JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengurangan masa hukuman atau remisi yang biasanya diberikan  pada hari besar keagamaan seperti Hari Raya Idul Fitri, menjadi momen yang ditunggu para narapidana. Tak terkecuali para narapidana kasus korupsi. Namun, pemberian remisi bagi para terpidana korupsi kerap kali menjadi perdebatan. Kendati untuk mendapatkan remisi bagi terpidana korupsi tak mudah.

Menurut Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dirjen PAS Kemenkumham) I Wayan Kusmiantha Dusak, ada sejumlah syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan remisi bagi para koruptor.

Menurutnya, mekanisme pemberian remisi bagi para narapidana kasus korupsi salah satu syaratnya remisi diberikan kepada mereka yang berstatus Justice Collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum. Hal itu diatur dalam Pasal 34A Ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.

"Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya," katanya.

Syarat lainnya, terpidana  korupsi telah menjalani pidana minimal 1/3 dari hukuman yang dijatuhkan. "Biasanya kan 6 bulan menjalani hukuman kalau pidana umum, kalau koruptor harus 1/3, misal hukuman 3 tahun, dia harus jalani dulu setahun, enggak bisa 6 bulan dapat JC," kata Wayan kepada gresnews.com baru-baru ini.

Mengenai aturan bahwa harus ada predikat JC dalam  pemberian remisi, Ditjen PAS sebenarnya tidak sependapat. Oleh karena itu, pihaknya sedang menggodok tentang rencana perubahan dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 tersebut.

"Nah itu yang sekarang sedang kita minta perubahan. JC kan gini, mereka mengungkap suatu jaringan, kalau orang itu dia pelaku sendiri, dia sendiri, gimana ngungkap jaringan-jaringan, enggak mungkin dong," tutur Wayan

"KPK juga enggak bisa berikan JC karena dia kan sendiri, pelaku utamanya. Tapi dia kan manusia juga yang pasti sekian tahun mau berubah. Orang masuk penjara itu kan nanti ada perubahan, rehabilitasi sosial," sambungnya.

Saat ini, rencana perubahan tersebut sedang digodok di Ditjen Perundang-undangan Kemenkumham. Wayan tidak mempermasalahkan jika ada anggapan miring mengenai rencana perubahan aturan, karena dianggap memberi kelonggaran terhadap koruptor.

Ia beralasan, setiap narapidana termasuk koruptor juga mempunyai hak untuk berubah. Selain itu, adanya syarat sebagai JC memberi kesan diskriminatif dan hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Pemasyarakatan.

"UU PAS tidak boleh diskriminatif, kita tidak mempermasalahkan itu. Kalau ada JC kita kasih, kalau tidak ada JC ya enggak kita berikan. Tapi yang berhadapan dengan mereka, hari-hari kan masalah itu," imbuhnya.

Meskipun demikian, hingga saat ini pihaknya harus mengikuti peraturan yang ada. "Kita tidak bisa menjadi robot begitu, kita sampaikan ke pemangku kepentingan, entah dia DPR atau siapa pun. Jadi secara prinsip tidak ada perbedaan, semua criminal justice system melaksanakan UU. Aturannya begitu, misalnya salah, ya kita akan melaksanakan yang salah," ujar Wayan.

KPK MENOLAK - Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha mengatakan bahwa salah satu prinsip pemidanaan dalam tindak pidana korupsi adalah memberikan efek jera kepada para koruptor.

Oleh karena itu, remisi kepada mereka harus diperketat tanpa mengurangi haknya sebagai warga binaan. Hingga saat ini, KPK sebenarnya masih tidak setuju dengan pemberian remisi bagi para koruptor.

"Tujuan penindakan korupsi memberikan efek jera pelaku tipikor. KPK berharap hukuman yang dijatuhkan kepada mereka tidak perlu direvisi. Bahkan beberapa tahun lalu ada pengetatan. Selama ini KPK juga tidak merekomendasikan adanya remisi," tutur Priharsa.

Meskipun begitu, kata dia, pihaknya tidak ada perbedaan pendapat dengan Kemenkumham terkait hal tersebut. Apalagi, pemberian remisi merupakan kewenangan penuh Ditjen PAS yang berada di bawah naungan Kemenkumham.

Namun khusus untuk korupsi ada aturan yang memberikan ruang bagi KPK untuk memberikan rekomendasi. "Selama ini kita bermain di ruang itu, kalau pun akan diberikan," ujarnya.

Menurut Priharsa, saat ini komunikasi dengan Kemenkumham terkait pemberian remisi kepada para koruptor masih terus berjalan. Salah satunya berkaitan dengan pemberian rekomendasi untuk pemberian remisi itu sendiri.

Priharsa juga sependapat bahwa pemberian rekomendasi seharusnya diberikan kepada narapidana yang berstatus JC. "Untuk JC bisa saja pengurangan masa hukuman. Karena KPK menganggap JC berperan signifikan," tuturnya.

Saat ditanya apakah ada koordinasi dalam pemberian remisi pada Idul Fitri kali ini, Priharsa mengaku belum mendapatkan informasi hal itu. "Saya belum dapet detailnya, nanti dicek dulu," imbuhnya.

Dari informasi yang diperoleh gresnews.com, jumlah narapidana saat ini yang tergolong dalam kejahatan luar biasa seperti korupsi, terorisme dan narkoba yang diatur dalam PP 99 Tahun 2012 yaitu sebanyak 2.319 orang. Data ini diperoleh sejak 14 Juni 2016. Namun diperkirakan akan ada penambahan meski tak signifikan.

BACA JUGA: