JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perlawanan Feriyanto, mantan supir taksi Blue Bird, mengelak dari dakwaan jaksa tak membuahkan hasil. Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menyatakan Feri terbukti melanggar Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Pasal 160 KUHP.

"Melakukan tindakan pidana karena terbukti menyebar rasa kebencian. Mengadili menjatuhkan pidana 1 tahun 6 bulan dipotong masa tahanan dan membayar denda sebesar Rp100 juta subsider 4 bulan kurungan," kata Ketua Majelis Hakim, Amat Khusaeri, saat membacakan putusan di PN Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Kamis (11/8).

Dalam pertimbangannya, hakim mengatakan unsur Suku, Agama dan Ras (SARA) dalam Pasal 28 Ayat (2) UU ITE terpenuhi dalam status Facebook yang di-posting Feri. Dengan begitu, hakim menilai Pasal 28 Ayat (2) sebagaimana yang didakwakan jaksa penuntut umum sudah terpenuhi dalam status Facebook yang disebar Feri.

Feri dituding melakukan penghasutan terhadap rekan-rekannya sesama supir Blue Bird. Dia dianggap terbukti memicu kericuhan dengan mem-posting kalimat-kalimat yang bernada penghasutan di akun Facebook milik Feri pada aksi 22 Maret 2016 di depan Istana Negara, Jakarta.

Satu hari sebelum tanggal 22 Maret 2016, Feri mem-posting status yang mengajak rekannya untuk melakukan aksi dengan membawa senjata tajam. Ada pun status yang di-posting-nya itu berbunyi: "Saya mengajak rekan rekan pool ME, MT, MJ,JE, JE, BDE, BDU, LL, LR, YD, OE, TJ, TT, GDD, MWK, dan semua pool se-Jabodetabek untuk menghadiri demo besar-besaran pada Selasa tanggal 22 Maret 2016 di depan istana negara. Jangan lupa bawa benda tumpul dan tajam kalau perlu bom molotov. Antisipasi kalau uber sama grab lewat langsung bantai," tulis Feri dalam akun Facebook-nya.

Pada sidang sebelumnya, pihak Feri menghadirkan 25 orang saksi untuk menjelaskan kaitannya kericuhan yang diduga akibat status yang ditulisnya. Rekan Feri sesama supir memberi kesaksian bahwa pada aksi 22 Maret 2016 tidak terjadi kericuhan antara pengemudi taksi berbasis online Grab Car dan Uber dengan pengemudi taksi konvensional (Blue Bird) di depan Istana Negara.

UPAYA HUKUM KANDAS - Kuasa hukum Feri, Riesqi Rahmadhiansyah, mengaku kecewa atas putusan majelis hakim terhadap kliennya. Menurut Riesqi, putusan hakim tidak mencerminkan rasa keadilan bagi kliennya yang memiliki hak untuk mengekspresikan diri.

Sementara itu, jaksa penuntut umum menuntut Feri dengan Pasal 160 KUHP dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE. Putusan hakim yang menjatuhkan 1 tahun 6 bulan penjara sebenarnya di bawah tuntutan jaksa. Terhadap Feri, jaksa menuntut Feri dengan hukuman 2 tahun penjara.

Usai pembacaan putusan, majelis hakim sempat menanyakan apakah terpidana terima dengan putusan yang dibacakan. "Terima," jawab Feri singkat.

Ada pun Pasal 28 Ayat (2) yang didakwakan kepada Feri berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)."

Sedangkan Pasal 160 KUHP berbunyi: "Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Namum Riesqi mengatakan akan membicarakan lagi terkait putusan hakim. Pasalnya Riesqi menilai putusan hakim akan menjadi preseden buruk bagi warga negara untuk berpendapat dan berserikat.

"Saya selaku penasihat hukum terdakwa menyatakan keberatan dengan putusan tersebut karena jauh dari nilai keadilan dan juga merupakan pembungkaman terhadap kebebasan berserikat dan berpendapat di lingkungan transportasi," kata Riesqi kepada gresnews.com.

Riesqi mengatakan kasus yang dihadapi kliennya tidak steril dari kepentingan politik. Pasalnya, keberadaan transportasi yang berbasis online masih kontroversial antara Kementerian Perhubungan dan Kementerian Komunikasi dan Informasi. Penangkapan Feri, dijadikan dalih pembenaran bagi pendukung transportasi online.

"Hakim harus melihat dengan jernih bahwa ini adalah perkara yang penuh dengan rekayasa dan dinamika politik," pungkas Riesqi.

BACA JUGA: