JAKARTA, GRESNEWS.COM - Eksekusi mati terhadap empat terpidana kasus narkoba yang berlangsung pada 29 Juli 2016 lalu dinilai cacat hukum dan melanggar undang-undang. Pasalnya pemerintah melakukan eksekusi terhadap dua  dari empat terpidana yang sedang mengajukan pengampunan (grasi) kepada presiden.

Boyamin Saiman selaku pemohon dan pemegang putusan uji materiil undang-undang tentang grasi menilai putusan pemerintah mengeksekusi itu langkah keliru. Pasalnya ada dua terpidana yakni Seck Osmane dan Humprhey Ejike yang saat ini masih melakukan upaya hukum grasi kepada presiden. Sementara hingga pelaksanaan hukuman mati, permintaan grasi tersebut belum mendapatkan Surat Keputusan Penolakan Presiden yang sampai ke tangan terpidana.

"Saya memang tidak menangani kasus narkoba. Tapi saya lihat setelah eksekusi ada ketidaklengkapan, terpidana masih mengajukan grasi. Kalau sedang mengajukan grasi tidak boleh dieksekusi," kata Boyamin saat dihubungi gresnews.com, Jumat (5/8).

Seck Osmane merupakan terpidana mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 2004. Warga Negara Asing (WNA) asal Nigeria  itu divonis majelis hakim karena memiliki 3 kilogram heroin yang ditemukan di apartemennya, Apartemen Eksklusif Panorama Kamar 806 Lebak Bulus, Cilandak Jakarta Selatan. Sedangkan Humprhey Ejike, warga negara Nigeria, juga dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hamprhey divonis karena kepemilikan 1,7 kilogram heroin.

Boyamin merujuk pada Pasal 3 dan Pasal 13 UU Nomor 22 Tahun 2002 dan UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi. Menurut pasal itu, terpidana mati yang sedang mengajukan grasi tidak dapat dieksekusi mati. Kemudian pada Pasal 13 UU Nomor 22 Tahun 2002 mengatakan bagi terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilakukan sebelum keputusan presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.

Boyamin telah mengadukan dugaan kelalaian pelaksanaan hukuman mati terhadap dua terpidana mati yang berlangsung pada 29 Juli 2016 itu ke Jaksa Agung Muda Pengawas di Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Pengaduan Boyamin ini diarahkan terutama terhadap jaksa eksekutor pidana mati dan pemberi perintah terhadap jaksa tersebut. 

Selain ke Jamwas, Boyamin juga mengadukan eksekusi mati itu ke Komisi Kejaksaan. "Meskipun eksekusi telah dilakukan, kami berharap ini menjadi pembelajaran dalam proses hukum," katanya memberi alasan tentang pengaduannya.

Menurut Boyamin, atas pengaduan ke jaksa pengawas dan Komisi Kejaksaan itu, mereka mengaku akan bentuk tim kajian soal itu. "Ya, kita tunggu saja hasilnya," ujar Boyamin.

Ia berharap ada ketegasan pihak kejaksaan dalam menangani kasus ini. Pasalnya, kata Boyamin, eksekusi menyangkut nyawa seseorang sehingga proses hukumnya tidak boleh dilakukan serampangan, apalagi melawan hukum.

BATAL DEMI HUKUM - Meskipun pengaduan ini tidak akan mengembalikan korban, putusan mengeksekusi terpidana menjadi pelajaran terhadap dunia hukum. Boyamin menilai eksekusi ini terlalu ceroboh dan keputusan itu adalah keputusan ilegal.

Pengajar hukum Universitas Tarumanegara, Hery Firmansyah, mengatakan keputusan pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung, melakukan eksekusi hukuman mati mencederai sistem hukum. "Ini akan merusak mekanisme hukum kita. Berikan haknya dulu baru bisa dieksekusi," ujar Hery kepada gresnews.com, Jumat (5/8).

Jika masih dalam proses grasi, perlu ada kepastian hukum untuk melakukan eksekusi. Kalau proses grasi masih berjalan, belum ada kepastian hukumnya apakah dia benar layak dihukum atau grasinya diterima oleh presiden.

Menurut Hery, pihak kejaksaan perlu menanganinya dengan teliti dan hati-hati. Karena pidana mati, imbuh Hery, merupakan lapisan tertinggi dalam putusan hakim. Oleh karenanya, perlu ketelitian agar tidak salah dalam memutuskannya.

"Ini kan menyangkut nyawa orang. Jika ada temuan terbaru dalam perkaranya, putusan ini tidak bisa dianulir lagi. Tidak bisa direhabilitasi. Jadi harus benar-banar yakin," paparnya.

Kalau berlawanan dengan undang-undang bagaimana? "Jadi putusannya secara yuridis cacat hukum," Hery mengingatkan.

BACA JUGA: