JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengaku kesulitan memproses para calon kepala daerah yang tersangkut kasus tindak pidana korupsi. Hal itu karena tidak dimilikinya bukti legal terkait status para calon, apalagi terhadap mereka yang masih dalam status penyelidikan.  Untuk itu, KPU akan berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bisa memperoleh kejelasan status para calon kepala daerah.

Ketua KPU Husni Kamil Malik mengatakan, salah satu cara untuk mempercepat proses pencalonan tersebut pihaknya bisa mendapatkan salinan atau keterangan, bahwa calon yang tersangkut kasus korupsi, terutama untuk yang tertangkap tangan dalam tindak pidana korupsi. "Setidaknya dalam keterangan itu tertulis mengenai tindak pidana yang disangkakan, pasal yang dikenakan dan peran calon tersebut," ujar Husni, saat rapat pembahasan mengenai persiapan Pilkada serentak, di KPU, kemarin.

Menurut Husni, hal itu diperlukan agar KPU bisa mendiskualifikasi calon yang diduga melakukan korupsi. Selain itu, dengan surat tersebut KPU juga bisa merekomendasikan Kementerian Dalam Negeri agar tidak melantik oknum calon terkait.

"Ada spirit, orang-orang terindikasi seperti itu, dibuat rekomendasi, satu pengecualian agar orang seperti itu didiskualifikasi. Ada yang tertangkap tangan, mestinya bisa diproses lebih cepat," jelas Husni.

Husni menegaskan, hal itu dilakukan sebagai dasar KPU mengambil kebijakan tertentu seperti diskualifikasi calon. Hal itu juga berlaku pada saat pemilu legislatif. Surat rekomendasi tersebut sangat berguna untuk menentukan suatu kebijakan.

"Karena kalau KPU buat laporan itu tapi KPK tidak bisa mengeluarkan surat rekomendasi, pengaturan hukumnya mubazir," ungkap Husni.

Husni mencontohkan salah satu calon Walikota Medan yang terjerat kasus korupsi di KPK. Orang tersebut merupakan salah satu mantan pimpinan DPRD Sumatera Utara yang tersandung kasus Bantuan Sosial provinsi.

"Untung tidak terpilih, kalau calon itu terpilih kan repot juga kita," imbuh Husni.

AKAN DIBAHAS - Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief yang juga hadir dalam rapat pembahasan kemarin menyatakan jika keterangan mengenai pelaku tindak pidana, kasusnya itu sendiri, serta peran seorang tersangka ada di dalam Surat Perintah Penyidikan (Sprindik).

Hanya saja sebuah Sprindik tidak bisa disebarluaskan kepada orang lain begitu saja. Apalagi jika tidak berkaitan langsung dengan perkara yang dimaksud. Untuk itu, Syarief mengatakan akan berkoordinasi lebih dahulu kepada tim Biro Hukum maupun pimpinan KPK lainnya.

"Secara umum saya belum bisa berikan jawaban yang fix sebagai pendapat KPK, nanti saya akan bicarakan. Atas penetapan tersangka kami mengeluarkan sprindik, hanya itu untuk internal," tutur Syarief.

Syarief mengaku khawatir, jika salinan Sprindik seorang tersangka diberikan kepada KPU akan memancing gugatan berbagai pihak. Hal itu bisa mengganggu kinerja KPK dalam menelusuri kasus korupsi.

"Saya lagi mikir-mikir, dasar hukum di atasnya mana, takut dipermasalahkan, KPU akan memakai itu. Karena itu bisa digugat di PTUN, mengeluarkan sesuatu di luar seharusnya," tambahnya.

Menurut Syarief, selama ini dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, KPK selalu mengumumkan kepada publik. Dan hal itu semestinya bisa menjadi dasar bagi KPU untuk memproses calon yang terindikasi korupsi.

Meskipun begitu, Syarief berjanji akan membahas permintaan tersebut dengan para pimpinan lainnya. Apakah dengan pemberian sprindik, atau surat formal. Namun semua nanti akan diskusikan dikalangan KPK.

"Kalau KPU buat aturan sendiri, orang yang ditetapkan KPK didiskualifikasi dan diumumkan khalayak, mungkin itu juga bisa," pungkas Syarief.

BACA JUGA: