JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tahun 2015 ini, pemerintah telah melaksanakan eksekusi mati terhadap 14 terpidana mati kasus narkotika dalam dua gelombang. Pelaksanaan eksekusi mati itu mendapat penentangan dari berbagai kalangan pegiat penegakan Hak Asasi Manusia.

Meski begitu pemerintah bergeming. Bahkan tahun 2016 mendatang, Jaksa Agung HM Prasetyo bakal melanjutkan rencananya untuk kembali mengeksekusi terpidana mati kasus narkotika yang tertunda eksekusinya. Rencana itu sudah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan mendapatkan persetujuan.

DPR bahkan menyetujui anggaran pelaksanaan hukuman mati. Retno Marsudi juga telah mengkonfirmasi rencana ini. Menurutnya akan ada 14 terpidana mati yang akan dieksekusi pada 2016. Namun Jaksa Agung, sampai saat ini belum menentukan tanggal dan nama-nama orang yang akan dieksekusi mati.

"Untuk persiapannya, tentu Jaksa Agung yang akan lebih bisa menjelaskan. Intinya, jangan sampai ada kesalahan proses karena ini adalah menyangkut nyawa manusia," kata Menlu Retno Marsudi, Senin (28/12) kemarin.

Terkait pelaksanaan hukuman mati itu, Retno mengatakan, pemerintah akan menjelaskan hukum yang belaku di Indonesia kepada negara yang warganya akan dieksekusi mati di Indonesia. "Kita berusaha menjelaskan hukumnya bahwa masalah kejahatan narkoba ini adalah salah satu kejahatan yang dinilai serius," lanjut Retno.

Dalam eksekusi mati di bulan Januari dan April 2015, Indonesia mendapat sorotan dari negara yang warganya dieksekusi mati tersebut. Diantaranya adalah Australia, Belanda, Brasil hingga Sekjen PBB.

Berikut daftar orang yang dieksekusi mati di 2015:

Dieksekusi Januari 2015:
1. WN Brasil, Marco Archer Cardoso Moreira, kasus penyelundupan 13 kg kokain
2. WN Malawi, Namaona Denis, kasus penyelundupan 1 kg heroin
3. WN Nigeria, Daniel Enemuo, kasus penyelundupan heroin lebih dari 1 kg
4. WN Belanda, Ang Kiem Soei, kasus pabrik narkoba terbesar se-Asia
5. WN Vietnam, Tran Thi Bich Hanh, kasus penyulundupan 1,5 kg sabu
6. WNI Rani Andriani, kasus penyelundupan 3,5 kg heroin

Diekseksusi April 2015:
7. WN Australia, Myuran Sukumaran, kasus penyelundupan 8,2 kg heroin
8. WN Ghana, Martin Anderson, kasus perdagangan 50 gram heroin
9. WN Spanyol, Raheem Agbaje Salami, kasus penyelundupan 5,8 kg heroin
10. WN Brasil, Rodrigo Gularte, kasus penyelundupan 6 kg heroin
11. WN Australia, Andrew Chan, kasus penyelundupan 8,2 kg heroin
12. WN Nigeria, Sylvester Obiekwe Nwolise, kasus penyelundupan 1,2 kg heroin
13. WN Nigeria, Okwudili Oyatanze, kasus perdagangan 1,5 kg heroin
14. WNI, Zainal Abidin, kasus 58 kg ganja

Meski mendapat tentangan, menurut Retno, kini hubungan dengan negara-negara tersebut kembali harmonis. "Bahwasanya ada reaksi ya reaksi itu adalah hak dari negara lain. Tetapi semua reaksi yang disampaikan dari pandangan kita, kita berusaha mengukurnya, maksimal dampaknya seperti apa, itu otomatis," ujarnya.

DIKRITIK KERAS - Sama halnya dengan pelaksanaan eksekusi mati tahap pertama dan kedua di 2015, rencana eksekusi mati tahap ketiga di 2016 ini juga mendapat penentangan keras dari para pegiat HAM.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak agar pemerintah Indonesia melaksanakan kewajiban konstitusional dan komitmen internasionalnya dalam menghargai hak hidup yang dijamin dalam UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.

Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W. Eddyono mengatakan, sampai saat ini, pemerintah Indonesia dan Kejaksaan Agung tidak mampu menjelaskan mengenai metode pemilihan dalam menentukan siapa saja yang akan dieksekusi mati baik dalam gelombang eksekusi mati di 2015 dan rencana eksekusi mati di 2016.

"Presiden juga tidak memberikan informasi mengenai pertimbangan apa saja yang membuat Presiden menerima atau menolak grasi dari para terpidana mati," kata Supriyadi kepada gresnews.com, Selasa (29/12).

Dia menegaskan, Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara secara resmi sudah menolak memberikan informasi tentang Keputusan Presiden mengenai Grasi. "Saat ini ICJR sedang dalam proses ajudikasi di Komisi Informasi Pusat mengenai informasi Keppres Grasi ini," kata Supriyadi menerangkan.

ICJR menilai dalam proses penjatuhan hukuman mati masih banyak terdapat kejanggalan terutama dalam proses peradilan pidana. Salah satu sorotan ICJR adalah dalam kasus Zainal Abidin yang berkas kasusnya malah sempat ´menghilang´ selama beberapa tahun dan dihukum matinya seorang anak bernama Yusman Telaumbanua, di Nias oleh Pengadilan.

Dengan rencana eksekusi mati ini, ICJR menilai politik perubahan pidana mati dalam Rancangan KUHP merupakan lips service dari pemerintah. Rancangan KUHP yang konsepnya disusun oleh pemerintah telah menyatakan bahwa eksekusi terpidana mati wajib mempertimbangkan masa tunggu dengan menunjukkan sikap dan perbuatan yang baik yang ditunjukkan oleh para Terpidana mati.

"Dengan melakukan ekskusi mati ini, politik pemidanaan pemerintah dalam konteks pidana mati, dalam pandangan ICJR, belum ada perubahan yang signifikan," tegas Supriyadi.

Karena itu, ICJR juga mendesak agar Mahkamah Agung segera mencabut Surat Edaran Mahkamah Agung tentang pembatasan peninjauan kembali yang bertentangan dengan Konstitusi. "ICJR menilai tindakan MA yang masih mempertahankan SEMA pembatasan peninjauan kembali merupakan pembangkangan terhadap Konstitusi," pungkas Supriyadi.

DEMI MASA DEPAN BANGSA - Meski dihujani kritik, pemerintah sepertinya akan terus melaksanakan eksekusi mati itu. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan, eksekusi mati tersebut harus dilaksanakan.

"Sudah sepantasnya Presiden Jokowi menghukum mati pengedar narkoba," kata Ryamizard beberapa waktu lalu.

Dia mengaku mengaku prihatin dengan kondisi ribuan anak bangsa yang kini mengalami ketergantungan narkoba. Para bandar narkobanya, meski telah dihukum penjara tetapi masih mengedarkan.

Hal ini salah satu yang memicunya untuk mendorong eksekusi mati. "Sedangkan di LP itu (pengedar) masih mengedarkan, bagaimana tidak pas (eksekusi mati) dan saya sangat setuju itu (eksekusi mati)," ujar Ryamizard.

Bagi Ryamizard, narkoba merupakan ancaman serius bagi Indonesia yang menyasar generasi bangsa. Jika tidak diberlakukan tindakan hukum yang keras dan tegas, maka Indonesia kehilangan generasi di masa yang akan datang.

"Ini sangat pentin untuk masa depan kita. Bagaimana Indonesia mempunyai masa depan baik kalau anak-anak terlibat narkoba, setiap tahun ada 18 ribu orang meninggal, yang diobati sebanyak 4,5 juta orang dan yang ngggak bisa diobati 1,2 juta orang," ujar Ryamizard.

Terkait pelaksanaan hukuman mati ini, Menteri Koordinator Hukum Politik dan Keamanan Luhut B Pandjaitan pun telah menggelar rapat dengan Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Polisi Budi Waseso. Salah satu yang menjadi agenda rapat adalah soal hukuman mati bagi bandar narkoba.

"Jadi kan penguatan dari pada BNN karena yang dihadapi ini permasalahan narkoba bukan hanya nasional tapi juga internasional. Jadi perlu dihadapi satu kekuatan atau lembaga yang punya kewenangan paling tidak setara dengan kementerian," ungkap Komjen Buwas (2/12) lalu.

Dengan banyaknya kementerian atau lembaga yang memberi bantuan, maka BNN akan memiliki tambahan kekuatan menumpas peredaran narkoba di Indonesia. Termasuk sarana dan prasarananya.

Bahkan menurut Buwas, BNN dalam waktu dekat akan melibatkan TNI terkait penangkapan bandar-bandar narkoba. BNN akan mengadakan perjanjian kerjasama dengan TNI.

"Nanti sebentar lagi saya akan MoU dengan TNI. Nanti kita konstruksikan peran Polri di mana, TNI di mana, kami di mana. Polri dan BNN sudah menelisik, TNI bisa bantu menangani," kata Buwas.

Komjen Buwas menganggap bandar merupakan pelaku pembunuhan massal dan berencana. Dengan begitu menurutnya bandar narkoba adalah musuh negara dan tidak masalah jika ditumpas untuk memastikan keselamatan generasi muda.

"Kalau kami bunuh satu dari pelaku pembunuhan ratusan, kami pasti dimaafkan. Tuhan juga pasti memaafkan," kata Buwas yakin. (dtc).

BACA JUGA: