JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mantan Bendaraha Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin mengakui bahwa dirinya bersalah telah melakukan beberapa tindak pidana korupsi. Nazaruddin juga mengakui telah melakukan tindak pidana pencucian uang untuk menyembunyikan beberapa aset yang didapat dari hasil melakukan kejahatan yang termasuk dalam kategori luar biasa tersebut. Salah satunya dalam pembelian saham PT Garuda Indonesia yang kemudian menyeretnya menjadi terdakwa, senilai Rp300 miliar.

Pengakuan itu diungkapkan Nazarduddin dalam persidangan terhadap dirinya dalam kasus pencucian uang terkait pembelian saham Garuda di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (25/5) sore. Dalam persidangan dengan agenda pembacaan nota pembelaan itu, pengacara Nazaruddin, Sudharmono Saputra, mengaku kliennya ikhlas menerima tuntutan jaksa yaitu 7 tahun penjara.

Bahkan, Nazar juga mengaku rela menerima apapun putusan majelis hakim nanti sebagai hukuman dari tindakannya tersebut. "Terdakwa mengakui kekhilafan. Terdakwa saat ini berstatus terpidana dijatuhi pidana penjara 7 tahun, dan terdakwa ikhlas dituntut jaksa 7 tahun," kata Sudharmono.

Sudharmono, yang merupakan salah satu anggota tim pengacara dari firma hukum Elza Syarif, itu mengatakan, kliennya ingin menebus berbagai kesalahan yang dilakukannya dengan membantu Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengungkap berbagai kasus korupsi yang melibatkan dirinya. Nazaruddin juga mengaku siap mengungkap kasus-kasus lain sebagai saksi pelaku yang bekerjasama atau Justice Collaborator (JC) maupun saksi untuk kasus lain (Whistle Blower).

Dalam nota pembelaan itu, Sudharmono juga mengungkapkan, Nazaruddin dianggap mempunyai peran dalam mengungkap beberapa kasus korupsi yang ditangani KPK. Sudharmono memang tidak menyatakan kasus apa saja, tetapi ada beberapa kasus yang beririsan dengan Nazaruddin, seperti kasus korupsi Wisma Atlet yang menjerat Angelina Pinkan Sondakh dan kasus Hambalang yang menjerat Anas Urbaningrum.

Selain itu, Sudharmono juga mengatakan Nazaruddin bukanlah orang nomor satu di Permai Group dan Anugerah Group. Ia hanya menjalankan perintah dari mantan koleganya yaitu Anas Urbaningrum. Sedangkan pengelola keuangan dipegang oleh Yulianis.

"Dari fakta persidangan bukti dan keterangan terdakwa, pertama bahwa terdakwa bukan orang nomor satu di Permai Group, hanya menjalankan perintah dari Anas sebagai pengendali. Yulianis bertanggung jawab pada keuangan Permai Group. Kedudukan terdakwa di Anugerah dan Permai hanya tahu pengeluaran dan pemasukan, tidak bisa mengambil uang tanpa izin Anas sebagai pengendali," ujar Sudharmono.

Oleh karena itu, ia meminta agar majelis hakim tipikor yang menyidangkan kasus ini agar memberikan hukuman seringan-ringannya kepada Nazaruddin. Selain itu, mereka juga meminta KPK agar menjerat Anas Urbaningrum dan Yulianis dalam kasus pencucian uang tersebut.

"Memohon agar hakim memutus seringan-ringannya atas terdakwa. Memerintahkan KPK untuk memeriksa dan menetapkan Anas Urbaningrum dan Yulianis atas tersangka Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)," ujar Sudharmono.

MINTA ASET DIKEMBALIKAN - Selain meminta keringanan hukuman, dalam nota pembelaannya, penasehat hukum Nazaruddin juga memohon agar majelis mengembalikan aset-aset yang dianggap tidak bersentuhan dengan pencucian uang yang dilakukan kliennya. Sebab, beberapa aset tersebut dibeli setelah Nazaruddin usai menjabat sebagai anggota DPR.

Senada dengan pembelanya, Nazaruddin juga mengungkapkan hal yang sama. Menurut dia, tidak semua aset miliknya dan Permai Group serta Anugerah Group merupakan hasil dari tindak pidana korupsi. Ada juga beberapa aset tersebut memang murni hasil usaha dan tidak melanggar hukum.

"Seperti dua bidang tanah, bangunan, Ruko 127 dan 123 meter di Abdullah Syafei, dibeli 2007 dan dilunasi 2008, dijelaskan saksi Pak A´ut dan itu uangnya tidak ada hubungannya dengan Anugerah dan Permai," kata Nazaruddin.

Kemudian, pada tahun 1996 ia mendapat warisan dari orang tua yang terbilang cukup besar. Dan uang tersebut kemudian dikelolanya untuk modal usaha. Dari beberapa usaha yang digeluti ia pun mendapat untung yang cukup signifikan.

"Saya menerima waris, saya putarkan secara usaha. Di 2005, waktu saya mau masuk politik, uang saya Rp197 miliar, Rp80 miliar lalu ditambang lagi Rp25 miliar saya masukin ke rekening istri. Bukti-bukti ada, uang dari warisan, setelah itu saya banyak usaha ada untung, itu yang saya putarkan dan saya serahkan ke istri," ujar Nazaruddin.

Selain itu, tanah dan bangunan miliknya di Pejaten, Jakarta Selatan juga diklaim bukan berasal dari hasil korupsi. Tanda jadi pembelian uang tersebut sudah dibayar pada 2008 dan pada 2009, pembayaran itu telah dilunasi. Menurutnya, ia tidak berani untuk menempatkan anak dan istrinya di rumah hasil korupsi.

"Soal aset lahan Kelapa sawit punya PT Panahatan seluas 2000 hektare, ini dilakukan pembayaran Februari 2009, rumah di Pejaten juga masuk LHKPN (laporan harta kekayaan penyelenggara negara-red). Aset di Jalan Sukajadi, Riau. Ini aset hibah mertua saya, tapi ini sudah dikembalikan KPK," urainya.

HASIL KORUPSI - Meskipun begitu, Nazaruddin mengakui ada beberapa aset dari Permai Group dan Anugerah Group yang berasal dari hasil korupsi. Diantaranya pembelian saham PT Garuda Indonesia sebesar Rp300 miliar.

Menurut Nazaruddin, mulanya pembelian saham tersebut murni dari hasil keuntungan usaha Permai Group. Namun karena sebagian pembelian saham senilai Rp300 miliar tersebut memang berasal dari imbalan proyek-proyek yang belakangan ketahuan merupakan hasil dari kejahatan korupsi, maka seharusnya dikembalikan kepada negara.

"Pembelian saham Garuda Rp300 miliar, sebenarnya murni dari pembelian Permai, tapi sebagian memang masuk dari fee. Jadi tidak bisa lagi dipisahkan jelas mana keuntungan Permai, mana uang fee maka menurut saya uang pembelian Garuda harus dikembalikan ke negara," kata Nazaruddin.

Selain itu ada juga aset sebuah pabrik senilai hampir Rp200 miliar yang diduga juga berkaitan dengan perkara dan harus dikembalikan kepada negara. "Saham Garuda dan pabrik hampir Rp500 miliar (total nilai-red) memang harus dikembalikan," cetus Nazaruddin.

Selain itu, beberapa irisan dari kasusnya yang telah menjerat pihak lain seperti Anas Urbaningrum dan Angelina Sondakh juga memang harus diambil oleh negara. Salah satunya aset PT Duta Graha Indah (DGI) yang telah berubah nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjineering (NKE) senilai Rp300 miliar yang menurut Nazaruddin harus dikembalikan ke negara.

Dari berbagai kasus yang menjeratnya, Nazaruddin mengakui ada aset senilai total Rp1 triliun yang seharusnya dikembalikan kepada negara. "Belum Angelina dan Mas Anas, sekitar Rp700 miliar. Belum lagi dari DGI dan Permai Grup. DGI juga sedang penyelidikan di KPK. Salah satunya wisma atlet, ada lagi di Bali Rp39 miliar, dan proyek DGI yang lain. Penyidiknya waktu ketemu saya hampir Rp300 miliar yang harus dikembalikan," imbuh Nazar.

ALASAN PENYITAAN - Sementara itu, Jaksa KPK Kresno Anto Wibowo mengatakan bahwa pihaknya tetap berpegangan pada surat tuntutan dan tidak terpengaruh terhadap pembelaan Nazaruddin. Apalagi dalam proses persidangan pihaknya telah mendapat bukti yang kuat bahwa kepemilikan aset tersebut melanggar aturan.

Kresno juga menyatakan, KPK tetap akan menyita sejumlah aset Nazaruddin meskipun dimiliki sebelum menjabat sebagai anggota dewan. Nazar diketahui mulai menjadi anggota DPR semenjak 21 Oktober 2009.

"Sudah ada beberapa putusan juga yang mendukung bahwa aset tersebut tidak sah, kayak kasus STPI, disitu kan ketauan asetnya darimana," kata Kresno.

Selain itu, dalam proses persidangan Nazar juga tidak bisa membuktikan bahwa harta tersebut memang didapat dari hasil yang sah. Ia pun menggunakan pembuktian terbalik yang ada dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

"Dalam persidangan, terdakwa tidak bisa membuktikan harta-harta tersebut. Kami berkeyakinan dengan menggunakan pembuktian terbalik di Pasal 77 UU TPPU," kata Kresno.

Pasal tersebut berbunyi: "Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana."

Selain itu, mengenai pembelaan Nazaruddin bahwa dia bukan merupakan pengendali PT Anugerah dan Permai Group, menurut Kresno hal tersebut bukanlah alasan menghapus pidana. Apalagi, dalam persidangan sudah terbukti bahwa Nazaruddin mempunyai peran penting dalam pengambilan keputusan di perusahaan itu.

"Kami apresiasi terdakwa yang mengakui kesalahannya, terdakwa mengakui kasus korupsi, sebagai saksi pelaku yang bekerjasama kami masukkan ke pertimbangan meringankan. Terdakwa bukan orang nomor satu di Permai Group tetapi alasan itu tidak menghilangkan unsur pidana," imbuh Kresno.

Oleh karena itu selaku penuntut umum, meminta agar majelis hakim tetap menghukum Nazar sesuai surat tuntutan. Selain itu, ia juga meminta agar segala aset Nazar yang berhubungan dengan perkara ini disita dan dikembalikan kepada negara.

BACA JUGA: