JAKARTA, GRESNEWS.COM - Upaya menindak dan mencegah kejahatan terorisme seringkali menghadapi dilema antara penegakan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Di sisi lain tindak pidana terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang penanganannya memerlukan payung hukum yang kuat dan upaya hukum luar biasa. Namun penanganan terorisme kerap kali dikritik melanggar HAM.

Untuk meminimalisir kendala ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melakukan kerjasama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Hal itu dilakukan agar kinerja pemberantasan terorisme tetap berjalan dalam kerangka HAM.

Kepala BNPT Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius mengatakan, pihaknya mengajak kerjasama Komnas HAM justru untuk memberikan kepastian kerja pemberantasan terorisme dilakukan sesuai kerangka HAM. "Komnas HAM kami ajak kerjasama sebagai penyeimbang dan untuk memastikan bahwa pemberantasan terorisme tetap dalam koridor HAM," kata Suhardi di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (3/8).

Ia menjelaskan, terorisme telah menyebarkan paham radikalisme. Paham tersebut telah masuk melalui berbagai macam cara, termasuk melalui teknologi informasi yang semakin berkembang. Radikalisme juga sudah sampai pada kalangan remaja.

Untuk itu ia mengajak semua pihak, termasuk Komnas HAM, untuk bekerjasama menanggulangi penyebaran paham radikalisme tersebut. Mantan Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) ini juga mengimbau masyarakat agar berperan aktif atau melapor ke pihak kepolisian bila menemukan ada pihak yang menyebarkan paham radikal dan ada potensi tindakan terorisme.

Dalam kesempatan kerjasama itu BNPT telah menerima masukan dari Komnas HAM, terkait penindakan atau pencegahan.  "Kami juga akan ke lapangan secara langsung untuk mensosialisasikan bersama bahayanya paham radikalisme," jelasnya.

Di tempat yang sama, Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan, pihaknya akan mendukung BNPT melakukan penanggulangan terorisme di Indonesia. "Kami sangat senang dengan kerjasama ini, agar penanggulangan terorisme tetap sesuai hak asasi manusia," kata Imdadun di kantor Komnas HAM, Jakarta.

Ia mengakui terorisme adalah kejahatan luar biasa, dan juga kejahatan yang melawan nilai kemanusiaan. Tetapi dalam penanggulangan terorisme, BNPT diharapkan tetap mengedepankan hukum dan hak konstitusi para terduga teroris.

PAYUNG HUKUM YANG KUAT DAN UPAYA HUKUM LUAR BIASA - Sementara itu Direktur Institute For Security And Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan terorisme memang kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga dapat dipahami pencegahan dan penindakan atas kejahatan ini butuh payung hukum yang kuat dan upaya hukum luar biasa.

Namun, menurutnya, merumuskan formula perundang-undangan terkait penangkapan pelaku teror, apalagi yang belum cukup bukti, tidaklah mudah. "Kesulitan ini terutama dalam kaitan menjaga keseimbangan dengan demokrasi," kata Fahmi dalam pesan singkat kepada gresnews.com, Rabu (3/8) malam.

Dia menilai di satu pihak masyarakat demokratis, tata pemerintahan terbuka, transparan dan akuntabel. Di sisi lain karakter operasional pemberantasan terorisme bersifat rahasia dan tertutup.

Menurutnya, demokrasi ditandai dengan adanya jaminan atas hak-hak individu maupun kolektif warganegara di ruang privat dan publik. Hal itu menghadapi dilema dalam hal pemberantasan terorisme.

"Jika pemerintah memperingatkan sejak dini akan ada ancaman terorisme misalnya, lalu menempatkan aparat keamanan di setiap pojok rumah warga untuk berjaga-jaga, masyarakat tentu akan keberatan karena kenyamanan dan aktivitasnya akan terganggu," jelasnya.

Padahal, pemerintah sebagai penyelenggara keamanan nasional secara naluriah akan mengedepankan isu-isu seperti ruang gerak organisasi, kewenangan ekstra, hingga metode kerja khusus. Sementara masyarakat sipil juga secara naluriah akan memunculkan kekhawatiran tentang kewenangan yang meluas, pemberangusan kebebasan sipil, hingga potensi munculnya lembaga represif rezim otoritarian.

"Dari sini saya melihat bahwa problem utama penanggulangan terorisme di Indonesia adalah rendahnya kepercayaan masyarakat pada iktikad baik penguasa dan aparaturnya," ujar Fahmi.

Dia mengungkapkan, masyarakat khawatir bahwa pemberian kewenangan ekstra dapat saja disalahgunakan sebagai alat penguasa untuk membungkam lawan politik atau orang maupun kelompok yang dinilai kontra produktif. Bahkan, kata pengamat militer dan terorisme ini, kekhawatiran itu justru jauh lebih besar daripada ketakutan masyarakat terhadap ancaman teror itu sendiri.

"Terlebih lagi ada fakta bahwa penegakan hukum kita masih lemah dan diskriminatif di sana-sini," ujarnya.

Ia pun mengaku aneh jika desakan penegakan hukum pidana terorisme agar tetap menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, dinilai  telah mempersulit upaya penanggulangan terorisme.

"Itu justru dapat dipandang sebagai bentuk ketidakmampuan atau kegagalan kepolisian melakukan pengungkapan dan mendapatkan alat bukti yang cukup," tegasnya.

Fahmi menambahkan, kewenangan ekstra yang mengesampingkan kewajiban menjamin HAM memberi peluang adanya upaya hukum prematur yang hanya berdasarkan informasi dangkal dan sumir, yang sulit dibuktikan.

"Tentu saja ini mengkhawatirkan. Lagipula, upaya penanggulangan terorisme macam apa yang ingin dilakukan sehingga HAM menjadi penghambatnya?" tanyanya.

Ketimbang merengek minta peluang mendapat kewenangan ekstra dan khusus. Kata Fahmi, mestinya penanggulangan terorisme lebih fokus pada upaya mendesain penguatan koordinasi dan kerjasama antar pemangku kepentingan pemberantasan terorisme. Termasuk menyangkut pembagian peran dan kerja masing-masing lembaga agar tidak tumpang tindih, melampaui kewenangannya dan melanggar hak-hak warga negara.

Tak hanya itu, para pemangku kepentingan harus mampu menjawab pertanyaan seputar standar pemberantasan terorisme yang ideal. Sehingga dapat ditentukan patokan normatif apa yang bisa membatasi kerja pemberantasan terorisme, institusionalisasi pengaturan kerja, pertanggungjawaban fungsi, hingga bagaimana negara menyediakan sarana reparasi mekanis atas dampak kelalaian kerja pemberantasan terorisme.

Selain itu, kebutuhan operasional aparat untuk melakukan penindakan dini difasilitasi dengan pembentukan mekanisme koordinasi kerja yang lebih efektif. "Bukan dengan memberikan kewenangan ekstra yang berlebihan pada penegakan hukum," paparnya.

Selain itu, kompetensi utama untuk mengembangkan sistem penindakan dini diperkuat dengan pemberian hak-hak khusus untuk melindungi organisasi, fasilitas, aparatur serta metode kerja lembaga terkait.

Hak-hak khusus ini, menurutnya, diberikan oleh negara sehingga memungkinkan beberapa kegiatan penanggulangan terorisme dikeluarkan dari ruang publik. Ramuan kombinasi faktor-faktor itu secara komposisional harus dirumuskan secara tepat. Bagaimanapun, negara membutuhkan alat aksi yang efektif demi kepentingan keamanan nasional, sambil terus menjaga agar tetap akuntabel dalam kerangka demokrasi dan rule of law.

Isu HAM sebenarnya harus dilihat sebagai upaya untuk kontrol dan pencegahan salah guna (malapraktik) aksi penanggulangan terorisme oleh rezim.

"Penting bagi Komnas HAM maupun kelompok-kelompok masyarakat sipil untuk terus menyuarakan demokrasi, kebebasan sipil, dan rule of law dalam penanggulangan terorisme," pungkasnya.

BACA JUGA: