JAKARTA, GRESNEWS.COM - Bos PT Media Nusantara Citra (MNC) Grup Hary Tanoesoedibjo (HT) akhirnya muncul di Gedung Bundar Kejaksaan Agung untuk menjalani pemeriksaan. Hary diperiksa sebagai saksi terkait kasus restitusi pajak PT Mobile-8 Telecom. Hary diketahui adalah pemilik lama PT Mobile-8 sebelum kemudian dijual kepada Sinar Mas Group.  

Kepada wartawan HT mengaku hanya korban politisasi kasus. Karena dalam kasus ini, dirinya tidak ada kaitan. Soal pajak telah didelegasikan ke direksi. Apalagi dirinya saat itu hanya sebagai komisaris.

"Kalau ditanya saya tidak tahu. Dan saya yakin tidak akan jadi tersangka," kata HT didampingi tim kuasa hukumnya di Kejaksaan Agung, Kamis (17/3).

Hary bahkan menuding Kejaksaan Agung mengait-ngaitkan dirinya dalam kasus PT Mobile-8,  karena lembaga itu punya kepentingan di luar hukum. Dirinya dikaitkan karena komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Hary justru menantang penyidik untuk membuktikan dirinya terlibat dalam kasus ini.

"Jika dikaitkan silahkan, nanti kita buktikan," tantang HT.

Kuasa hukum HT, Hotman Paris mengatakan, Kejaksaan Agung dinilai tak paham Undang-undang Pajak karena mengaitkan dua hal yang tidak ada kaitannya. Uang gratifikasi pajak PT Mobile-8 sebesar Rp10 miliar yang diterima PT Mobile tahun 2009 adalah pengembalian uang pajak terkait dengan kompensasi kerugian pada masa pajak 2004.

Sebaliknya transaksi penjualan sebesar Rp80 miliar dari PT Mobile-8 pada 2007 yang dituduhkan Kejaksaan Agung sebagai fiktif. Itu ada peningkatan penjualan sebesar Rp80 miliar. Terlepas apakah itu fiktif atau tidak justru menguntungkan negara.

Uang sebesar Rp10 miliar yang diterima PT Mobile-8 bukan kerugian negara dan restitusi bukan disebabkan transaksi penjualan sebesar Rp80 miliar tahun 2007. "Jadi tidak ada kerugian negara dan karenanya bukan perkara korupsi dan bukan kewenangan kejaksaan," kata Hotman.

Dalam kasus pajak PT Mobile-8, malah untung sebesar Rp8 miliar. Itu hasil peningkatan penjualan sebesar Rp80 miliar yang dikenakan PPn sebesar 10 persen.

Kenapa timbul restitusi pajak? Hotman menjelaskan pada masa pajak tahun 2004 PT Mobile merugi. Karena rugi maka di akhir tahun tidak wajib bayar pajak. Akan tetapi sebelum kerugian dihitung di akhir tahun PT Mobile-8 telah membayar pajak (prepaid tax). Dan PT Mobile berhak meminta kembali uang yang dibayarkan.

"Disinilah kekeliruan besar dari kejaksaan Agung yang tidak memahami tentang apa itu restitusi pajak," kata Hotman.

Dan restitusi pajak sebesar Rp10 miliar telah sesuai dengan ketetapan dari kantor pajak. Ditjen Pajak beberapa kali menegaskan tidak ada pelanggaran pajak atas restitusi pajak PT Mobile-8. Kalau surat ketetapan itu salah yang harusnya disidik adalah pejabat pajak yang menandatangani SKP tersebut.

"Kenapa justru HT yang diburu oknum kejaksaan," kata Hotman.

Namun Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah menanggapi santai yang disampaikan Hotman. Menurutnya penyidik telah memiliki bukti kuat bahwa kasus ini ada korupsi. Ada rekayasa transaksi fiktif yang dilakukan Mobile-8 dengan PT Djaya Nusantara Komunikasi (DNK) untuk mendapatkan restitusi pajak.

"Memang dalam dokumen ada transaksi, semua ada tapi itu fiktif," kata Arminsyah.

Dugaan rekayasa transaksi itu dibenarkan oleh Eliana Djaya selaku Direktur PT Djaya Nusantara Komunikasi (DNK). "Jadi uang itu dikirim ke DNK tapi kemudian dikirim balik," kata Arminsyah.
KEJAGUNG PEGANG BUKTI - Ketua Tim Penyidik kasus ini Ali Nurudin mengatakan, kasus restitusi pajak PT Mobile-8 bermula pada 2007-2008 ketika PT DNK tidak mampu membeli produk voucer telekomunikasi. PT DNK hanya bisa membeli voucer telekomunikasi dari PT Mobile 8 mulai Rp2 juta hingga Rp2 miliar.

Agar terjadi penjualan dari PT Mobile 8 ke PT DNK, dibuatlah transaksi fiktif. Dari hasil penelusuran tim penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM-Pidsus), PT Mobile 8 mentransfer uang ke PT DNK melalui salah satu perusahaan pengelola asetnya, yakni PT TDM Asset Management, pada 17 Desember 2007 senilai Rp50 miliar dan mengirimkan faks purchase order Rp49,2 miliar yang ditujukan ke PT Mobile-8.

Kemudian oleh PT DNK dikirim balik secara tunai ke BCA cabang Darmo Surabaya ke rekening PT Mobile-8 pada 18 Desember 2007. Transaksi fiktif itu terus dilakukan hingga 2008 dengan nilai total Rp334 miliar. Dari penjualan fiktif itu, PT Mobile-8 mengajukan permohonan restitusi pajak atau kelebihan bayar pada 2007 dan 2008.

Uang hasil restitusi pajak atau kelebihan bayar pajak itu masuk ke PT Mobile-8 lagi. Kemudian dialirkan ke perusahaan milik Hary Tanoe lain, yakni PT Bhakti Investama melalui Bhakti Asset Management. Komisaris Utama PT Bhakti Asset Management ialah Hary Djaja yang juga merupakan Direktur utama PT Bhakti Investama.

"Uang ini mengalir di situ-situ saja, dalam satu grup perusahaan," ujar Ali.

Kejaksaan juga menemukan indikasi merger perusahaan dalam perusahaan yang kemudian direstitusikan dengan nilai mencapai Rp126 miliar.

Sementara Pihak MNC berdalih memiliki bukti pembayaran pajak. Corporate Secretary MNC Group, Syafril Nasution mengatakan pihaknya sebagai pengelola Mobile-8 Telecom sampai pertengahan tahun 2009, sudah memenuhi kewajiban perusahaan sebelum menjualnya kepada pihak ketiga.

Menurut dia bukti itu dari dokumen yang dikeluarkan Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa (KPP PMB) yang telah memeriksa restitusi pajak yang diajukan PT Mobile-8. Pemeriksaan itu, menurut Syafril  tertuang dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKP-LB)

Dalam SKP LB bernomor 00059/406/07/054/09 Tahun 2007 Tanggal Penerbitan 13 Maret 2009 ditetapkan jumlah PPh Mobile 8 yang lebih bayar senilai Rp 12,2 miliar. Kemudian, Mobile-8 juga menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKP-KB) Pajak Penghasilan pasal 21, 23, 4 ayat 2 dan 26 dengan jumlah Rp 1,4 miliar. Dengan demikian, pengembalian bersih atas lebih bayar tersebut sebesar Rp 10,7 miliar. Selain itu, Mobile-8 juga menerima SKP Kurang Bayar (SKP-KB) Pajak Penghasilan pasal 21, dan 26 dengan jumlah Rp 10,3 miliar, sehingga tidak ada pengembalian atas lebih bayar tersebut.

Dua SKP itu pun hingga 8 Januari 2016 tidak ada koreksi sehingga SKP-LB tersebut dianggap sudah benar adanya. Berdasarkan Penjelasan pasal 8 ayat 1 (a) UU nomor 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga UU nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, jika dalam 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak tidak ada koreksi dari Direktorat Pajak, maka Surat Pemberitahuan Pajak dianggap benar.
DISIKAPI HATI-HATI - Di hari yang sama pemeriksaan Hary Tanoe, Komisi III DPR RI juga menggelar rapat panitia kerja (Panja) kasus Mobile-8. Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond Junaidi Mahesa mengatakan, dalam rapat tersebut Kejagung menganggap bahwa kasus Mobile 8 itu ada kongkalikong yang sifatnya menyebabkan kerugian negara.

Namun, sebaliknya Ditjen Pajak melihat hal tersebut tidak menyebabkan terjadinya kerugian negara dari aspek perpajakan. Karenanya, Komisi III DPR RI menilai yang bisa dipegang pernyataannya dari Ditjen Pajak. Menurutnya, masalah penegakan hukum dalam kasus ini harus dilihat lebih jernih oleh Kejagung.

"Misalnya kalau ada window dressing, itu kan bukan wilayah kejaksaan, ini wilayah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Nah ini yang menurut kami kalau sudah ke sana tentang window dressing ini sudah wilayah OJK," ujar Desmond dalam keterangannya kepada media.

Desmond menilai, kasus ini, bukanlah ranahnya Kejagung, melainkan OJK yang lebih berwenang menangani. Oleh karenanya, kejagung dinilai salah alamat tangani kasus Mobile-8. "Harus berhati-hati menyikapinya," ujar dia.

Sebagai informasi, dalam rapat itu Komisi III DPR RI memanggil Kepala Subdit Pidsus Kejagung, Yulianto dan Direktur Peraturan Perpajakan I, Irawan. Sebelumnya, ada perbedaan pendapat terkait penanganan kasus PT Mobile-8 Telecom antara Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung, Arminsyah dengan Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak, Irawan.

Irawan mengatakan, angka pajak keluar dan masuk Mobile-8 sudah diperiksa dan hasilnya tidak ada yang diselewengkan. Menurut dia, status restitusi pajak Mobile 8 sudah benar dan tidak menimbulkan kerugian negara. Dengan demikian, tidak seharusnya masuk ranah Kejagung.

Sementara, Jampidsus Arminsyah mengatakan, transaksi PT Mobile 8 Telecom dan PT DNK fiktif atau hanya rekayasa. Kejagung mengatakan, transaksi fiktif berdasarkan satu indikasi, yakni temuan bahwa dana yang digunakan PT DNK berasal dari PT Mobile-8 sendiri dan juga beberapa perusahaan milik pemegang saham PT Mobile 8.

BACA JUGA: