JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana pemerintah membentuk Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua dan Papua Barat  menuai kecurigaan. Bahkan sejumlah elemen masyarakat menyatakan menolak kerja tim bentukan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Panjaitan.

Pemerintah pun harus bekerja keras untuk memberi penjelasan kepada sejumlah pihak tentang mekanisme kerja Tim Terpadu. Bahkan pemerintah menjamin Tim Terpadu yang dibentuk untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di Papua akan bekerja transparan dan independen tanpa campur tangan pemerintah.

"Mereka bekerja transparan, siapa saja boleh melihat prosesnya." kata Luhut seusai mengadakan pertemuan dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama di Wamena, Papua,  Jumat (17/6) seperti dikutip setkab.go.id.

Luhut mengatakan saat ini tim masih mengumpulkan data-data peristiwa sejumlah kasus pelanggaran HAM. Menko Polhukam menjelaskan tim akan beranggotakan beragam wakil masyarakat, seperti anggota Komnas HAM, pegiat HAM, ahli hukum dan delapan orang wakil masyarakat Papua.

Theo Hesegem, salah satu perwakilan masyarakat Papua, yang turut hadir dalam pertemuan bersama masyarakat  mengatakan tim akan bekerja sendiri tanpa campur tangan pemerintah.  "Sama sekali tidak ikut campur dalam proses ini. Saat ini yang kami lakukan baru sampai pada pengumpulan data-data," ungkap Hesegem.

Kepada masyarakat di Merauke Papua, Menko Polhukam juga kembali menegaskan bahwa seluruh anggota masyarakat bisa mendapatkan informasi tentang perkembangan kerja Tim. Bahkan ia juga mengundang duta besar-duta besar dari sejumlah negara tetangga seperti Fiji, Papua New Guinea dan Solomon Island untuk menjadi observer.

"Jadi kalau ada yang mengatakan tim ini hanya rekayasa, itu tuduhan tidak berdasar. Pak Dubes minta data-datanya. Saya bolehkan, dan data tersebut sudah dikirim ke kampungnya," ujar Luhut, yang sempat dimintai data oleh Duta Besar PNG untuk Indonesia, Peter Ilau.

Ilau yang turut hadir dalam pertemuan dengan masyarakat Merauke itu juga membenarkan pernyataan Luhut. Ia pun mengatakan mendukung langkah Indonesia menuntaskan masalah pelanggaran HAM Papua secara internal. Sebab  cara penyelesaian yang ditawarkan negara lain belum tentu cocok dengan Indonesia.

Hal serupa  diutarakan Dubes Solomon Island Salanah Kalu yang juga hadir dalam pertemuan itu. Ia mengaku merasa terhormat menjadi bagian dari tim tersebut. Hal seperti itu menurutnya tidak banyak dilakukan oleh negara lain. "Oleh karena itu, atas nama negara Solomon Island, saya minta masyarakat ikut berpartisipasi dan bekerjasama terhadap inisiatif yang dilakukan Pak Luhut ini," kata Kalu mendukung.

Demikian juga dengan Dubes Fiji untuk Indonesia S.T Cavuilati menyatakan sangat senang dengan inisiatif pemerintah Indonesia tersebut. Sebagai anggota kelompok negara-negara Melanesia (MSG), Fiji berharap langkah itu bisa membawa Papua menjadi lebih baik.  "Kami melihat secara langsung apa yang terjadi di lapangan. Ini belum pernah dilakukan sebelumnya," ujar Cavuilati.  

MENUAI PENOLAKAN - Kerja keras memberi pemahaman kepada masyarakat Papua memang harus dilakukan Menko Polhukam,  Sebab  masih banyak pihak terutama sebagian masyarakat Papua justru mencurigai misi dan kerja tim ini.

Penolakan salah satunya datang dari Solidaritas Perempuan Papua Pembela Hak Asasi Manusia. Mereka menilai tim bentukan Menkopolhukam tak mewakili aspirasi dan representasi rakyat Papua. Sebab anggota yang duduk di Tim tak pernah diketahui jejaknya dalam upaya pembelaan kasus HAM di Papua.

Alasan penolakan lainnya karena tim tersebut tidak bekerja sesuai mekanisme HAM yang berlaku. "Sudah ada Komnas HAM yang bekerja berdasarkan UU HAM 39/1999 dan UU Pengadilan HAM 26/2000, lalu ada apa dengan semua ini kalau bukan dibuat hanya untuk kepentingan politik sesaat Indonesia saja." tulis mereka dalam rilisnya, Jumat (10/6).

Sebelumnya penolakan keras  disampaikan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), organisasi yang mewadahi  aspirasi Papua Merdeka atas pembentukan Tim Luhut. Menurut mereka pembentukan tim ini hanya upaya menggagalkan diplomasi ULMWP dan menghambat tim pencari fakta dari Pacific Islands Forum (PIF).

Mereka menuding Tim Terpadu itu hanyalah  tipu muslihat Jakarta untuk menghindari pertanyaan masyarakat Internasional dalam pelaksanaan Universal Periodic Review (UPR) di Dewan HAM PBB. "Juga mengalihkan opini dan menghindari pertanyaan negara-negara yang tergabung dalam Pasific Islands Forum," sebut rilis ULMWP sebelumnya.  Apalagi  Tim bentukan Luhut itu hanya menyimpulkan 14 kasus dari sejumlah kasus yang bertumpuk di Papua.

Salah seorang perwakilan Parlemen Nasional West Papua (PNWP) Simeon Alua, mengatakan, penyelesaian konflik Papua tidak bisa dengan jalan kucing-kucingan. Penyelesaian kasus Papua harus melalui proses yang benar dan sesuai mekanisme Internasional. Menurutnya penyelesaiannya harus tunduk  hukum internasional yang menghargai martabat manusia, yang pernah dilecehkan demi kepentingan Amerika dan Indonesia.

Bahkan,  Ketua Komnas HAM yang termasuk dalam tim terpadu Natalius Pigai juga menolak konsep pembentukan tim Menko Polhukam tersebut. Ketidak setujuan Pigai disebabkan adanya keterlibatan komisioner KOMNAS HAM dalam tim tersebut.

Menurutnya KOMNAS HAM adalah lembaga independen negara yang seharusnya tidak boleh bekerjasama dengan negara sebagai terduga aktor pelanggar HAM. "Itu adalah pelanggaran Kode Etik," katanya.

Konsep ini dinilainya melanggar konstitusi, terutama UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan juga Dewan HAM PBB. Dalam aturan itu Komnas HAM tak boleh bekerja sama dengan unsur-unsur yang diduga menjadi aktor pelanggar HAM. "Makanya Komnas HAM itu adalah independen, tidak bisa diintervensi, posisinya berada di luar para aktor, dan Komnas HAM tidak boleh menjadi bagian dari aktor," tegasnya.

Selain itu, pembentukan tim penyelesaian pelanggaran HAM juga mengambil alih kewenangan Komnas HAM yang telah ditentukan undang-undang. Khususnya mengenai kewenangan bidang pelaksanaan indentifikasi kasus-kasus HAM dan penegakan HAM.  Menurutnya hal itu  kewenangan satu-satunya lembaga di negara yakni Komnas HAM. Tetapi Menko Polhukam mau melaksanakan tugas identifikasi, klasifikasi, penegakan hukum dan HAM itu.

"Mestinya, Menko Polhukam Luhut Panjaitan tidak bisa memerintah atau mengatur Komnas HAM lantaran lembaganya bukan bagian dari kabinet," tegasnya.

Menanggapi penolakan ini,  Menko Polhukam menilai pernyataan yang dilontarkan Pigai  itu merupakan pendapat pribadi, dan tidak mewakili pandangan Komnas HAM sebagai institusi.

"Saya sudah mendapatkan penegasan dari Komnas HAM bahwa mereka tetap bergabung dengan Tim Terpadu," ujar Luhut.

Luhut menjelaskan, Komnas HAM akan membentuk tim khusus yang akan mendukung wakil mereka  di Tim Terpadu, yaitu  Nur Kholis dan Zandra Mambarasar.

Menko Polhukam menegaskan, bahwa dalam persoalan pelanggaran HAM ada juga korban di pihak TNI . "Ada yang dipotong tangan dan kakinya. Kasus ini tak pernah diungkap sebelumnya. Tetapi kami juga tidak menutup mata adanya kemungkinan  kesalahan di pihak TNI atau Polri. Siapa pun yang salah, termasuk TNI atau Polri, akan kami proses asal ada datanya," jelas Luhut.

Sementara itu menanggapi  demontrasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Papua, Luhut mengatakan bahwa hal itu merupakan hak konstitusi setiap orang. Hanya saja,  polisi harus menerapkan aturan-aturan berdemo sesuai peraturan perundangan yang ada, seperti membatasi waktunya, menetapkan tempat-tempat melakukan demonstrasi dan tidak mengganggu hak asasi masyarakat yang tidak ikut berdemonstrasi.


RIWAYAT PEMBENTUKAN TIM - Presiden Joko Widodo  yang sempat mendulang suara besar di Papua pada pemilihan presiden lalu,  memang berkomitmen untuk menyelesaikan persoalan kasus HAM di Papua. Hanya saja presiden serasa tak sabar dengan hasil kerja Komnas HAM, yang tak kunjung dapat menyelesaikan persoalan HAM Papua.

Untuk itu pada Maret 2016 Presiden memerintahkan Menko Polhukam Luhut Binsar Padjaitan, menyelesaikan setumpuk kasus pelanggaran HAM di Papua. Bahkan Presiden meminta target penyelesaian persoalan tersebut dalam waktu satu tahun.

Tentu saja sebuah target yang spektakuler, Menkopolhukam harus menyelesaikan puluhan kasus hukum itu dalam kurang satu tahun.  Padahal selama konflik Papua sejak 1963 setidaknya telah ada 44 operasi militer, dan ada ratusan ribu korban pelanggaran HAM. Apalagi ratusan ribu pusara korban tersebut tak bernama. Selama ini kasus-kasus  tersebut hanya sebagian kecil yang telah menjadi berkas di lembaga seperti KOMNAS HAM, Kepolisian, Kejaksaan, Komisi HAM PBB bahkan UNI Eropa.

Adanya instruksi tersebut, pada 15 Mei 2016 Luhut bergerak cepat membentuk Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat. Tugas Tim ini menghimpun data, informasi, analisa, dan melaporkannya pada Menkopolkam. Laporan tersebut kemudian akan diteruskan kepada Presiden untuk diambil keputusan.  Tim diberikan waktu bekerja hingga Oktober 2016.

Setidaknya ada 30-an anggota yang terlibat dalam tim itu, diantaranya dari jajaran Menkopolhukam dan Dirjen HAM, Ketua Komnas HAM, JAM Pidsus, Ahli Hukum Pidana, Staf Ahli KABIN, Kapolda Papua, Pangdam XVII Cendrawasih, Kapolda Papua Barat, Kejagung, dan beberapa tokoh Papua, termasuk Matius Murib, Marinus Yaung, dan Lien Moloali.

Sejauh ini disebut-sebut tim telah menjaring 16 kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua. Sejumlah anggota tim ini berbagi tugas, seperti Polda Papua dan Kodam XVII/Cenderawasih mendapat jatah menyelesaikan empat kasus dugaan pelanggaran HAM, yakni kasus hilangnya Aristoteles Masoka (10 November 2001), tewasnya aktivis Opinus Tabuni (8 Agustus 2008), kasus penangkapan Yawan Wayeni (3 Agustus 2009), serta kasus Kongres Rakyat Papua III (19 Oktober 2011).

Sedangkan Komnas HAM mendapat wewenang menyelesaikan pelanggaran HAM berat Wasior (2001) dan Wamena (2003), Kasus Paniai (Desember 2014), dan satu kasus usulan yakni kasus Biak berdarah (Juli 1998).

BACA JUGA: