JAKARTA, GRESNEWS.COM - Nama mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan terus terseret dalam kasus korupsi pengadaan 16 mobil Electric Microbus dan Electric Executive Car tahun 2013. Meski kasus tersebut kini telah bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, nama Dahlan terus disebut turut serta dan berperan penting dalam korupsi yang dinilai merugikan negara hingga Rp28,9 miliar itu.

Peran Dahlan terlihat cukup jelas dalam berkas perkara terdakwa Dasep Ahmadi, Direktur PT Sarimas Ahmadi Pratama. Pengadaan mobil listrik yang melibatkan PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT Perusahaan Gas Negara (PGN), dan PT Pertamina itu berjalan mulus karena peran Dahlan yang merekomendasikan Dasep. Jika tidak ada rekomendasi itu, bukan Dasep yang mengerjakan proyek ini.

Jaksa juga berpeluang menjerat Dahlan dengan Pasal 55 ayat (1) KUHP karena telah turut serta. Dahlan disebut ikut berperan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan perekonomian negara terkait proyek mobil listrik.

"Kita masukkan dalam tuntutan (Dasep) nanti sesuai fakta persidangan," kata Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum Victor Antonius kepada gresnews.com, Minggu (14/2).

Menurut Victor, Dahlan kepada direksi BRI, PGN dan Pertamina,  memperkenalkan Dasep sebagai satu-satunya orang yang bisa membuat mobil listrik di Indonesia. Apalagi Dasep masuk Kelompok Pandawa Putra Petir Binaan Dahlan sebagai pembuat mobil listrik.

Victor mengatakan bahwa seluruh fakta tersebut sudah disampaikan Jaksa Penuntut Umum dalam sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (10/2). Dan seluruh fakta yang sudah diungkap akan dimasukkan dalam berkas tuntutan kepada Dasep pada 22 Februari mendatang.

"Kita lihat putusan, kalau pengadilan menilai bahwa fakta kami sesuai fakta sidang ya kita lihat putusan nanti," katanya.

Kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp28,9 miliar. Itu terdiri dari realisasi pembayaran yang diterima dari PT PGN sebanyak Rp9,03 miliar, PT BRI sebesar Rp8,08 miliar, dan dari PT Mitra Sejati yang selanjutnya diganti oleh PT Pertamina sebanyak Rp11,875 miliar.

KERUGIAN NEGARA - Sejak kasus ini mencuat, penanganan kasus mobil listrik ini menjadi perdebatan apakah benar ada kerugian negara. Selain itu juga menjadi diskusi ramai apakah kasus ini sebagai perkara pidana atau perdata.

Pihak Dasep dan Dahlan menyatakan kasus mobil listrik bukan perkara pidana tapi perdata. Kuasa hukum Dasep, Elsa Syarif, mempertanyakan dasar penilaian sebagai kerugian negara dalam kasus ini. Karena yang terjadi proyek mobil listrik ini merupakan kerjasama BUMN dengan Dasep untuk kepentingan acara negara. Sehingga jika kemudian muncul masalah, penyelesaiannya diselesaikan secara perdata.

Hanya saja jaksa berbeda pandangan. Proyek mobil listrik ini bukan lagi ranah perdata tapi pidana. Proyek ini masuk dalam kualifikasi pengadaan barang dan jasa. Dan dalam tataran prosedur, terjadi banyak kesalahan yang dilanggar.

"Ini pengadaan barang dan jasa, bukan riset atau apapun," kata Jaksa Agung M Prasetyo.

Sementara Dasep dalam kasus ini mengaku tak bersalah. Bahkan Dasep mengaku telah bekerja sebaik-baiknya untuk kepentingan negara. Karena mobil listrik buatannya digunakan oleh kementerian.

Ia mengklaim bagian yang digunakan pada mobil listrik telah sesuai dengan permintaan. Bahkan, sambungnya, hampir dua tahun belum ada keluhan. Karenanya Dasep membantah negara dirugikan.

Dalam persidangan, ahli keuangan negara yang dihadirkan jaksa, Siswo Sujanto, mengungkapkan penegak hukum harus berhati-hati mengusut dugaan korupsi penggunaan uang negara di BUMN. Pengusutannya harus dibedakan dengan pengadaan barang dan jasa yang uangnya bersumber dari APBN atau APBD.

Menurut Siswo, kerugian yang dialami BUMN tidak bisa serta merta disamakan dengan kerugian negara. Kalau keuangannya dilakukan profesional tidak bisa disebut kerugian negara. Itu hanya bisa disebut kerugian perusahaan.

Dalam kasus mobil listrik, misalnya. Jika terjadi keterlambatan penyelesaian prototype mobil listrik yang merupakan kerjasama antara Dasep dan tiga BUMN tidak bisa dinilai menimbulkan kerugian negara. Mekanisme penyelesaian permasalahan tersebut harus dilakukan dengan penerapan denda.

Namun jika sejak awal sebuah kerjasama dibuat untuk menguntungkan pihak tertentu dan cacat hukum, maka hal tersebut jelas sebuah pidana.

Dan dalam kasus ini mobil listrik buatan Dasep, jaksa menemukan banyak ketentuan yang dilanggar. Dasep tidak memiliki sertifikat keahlian dalam pembuatan mobil listrik, belum mempunyai hak cipta, paten, merek, serta belum pernah membuat mobil listrik model executive car.

Mobil listrik buatan Dasep ternyata hanya hasil modifikasi body yang dibuat oleh karoseri PT Aska Bogor dan PT Delima Bogor, serta chasis merek Hino.

Dasep membeli mobil Toyota Alphard tahun 2005 dengan harga sekitar Rp300 juta dan mobil dimodifikasi oleh PT Rekayasa Mesin Utama yang berlokasi di Bogor dan transmisi dimodifikasi oleh Dasep sendiri di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Dalam pelaksanaan, PT SAP hanya mampu membuat tiga unit kendaraan yang terdiri dari satu unit electric bus dan dua unit executive electric car serta belum memenuhi syarat teknis berdasarkan surat Dirjen Perhubungan Darat tanggal 3 Oktober 2013. Sementara, dana proyek dari tiga BUMN telah dicairkan senilai Rp28,9 miliar.

Kendati dugaan keterlibatan Dahlan Iskan makin kuat dalam kasus mobil listrik, namun Kejaksaan Agung tidak terburu-buru menentukan sikap seperti halnya terhadap Dasep Ahmadi dan Agus Suherman, yang telah dijadikan tersangka.

Jaksa akan menunggu putusan Pengadilan Tipikor. "Kita lihat dulu seperti apa. Jangan kita terburu-buru. Saya tidak mau bekerja terburu-buru (menentukan status Dahlan Iskan)," kata Jaksa Agung HM Prasetyo.

Sejauh ini, status Dahlan Iskan masih sebagai saksi. Selain Dasep Ahmadi, jaksa juga telah menetapkan Agus Suherman (Kabid Program Kemitraan dan Bina Lingkungan Kementerian BUMN), yang kini Dirut Perum Perikanan, sebagai tersangka.

BACA JUGA: