JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah telah membatalkan sebanyak 3.000 lebih peraturan daerah (perda) yang dinilai bermasalah. Perda-perda itu dinilai  menghambat kelancaran investasi dan kemudahan berusaha. Langkah itu dilakukan untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi hingga ke daerah-daerah. Perda-perda yang dibatalkan itu sebagian besar adalah perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi. Selain itu perda tersebut juga dinilai menghambat proses perizinan dan investasi.

Menanggapi langkah pemerintah itu, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) meminta pembatalan perda itu sebaiknya tidak hanya ditujukan terhadap perda yang berkaitan dengan investasi, perizinan dan kemudahan berusaha. Sebab perda-perda lain seperti perda terkait kehidupan sosial, izin pertambangan, perusakan lingkungan  dan lainnya juga masih banyak yang bermasalah.  

"Untuk itu pemerintah harus inventarisir semuanya sehingga bisa dibatalkan," kata Direktur Eksekutif KPPOD, Robert Endi Jaweng, di Jakarta, Selasa (14/6).

Menurut Robert, masalah di Serang, Banten, terkait tindakan Satpol PP melakukan razia terhadap warung makan pada bulan ramadan menjadi bukti keberadaan perda bermasalah. Perda tersebut dinilai tidak tepat, karena menghalangi orang mencari nafkah. Semestinya orang tetap bisa menjalankan usahanya untuk mencari penghasilan bagi keluarganya. "Kalau dilarang, terus siapa yang tanggung jawab untuk memberikan nafkah buat keluarganya?" ujarnya

Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengamini pembatalan perda melalui mekanisme pengawasan administratif oleh Kementerian Dalam Negeri selaku organ pengawas pelaksana otonomi daerah itu hanya berfokus pada perda-perda yang berhubungan dengan pajak, retribusi, dan aturan lain yang intinya melemahkan daya saing dan memperumit birokrasi bisnis.

Namun ia berpendapat dengan banyaknya perda yang dibatalkan itu menunjukkan bahwa kualitas legislasi daerah sangatlah rendah. "Itu menunjukkan mekanisme preventif dalam pembentukan perda yang seharusnya dijalankan oleh Kemenkum HAM dan Kemendagri tidak berjalan optimal," kata Ismail kepada gresnews.com, melalui pesan singkat, Selasa (14/6).

Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu menyebutkan, di tengah solidaritas dan kecaman atas dampak perda diskriminatif di Kota Serang yang menimbulkan korban, seharusnya Kemendagri bergegas tidak hanya berorientasi pada penghapusan faktor penghambat daya saing ekonomi,  tapi juga menghapus pelembagaan sikap intoleransi dan diskriminasi dalam perda. Perda-perda diskriminatif itulah yang tersebar di seluruh Indonesia saat ini. "Karena perda-perda tersebut nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945," tegasnya.

Di atas semua itu, menurutnya, perlu dilakukan reformasi mekanisme legislasi daerah dan mekanisme yang memungkinkan adanya konsistensi pembentukan peraturan daerah yang mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. "Termasuk dengan Konstitusi dan Pancasila, yang merupakan kebutuhan nyata dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia," ungkapnya.

SEBANYAK 7.000 PERDA DIANULIR - Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri telah membatalkan 3.143 peraturan daerah yang bermasalah. Rinciannya pada tahun 2002-2009 dibatalkan 2.246 perda, sedangkan tahun 2010-2014 sebanyak 1.501 perda dibatalkan. Jika ditotal sejak 2002 hingga 2016 perda yang telah dibatalkannya mencapai 7.029 perda.

Bahkan, menurut catatan KPPOD, jumlah perda bermasalah itu justru meningkat selama setahun terakhir. Jika sebelumnya rata-rata perda bermasalah hanya 30 persen, saat ini jumlahnya mencapai sekitar 51 persen atau sebanyak 262 dari 507 perda.

Berdasarkan perincian KPPOD, sebanyak 365 perda dinilai diskriminatif terhadap perempuan. Perda-perda tersebut antara lain mengatur cara berpakaian, jam malam, dan pemisahan ruang publik untuk perempuan. Perda yang mendiskriminasi perempuan itu terdapat di Provinsi Jawa Barat yang mencapai 90 perda, diikuti Provinsi Sumatera Barat yang mencapai 46 perda.


PERATURAN DI ATASNYA BERMASALAH - Terkait penghapusan perda bermasalah ini, anggota Komisi III DPR Supratman Andi Agtas mengatakan aturan bermasalah tidak hanya terdapat pada peraturan daerah. Sejumlah peraturan pemerintah dan peraturan menteri bahkan undang-undang juga banyak yang bermasalah.

Menurut catatannya ada sekitar 98 UU yang dinilainya bermasalah. Seharusnya pemerintah pusat terlebih dahulu membenahi UU tersebut, baru perda-nya.

"Coba seluruh peraturan pemerintah dan menteri diperhatikan pelaksanaannya. Banyak yang berbeda dari UU," kata Supratman dalam diskusi awal Jui lalu.

Salah satu peraturan yang menyimpang dari ketentuan UU adalah peraturan tentang mineral dan batubara yang sudah dilarang UU untuk ekspor. Namun dalam keputusan menteri hal itu kini dibolehkan.

Supratman mengingatkan pemerintah untuk menjalankan kebijakan negara. Apalagi pembentukan peraturan daerah merujuk pada aturan pusat. Menurutnya, jika ada perda masalah, hal itu bukan lagi merupakan kejutan karena banyak peraturan pelaksana di atasnya yang bertentangan dengan UU-nya. Untuk itu harus ada sinkronisasi peraturan-peraturan pelaksana dan UU-nya. (dtc)

BACA JUGA: