JAKARTA, GRESNEWS.COM - Polri akhirnya menghentikan sementara proses penyelidikan terhadap Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar atas aduan pencemaran nama baik tiga lembaga negara yakni TNI, Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Polri. Polri mengambil sikap ´berdamai´ dengan Vijay --- sapaan akrab Haris Azhar --- dengan alasan menunggu kerja tim independen yang telah dibentuk Polri.

Sebelumnya Haris dilaporkan tiga institusi itu, setelah ia  merilis tulisan di media sosial soal setoran yang diberikan terpidana mati kejahatan narkoba Fredi Budiman ke oknum pejabat Badan Narkotika Nasional (BNN) sebesar Rp450 miliar, pejabat Polri sebesar Rp90 miliar dan pejabat bea cukai. Tak hanya itu, Haris menulis, untuk membawa barang haram impor dari Medan ke Jakarta, Fredi mengaku dikawal jenderal bintang dua dari TNI.

Sontak ´nyanyian´ Haris membuat berang ketiga institusi itu. Mereka ramai-ramai melaporkan Haris ke Bareskrim Mabes Polri. "Kan pejabat Polri banyak, ini yang pejabat merasa dicemarkan nama baiknya," demikian respons Polri, seperti disampaikan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar beberapa waktu lalu.

Polri cukup keras merespons ´nyanyian´ Haris. Mereka seperti tersengat dengan kicauan Haris. Menurut Boy, apa yang disampaikan Haris bukan fakta. Dalam pledoi, Fredi tak mengungkap hal tersebut.

Namun gencarnya dukungan publik terhadap Haris telah mengubah sikap Polri. Polri akhirnya menghentikan sementara penyelidikan, hingga ada hasil yang didapat tim investigasi independen.

"Saya katakan ditunda dulu laporan tentang pencemaran nama baik," kata Boy saat memberikan keterangan persnya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (10/8).

Menurut Boy, saat ini tim independen masih berupaya mengumpulkan fakta-fakta terkait testimoni mendiang Fredi Budiman yang disampaikan kepada Haris. Bila nantinya terbukti ada keterlibatan oknum anggota Polri, BNN atau pun TNI maka pelaporan fitnah dan pencemaran nama baik itu tidak dilanjutkan.

"Fakta-fakta itu bisa digunakan untuk proses pro justitia (proses hukum). Tim investigasi masih berupaya menemukan ada atau tidaknya pelanggaran hukum," ujar Boy.

Tim investigasi independen yang dibentuk Polri melibatkan elemen masyarakat. Tim Investigasi ini diketuai Irwasum Polri, Komjen Dwi Priyatno. Beranggotakan 17 orang terdiri dari Divisi Hukum Polri, Propam, Humas dan melibatkan pihak eksternal seperti Hendardi dari Setara Institute, dosen Ilmu Komunikasi UI Effendi Ghazali hingga Komisioner Kompolnas, Poengkie Indarti.

KEPENTINGAN LAIN - Penundaan proses hukum terhadap Haris oleh polisi bisa dilihat dari sudut lain, yakni polemik pembentukan Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional dan revisi UU Terorisme. Dalam dua RUU ini ada potensi terpinggirkannya peran polisi dan mendorong oleh masuknya TNI dalam penanganan keamanan, yang tentu membuat gerah polisi.

Sejalan dengan harapan polisi, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga menolak keras RUU ini. Koalisi ini terdiri dari Imparsial, KontraS, YLBHI, IDSPS, Elsam, ICW, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, AJI, Human Rights Working Group (HRWG), Ridep Institute, Setara Institute, Lespersi. Mereka menilai RUU  ini akan meminggirkan UU lain yang ada.  Sehingga jika disahkan, akan terjadi rebutan wewenang TNI dan Polri. Pasalnya, RUU Kamnas memungkinkan TNI terlibat dalam segala level dan tingkatan dalam penanganan keamanan.

"RUU Kamnas merupakan UU yang menjadi payung bagi UU yang lain, termasuk UU TNI dan UU Polri. Ini dikhawatirkan akan terjadi perebutan wewenang antara TNI dan Polri," kata Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos di Jakarta.

Karenanya polisi sendiri punya kepentingan ´menjaga hubungan´ dengan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan di mana Haris ada di dalamnya. Hubungan baik itu diperlukan  untuk menjegal masuknya peran TNI dalam RUU Kamnas dan revisi UU Terorisme. Koalisi ini memandang tak ada urgensinya membahas RUU Kamnas.

Dalam draft dua RUU itu menguat  dilibatkannya TNI dalam sektor keamanan dalam negeri. Lewat Kementerian Pertahanan, TNI ingin kembali mengurus sektor keamanan dalam negeri yang saat ini diambil alih polisi.

"Kembali diajukannya RUU Kamnas lewat Kemhan bisa dibaca seperti itu," kata peneliti The Indonesian Human Right Monitor (Imparsial),  Gufron Mabruri, kepada gresnews.com, Kamis (11/8).

Makanya Gufron mempertanyakan urgensi RUU Kamnas ini kembali masuk Prolegnas 2015-2019. Sementara TNI sendiri terus berupaya menggolkan pasal-pasal yang mengatur secara ekplisit kehadiran TNI dalam bidang keamanan.

Dari draft terakhir September 2015, kata Gufron, belum ada perubahan signifikan dari sejumlah pasal yang kontrovesial. Draftnya sama saat diajukan zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Sedikitnya ada delapan pasal dalam draf terbaru RUU Kamnas yang kontroversial. Di antaranya, Pasal 14 Ayat (1) yang menyatakan status darurat militer diberlakukan bila ada kerusuhan sosial. Pasal 17 Ayat (4), menyebutkan ancaman potensial dan aktual ditentukan dan diatur oleh Peraturan Pemerintah. Pasal 22 Ayat (1), yang masih tetap menggunakan penyelenggaraan Kamnas melibatkan peran aktif intelijen negara. Pasal 27 Ayat (1) yang berbunyi Panglima TNI dapat menetapkan kebijakan operasi dan strategi militer berdasarkan kebijakan dan strategi kebijakan penyelenggara Kamnas. Dari Pasal ini disebutkan polisi ditugaskan sesuai fungsi Kepolisian yang diatur UU. Jadi TNI dibuat leluasa, polisi sebaliknya.

Pasal 48 Ayat (1) huruf C, dinyatakan bahwa komando dan kendali tingkat operasional di wilayah provinsi, ditangani panglima atau komandan satuan terpadu. Dalam hal ini berarti Panglima Kodam. Dalam Ayat (1) huruf D, disebutkan penanganan di tingkat kabupaten dilaksanakan pejabat setingkat komandan batalion dan atau Komando Distrik Militer (Kodim).

"Kami memandang bahwa kehadiran RUU Kamnas bukannya akan memperbaiki dan memperkuat tata kelola sektor keamanan, tetapi justru akan mengancam kemajuan proses reformasi sektor keamanan dan proses demokrasi itu sendiri. Jika RUU Kamnas disahkan menjadi UU maka akan mengembalikan konstruksi kebijakan keamanan seperti masa Orde Baru," demikian pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil beberapa waktu lalu.

RUU Kamnas ini dinilai tidak memiliki urgensi dalam pengaturan tata kelola sektor keamanan. Tata kelola sektor pertahanan dan keamanan sebagian besar telah diatur dalam berbagai aturan seperti Konstitusi, Ketetapan MPR, dan berbagai undang-undang bidang pertahanan dan keamanan. Diantaranya UU Pertahanan, UU TNI, UU Polri, dan UU Intelijen.

Kalau alasan pemerintah membentuk RUU Kamnas untuk meningkatkan kerja sama antar aktor pertahanan dan keamanan, khususnya antara TNI dan Polri dalam menghadapi wilayah abu-abu (grey area), atau pun dalam menghadapi situasi darurat maka alasan itu keliru. Keinginan pemerintah untuk mengatasi situasi grey area dan situasi darurat harusnya dijawab dengan pembentukan UU Tugas Perbantuan dan revisi UU Darurat nomor 23 Tahun 1959.

"Yang diperlukan aturan mainnya, kapan dan dimana TNI dilibatkan untuk memberikan bantuan kepada polisi," tandas Gufron.

BACA JUGA: