. Padahal menurut Henry, jika tidak dipailitkan oleh Maybank, Meranti sanggup membayar hutangnya kepada PANN melalui pengembangan propertinya.

Dua kapal  yang dilelang adalah Kapal MV Agatis. Kapal ini sudah dilelang oleh Blossoms Global di Panama. Kemudian kapal MV Kenanga yang dilelang oleh STX Marine Services di Afrika Selatan.

Selain itu, kapal MV Mahoni posisinya sudah ditahan Lixin Shipyard, Shanghai, China dan sudah dalam keadaan terlalu lama ditambatkan di pelabuhan (cold lay-up). Jika ingin mengaktifkan kembali membutuhkan biaya sekitar US$750.000.

Henry menjelaskan dua properti yang bisa dikembangkan yakni tanah dan bangunan terletak di Jalan Tanjung Karang dan Jalan Plaju, seluas 1.640 m2, serta tanah di Jalan Talang Betutu seluas 800 m2. Keduanya dinilai strategis karena posisinya berdekatan dengan Stasiun MRT Dukuh Atas dan menghadap ke Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.

Guna memaksimalkan pemulihan untuk Maybank, debitur memberikan otoritas kepada STX Marine Services untuk bernegosiasi dengan Lixin Shipyard agar menjual kapal sesuai harga pasar dalam waktu 3 bulan. Hasil penjualannya setelah dikurangi pembayaran kepada STX dan Lixin diberikan kepada Maybank.

Sementara untuk PT PANN Pembiayaan Maritim senilai Rp1,13 triliun dibayarkan dengan aset Jalan Tanjung Karang dan Jalan Plaju. Adapun, jaminan Rukan Permata Senayan akan diserahkan kembali apabila pembayaran utangnya telah diselesaikan melalui skema.

Tagihan Growth High Investment Ltd (GHI) dibayar melalui jaminannya yakni sebuah unit rumah di Jalan Sekolah Kencana, Jakarta dan kavling tanah di Rancamaya, Bogor. GHI diberikan kebebasan melalui jalur eksekusi di bawah tangan untuk menutup piutangnya senilai Rp238,64 miliar.

Tagihan Meranti Alliance Shipping Pte Ltd dan PT Bintang Kreasi akan dibayarkan melalui hasil penjualan rumah di Jalan Simpruk Garden, Jakarta. Total tagihan keduanya mencapai Rp28,61 miliar.

Utang yang sudah dianggap lunas adalah milik Blossom International Shipping & Offshore Pte Ltd dan Blossom Global Marine & Industry Pte Ltd. Debitur menilai pembayaran sudah dilakukan melalui lelang kapal MV Agatis.

Namun hanya Maybank dari kreditor yang menolak PKPU. Henry menduga pihak yang menolak proposal itu karena ingin menguasai seluruh aset PT Meranti. Sebab dengan menggiring  isu pidana, akan lebih mudah untuk menguasai asetnya.

Seharusnya pihak kejaksaan memeriksa pihak Maybank yang dengan sengaja menghalangi rencana tersebut. Hal ini menurut dia, terjadi semata-mata karena Maybank ingin menguasai aset. "Kalau Maybank dibiarkan, akan terjadi kerugian negara yang sangat besar, apalagi disinyalir proses PKPU di Pengadilan Niaga berlangsung tidak wajar dan banyak fakta yang ´dipelintir´," kata Henry.

BUTUH WAKTU - Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah menjelaskan, kasus PT PANN masih terus didalami. PANN telah memberikan kredit ke PT Meranti untuk pembelian kapal, namun dalam perkembangannya, PT Meranti tak sanggup bayar sehingga kewajiban utang tertunggak hingga Rp1,3 triliun.

"Kita masih dalami," kata Arminsyah di Kejaksaan Agung, Jumat (26/5).

Arminsyah mengatakan, setelah memeriksa sejumlah saksi, baik pihak PT PANN maupun PT Meranti penyidik telah mengantongi sejumlah bukti untuk menetapkan calon tersangka. Kendati telah mengantongi sejumlah bukti, namun penyidik masih menunggu hasil evaluasi untuk menetapkan tersangkanya.

"Untuk itu, kita masih butuh waktu agar tim meyakini dan bisa melangkah lebih jauh," kata Arminsyah.

Kasus ini bermula saat  PT PANN Maritime Finance mengucurkan kredit kepada perusahaan Group PT Meranti Maritime untuk pengadaan kapal KM Kayu Putih pada 2011 lalu. Namun dalam perjalanannya Kapal KM Kayu Putih ternyata tidak laik jalan dan beroperasi. Akibatnya pembayaran kreditnya macet. Lalu Kapal KM Kayu Putih ini dikembalikan dalam kondisi tidak baik. Saat itu utang yang belum dibayar kepada PT PANN tercatat  senilai USD18 juta dan Rp21 juta dengan jatuh tempo pembayaran 2015.

Namun saat bersamaan PT Meranti Bahari, anak perusahaan dari PT Meranti Maritime justru mendapat kucuran kredit dari PT PANN untuk membiayai pengadaan kapal KM Kayu Ramin USD27 juta dan Kapal KM Kayu Eboni sebesar USD27 juta. Sedang yang dijadikan jaminan hanya kapal yang dibiayai tersebut, tanpa ada jaminan lainnya.

Tak hanya itu, PT PANN juga kembali mengucurkan kredit baru kepada PT Meranti Bahari sebesar  USD9 juta untuk operasional eks pengadaan kapal kayu putih yang sudah dikembalikan sebelumnya. Bahkan setelah itu,  tahun 2015 PT PANN Maritime Finance kembali mengucurkan dana talangan tunai sebesar USD4 juta untuk operasional PT Meranti Maritime.

Dari sini tercium dugaan terjadinya kongkalikong itu. Sebab pemberian dana talangan oleh PANN Pembiayaan Maritime diduga telah melanggar Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor: 29/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan mengenai larangan pemberian dana talangan. Dalam Pasal 52 ayat (1) disebutkan “Dalam melakukan kegiatan usaha, perusahaan pembiayaan dilarang melakukan pembiayaan secara dana tunai kepada debitur."

Namun kata Henry, pembiayaan perkapalan berbeda. Sebab jika tidak diberikan dana talangan, kapal bakal rusak dan tidak bisa digunakan. Sebaliknya jika diberikan dana talangan kapal bisa kembali beroperasi untuk pembayaran utang ke PT PANN.

"Apalagi untuk dana talangan ada dalam akte perjanjian PT PANN dengan Meranti. Dan dana talangan tidak dalam bentuk tunai kepada debitor, tapi dibayarkan langsung kepada pihak ketiga yang mengajukan maritime claim," kata Henry.

BACA JUGA: