JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan mantan Bupati Ogan Ilir, Sumatra Selatan, Ahmad Wazir Nofiadi (Ovi) atas Surat Keputusan (SK)  Menteri Dalam Negeri yang memberhentikan dirinya dari jabatan sebagai Bupati Ogan Ilir. Hakim menilai pencopotan Ovi dari jabatannya setelah tertangkap Badan Narkotika Nasional (BNN) karena mengkonsumsi narkotika dinilai menyalahi prosedur, sehingga harus dibatalkan.  

Ketua Majelis Hakim Subur MS memutuskan untuk mengabulkan gugatan Ovi dengan alasan SK tersebut terbit tanpa melalui prosedur yang dibenarkan. Dalam amar putusannya, Subur menyatakan menolak eksepsi tergugat.   

"Menolak eksepsi tergugat dan menerima gugatan penggugat, menyatakan SK Nomor 131.16-3030 Tahun 2016 batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum dan biaya perkara dibebankan pada tergugat," kata Subur MS saat membaca putusan di PTUN Jakarta Jalan Sentra Primer Baru Timur, Senin (15/8).

Nofiadi yang akrab disapa Ovi menggugat SK pemberhentian dirinya  oleh Menteri Dalam Negeri  melalui SK Nomor 131.16-3030 Tahun 2016.  Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mencopot mantan Bupati Ogan Ilir ini lantaran kedapatan mengkonsumsi narkoba jenis sabu-sabu.

Nofiandi ditangkap  Badan Narkotika Nasional (BNN) pada Minggu Malam, 13 Maret 2016 di kediamannya di Jalan Musyawarah III, Kelurahan Karanganyar Gandus dalam kondisi terpengaruh narkoba.  Setelah dilakukan tes urine, ia diketahui positif mengkonsumsi narkoba jenis sabu-sabu, sehingga langsung ditetapkan sebagai tersangka.

Nofiadi merupakan pasangan calon bupati yang dinyatakan menang dalam pilkada 9 Desember 2015, ia berpasangan dengan Ilyas Panji Alam. Nofiadi berhasil  mengalahkan rivalnya, pasangan Helmy Yahya–Muchendi Mahzareki dan pasangan Sobli Rozali–Taufik Thoha.

Nofiadi kemudian dilantik Gubernur Sumsel Alex Noerdin sebagai Bupati Ogan Ilir untuk periode 2016-2021 menggantikan posisi yang dijabat ayahnya, Mawardi Yahya.

Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan pencopotan Ovi oleh Mendagri tidak sesuai Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal tersebut disebutkan pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diusulkan kepada Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur, serta kepada Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota,  berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b, atau melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 Ayat (1), kecuali huruf c, huruf i, huruf j, dan/atau melakukan perbuatan tercela.

Atas dasar itu hakim menyatakan SK pemberhentian Nofiadi cacat prosedur. Mendagri dinilai tidak menempuh prosedur dalam Pasal 80 UU Pemerintah Daerah. Sebab sesuai ketentuan pasal tersebut, pemberhentian kepala daerah harus diusulkan oleh DPRD ke Mahkamah Agung. "Namun prosedur tersebut tidak dilakukan dalam pemberhentian Nofiadi," ujar hakim Subur.

Sementara dalam Pasal 81 berbunyi: Dalam hal DPRD tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1), Pemerintah Pusat memberhentikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang:
a. melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah;
b. tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b;
c. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 kecuali huruf c, huruf i, dan huruf j, dan/atau;
d. melakukan perbuatan tercela.

DISKRESI TAK TEPAT - Kuasa hukum Ahmad Wazir Nofiadi, Febuar Rahman, mengapresiasi putusan hakim yang mengabulkan gugatannya. Menurutnya, hakim sudah tepat mengabulkan gugatan ITU,  lantaran Mendagri sudah terlalu jauh melakukan diskresi sehingga mengabaikan ketentuan yang sebenarnya telah diatur undang-undang.

"Apa yang kita dalilkan dalam gugatan soal pemberhentian itu cacat prosedur karena tidak melalui mekanisme prosedur UU Nomor 23 Tahun 2014," kata Febuar usai persidangan di PTUN Jakarta.

Lebih jauh Febuar mengatakan pemberhentian kliennya merupakan tindakan sewenang-wenang Mendagri. Padahal aturan pemberhentian bupati dan wakil bupati telah diatur melalui undang-undang. Diakuinya, Mendagri memang memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan kepala daerah, namun mesti melalui prosedur yang dibenarkan.

"Tidak bisa dilakukan semau-maunya," ujarnya.

Sementara itu, kuasa hukum Mendagri, Santoso Tuji, bersikukuh bahwa tidak ada prosedur yang dilanggar dalam menerbitkan SK pemberhentian mantan Bupati Ogan Ilir. Menurutnya langkah pemberhentian itu merupakan diskresi yang dibenarkan oleh undang-undang. Namun pihaknya mengaku menghormati keputusan hakim yang memenangkan Nofiadi.

"Kita hormati keputusan hakim. Kalau saya, prosedur sudah ada, tapi kalau hakim punya pertimbangan lain ya kita hormati," ujar santoso.

Menurutnya, langkah diskresi Mendagri memberhentikan Ovi berdasarkan instruksi presiden yang menyatakan bahwa Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat narkoba. Langkah diskresi itu, menurutnya, didasarkan sebagai langkah menjalankan instruksi presiden dalam rangka mengatasi peredaran narkoba.

Kendati demikian, ia memastikan akan mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta atas putusan hakim yang mengalahkan Mendagri. "Kita pasti bandinglah," ujarnya.

Namun, menurut Febuar, diskresi tidak dipahami sesederhana yang dikemukakan Mendagri. Menurutnya, ketika Mendagri melakukan diskresi harus mematuhi aturan yang telah ada soal pemberhentian kepala daerah.

"Diskresi itu bukan begitu caranya. Diskresi itu kalau tidak ada aturan yang mengatur baru bisa melakukan terobosan, ini aturannya ada kok," tegas Febuar.

BACA JUGA: