JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pelaksanaan eksekusi mati jilid III masih menyisakan persoalan hukum. Selain soal ´nyanyian´ Fredi Budiman, pelaksanaan eksekusi diduga terjadi maladministrasi bahkan pelanggaran pidana. Jaksa eksekutor pun dilaporkan ke bidang Pengawasan Kejaksaan Agung, Komisi Kejaksaan, dan Komnas HAM.

Adalah Boyamin Saiman yang melaporkan dugaan pelanggaran yang dilakukan jaksa eksekutor. Boyamin mempertanyakan kenapa terpidana yang sedang mengajukan grasi malah dieksekusi mati, "Itu kan menyalahi hukum," ungkap Boyamin, yang kembali mendatangi Jaksa Agung Muda Pengawasan untuk melengkapi data, Jumat (12/8). Boyamin adalah kuasa hukum Su´ud Rusli, pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi) di MK yang membatalkan ketentuan pengajuan grasi maksimal setahun sejak inkracht.

Berdasarkan Pasal 3 UU Grasi dinyatakan grasi menunda pelaksanaan hukuman mati. Sedangkan Pasal 13 UU Grasi menyatakan bagi terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum keputusan presiden tentang penolakan grasi diterima oleh terpidana.

Ada tiga terpidana yang mengajukan grasi tapi tetap dieksekusi. Mereka adalah Fredi Budiman, yang mengajukan grasi di Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 28 Juli 2016; Seck Osmane di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 Juli 2016 dan Humprhey Ejike di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 25 Juli 2016. Ketiganya saat itu masih menunggu jawaban Presiden Joko Widodo: menolak atau menerima permohonan pengurangan hukuman itu.

Menurutnya, eksekusi yang dilaksanakan pada 29 Juli lalu itu bukan proses hukum yang sah. Bahkan Jaksa Agung dapat disangka dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.

Saat mengadu ke Komnas HAM, Boyamin membawa lampiran tanda terima permohonan grasi dari pengadilan dan Istana Kepresidenan. Grasi Humprey dan Seck telah diterima pengadilan dan istana. Sedangkan permohonan grasi Fredi baru diterima Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Namun pengajuan semua grasi itu diabaikan. Ketiganya tetap dieksekusi.

Menurut Boyamin, ketiga terpidana mati tersebut tidak layak menjalani eksekusi mati sebelum menerima jawaban Jokowi. Ia berkata, eksekusi terhadap tiga terpidana kasus narkotik itu setidaknya dilakukan enam bulan lagi, sesuai batas waktu maksimal presiden menjawab grasi yang diajukan.

Sebelum mengadu ke Komnas HAM, Boyamin sebelumnya membuat laporan serupa kepada Komisi Kejaksaan dan Jaksa Agung Muda Pengawasan. Pekan depan, ia berencana mengadukan kasus ini ke DPR.

"Ketika ada orang lain dieksekusi, padahal sedang mengajukan grasi, maka saya akan bawa kasus itu ke mana pun. Biar Kejaksaan Agung paham, orang yang sedang mengajukan grasi tidak bisa dieksekusi," tuturnya.

Menanggapi pelaporan dugaan pelanggaran eksekusi mati jilid III, Jaksa Agung M. Prasetyo menyatakan tak ada cacat hukum dan administrasi. Pengajuan grasi tiga terpidana mati diajukan di detik-detik terakhir.

Meskipun pelapor mendasari pada putusan Mahkamah Konstitusi yang meniadakan waktu pengajuan grasi tidak berlaku surut. Eksekutor akan tetap berpijak pada Pasal 7 Nomor 5 Tahun 2010 bahwa batas waktu pengajuan grasi satu tahun setelah putusan inkracht.

"Jadi apa lagi yang salah? Sementara setiap perkara itu harus ada kepastian hukum. Semua yang kita laksanakan itu adalah dengan pertimbangan yuridis yang sudah jelas," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jumat (12/8).

DITANGGAPI SERIUS - Komisioner Komisi Kejaksaan RI (Komjak) Indro Sugianto mengaku telah membentuk tim kecil menindaklanjuti aduan terkait pelaksanaan eksekusi mati jilid III tersebut. Komjak mengaku menerima tiga laporan yang diantaranya mempermasalahkan terkait anggaran, jumlah terpidana yang dieksekusi yang semula berjumlah 14 orang menjadi 4 orang saja serta terkait grasi.

"Dari lapdu yang masuk kita simpulkan ada potensi masalah yang harus dikaji secara mendalam. Protapnya (Prosedur Tetap-red) kita membentuk tim minimal 3 komisioner, didukung pokja dan kesekertariatan," kata Indro beberapa waktu lalu.

Tim kecil ini akan bekerja mengumpulkan data terkait semua laporan tersebut. Tim internal tersebut akan melakukan evaluasi sehingga pelaksanaan hukuman mati ke depannya bisa terlaksana sesuai prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bukan hanya soal pelaksanaan eksekusi 14 terpidana mati tetapi juga kebijakannya. "Belum ada kesimpulan masih dikaji," kata Indro.

Indro menyatakan pihaknya pun mempermasalahkan pelaksanaan hukuman mati yang dilakukan secara bersama-sama, karena seharusnya dilaksanakan secara bertahap. Dia menuturkan pelaksanaan hukuman mati secara serempak dianggap sebagai penghilangan nyawa secara besar-besaran dan itu masuk ke dalam persoalan internasional.

"Jika eksekusi mati dilakukan secara besar-besaran, seperti yang dilakukan kemarin, itu termasuk genosida," tegasnya.

Indro menegaskan Komisi Kejaksaan dalam menyoroti eksekusi mati tidak terpaku polemik seputar hukuman mati. Komisi Kejaksaan menyoroti proses pelaksanaan yang dianggap tidak memenuhi hak asasi manusia yang paling mendasar.

Atas dugaan maladministrasi, Ombudsman RI juga akan bersikap. Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala mengatakan, pihaknya tengah mempelajari dugaan salah prosedur pelaksanaan eksekusi mati.

"Sedang dipelajari untuk kemudian kami surati Kejagung jika ada hal-hal yang perlu diklarifikasi," kata Adrianus.

Sebelumnya, pengajar hukum Universitas Tarumanegara Hery Firmansyah mengatakan jika eksekusi mati dilakukan saat proses grasi itu dinilai telah mencederai sistem hukum. Harusnya jaksa menunggu hingga ada putusan grasinya turun.

Hery menyebut pidana mati merupakan lapisan tertinggi dalam putusan hakim. Jadi penanganannya perlu hati-hati dan teliti.

BACA JUGA: