JAKARTA, GRESNEWS.COM – "Langit ku tak biru-tak biru lagi, hutan ku tak lebat-tak lebat lagi, alam ku tak indah-tak indah lagi" lirik lagu grup band ternama asal Indonesia, Slank menggambarkan kondisi alam Indonesia yang pekat tertutup asap akibat kebakaran hutan di sejumlah pulau di Indonesia.

Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan berdasarkan satelit Himawari dari BMKG pada Minggu (25/10) pukul 08.30 WIB, lebih dari tiga perempat wilayah langit Indonesia tertutup asap tipis hingga tebal. Ia menyatakan hanya Jawa tengah, DIY, sebagian Jawa Timur, NTT, Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan bagian utara Papua saja yang tidak tertutup asap.

"Hotspot pantauan satelit Terra & Aqua pada Minggu pagi ada 1.187 hotpsot. Kualitas udara (PM10) di Pekanbaru 570 berbahaya,  Jambi 518 Berbahaya, Palembang 325 Sangat Tidak Sehat, Pontianak 169 Tidak Sehat, Banjarbaru 73 Sedang, Samarinda 147 Sedang, dan Palangkaraya 1.511 Berbahaya.  Hampir dua bulan lamanya warga di Riau, Jambi dan Palangkaraya terkepung asap level berbahaya," Kata Sutopo dalam pesan singkat yang diterima gresnews.com, Minggu (25/10).

Ironisnya, kebakaran lahan yang terjadi di Indonesia beberapa tahun belakangan ini tidak diikuti dengan penyikapan yang tegas bagi para pelaku pembakar lahan yang diduga didalangi oleh para pemegang izin lahan kawasan hutan dari pemerintah itu sendiri.

Manager Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Walhi Zenzi Suhadi mengatakan penanganan aparat kepolisian dan pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap para pelaku aksi pembakaran hutan di sejumlah daerah masih jauh dari harapan. Ia mengatakan, sekitar 73 persen lokasi kebakaran hutan tersebar di sejumlah titik di wilayah Sumatera dan Kalimantan, dan semua itu terjadi dikawasan hutan yang disana ada hutan tanam industri ada HPH.

"Sebenarnya jika pemerintah serius ingin memberikan sanksi terhadap korporasi para pelaku pembakaran lahan harusnya Kementerian Kehutanan (KLHK) itu sudah dapat memetakan. Hanya saja sejauh ini saya melihat belum berjalan secara signifikan," kata Zenzi saat ditemui usai menghadiri diskusi Energi Kita di bilangan Jakarta Pusat, Minggu (25/10).

Ia menambahkan, sesuai data KLHK, pemerintah saat ini tengah menyelidiki sekitar 413 entitas perusahaan yang diduga terlibat dalam aksi pembakaran lahan di sejumlah wilayah Indonesia. Hanya saja, jumlah itu tidak sebanding dengan jumlah perusahaan yang sudah dikenakan sanksi oleh pemerintah atas aksi pembakaran lahan tersebut. Menurutnya, sejauh ini KLHK baru memberikan sanksi administrative terhadap 14 perusahaan yang diduga pelaku pembakaran lahan.

"Artinya itu tidak signifikan. Jumlah yang kena sanksi harus signifikan dgn jumlah yan gmelakukan pembakaran," ucapnya.

Selain itu, Zenzi juga menilai, sanksi adminstratif yang dilakukan oleh pemerintah bukanlah langkah yang efektif sebagai upaya penghentian kejahatan alam yang belakangan ini terjadi. Sebab sanksi yang diberikan terhadap 14 entitas perusahaan tersebut sama sekali tidak menyentuh titik persoalan sebenarnya.

"Sanksi dan proses hukum itu akan signifikan apabila yang dibongkarnya itu adalah skenario besarnya, skenario bagaimana menggunakan pelepasan kawasan hutan untuk legalisasi pembakaran atau membakar dulu supaya legal dalam mendapatkan perizinan, ini yang harus dibongkar," paparnya.

Lebih jauh ia mengatakan, pemberian sanksi atau proses hukum yang dilakukan oleh pemerintah saat ini masih tebang pilih dan tidak merata. Dan parahnya lagi, sanksi yang saat ini diberlakukan baik sanksi administrasi maupun pidana oleh pemerintah tidak pernah menyentuh perusahaan-perusahaan raksasa di kancah perkebunan sawit. Melainkan hanya menyasar perusahaan-perusahaan kecil saja.

Ia pun menegaskan, sejumlah perusahaan raksasa yang setiap tahun disoroti oleh Walhi tidak pernah di kutak-katik oleh pemerintah dan kepolisian. Seperti, Sinar Mas, Wilmar, dan sejumlah perusahaan raksasa yang menampung hasil produksi dari perusahaan-perusahaan pembakar sawit justru luput dari sasaran. Yang parahnya lagi, kata Zenzi, beberapa hari lalu Bareskrim Mabes Polri telah menganulir penetapan sebagai tersangka atas PT. Bumi Mekar Hijau (BMH). Padahal, menurut Zenzi, PT. BMH telah menyumbang sebesar 52 persen titik api di Sumatera Selatan.

"Nah ini ada apa, padahal perusahaan ini hampir tiap tahun mengalami kebakaran dan tidak terkendali," ujarnya.

PEMERINTAH SUDAH SERIUS – Kepala Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Eka W. Soegiri, membantah keras pernyataan Walhi yang menyatakan pemerintah tebang pilih dalam menangani para pelaku korporasi pembakar hutan. Menurut Eka, hingga saat ini pihaknya terus melakukan segala upaya dalam menelusuri para perusahaan yang diduga pelaku pembakaran lahan baik di kawasan hutan industri maupun di non kawasan hutan.

Ia mengaku, sejauh ini 413 perusahaan tengah diselidiki secara seksama dengan menurunkan sekitar 61 orang tim untuk melakukan identifikasi, inventarisasi serta verifikasi di lapangan. Eka juga menjelaskan bahwa dalam proses penyelidikan  pihaknya tidak dapat gegabah dalam menentukan perusahaan mana yang bersalah melakukan pembakaran lahan, sebab identifikasi dan upaya penyelidikan lebih jauh itu sangat dibutuhkan bagi pemerintah agar pemerintah tidak disalahkan oleh para pemegang izin lahan di lapangan.

Namun, ia juga menepis anggapan pemerintah takut dan lambat jika berhadapan dengan para korporasi besar di Industri sawit.  "Kami sekarang tetap kerja, tak ada hambatan dalam kerja-kerja kita, hanya saja kami memang harus hati-hati dalam menetapkan siapa yang benar-benar bersalah. Jangan sampai kita katakan yang salah 200 perusahaan tapi yang benar-benar terbukti itu ternyata 10 misalnya, kan jadi malu pemerintah. Lebih baik kita berhati-hati tapi yang keluar itu pasti. Memang kesannya lambat tapi sebenarnya lebih hati-hati," kata Eka kepada gresnews.com.

Selain itu ia juga memaparkan, pihaknya telah memberlakukan sanksi administrasi terhadap 14 perusahaan yang diduga terlibat dalam aksi pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Keempat belas perusahaan itu masing-masing mendapatkan sanksi yang berbeda-beda. Yaitu, tujuh perusahaan mendapatkan sanksi pembekuan izin. Mereka adalah Tempiray Palm Resources, Langgap Inti Hibrindo, Waringin Agro Jaya, PT RPM, PT DML, PT PBP, dan PT SBAWI. Selain itu, tiga entitas perusahaan mendapatkan sanksi pencabutan izin,  mereka adalah Hutani Sola Lestari, PT MAS, dan PT DHL. Dan empat perusahaan lain yang mendapatkan sanksi paksaan dari pemerintah adalah PT BSS, PT KU, PT IHM, dan PT WS.

"Maksud dari paksaan dari pemerintah, perusahaan wajib memenuhi syarat-syarat perusahaan yang belum lengkap seperti kesiapan alat kebakaran dan personil," tegasnya.

Ketika disinggung soal keberanian pemerintah untuk menyelidiki keterlibatan perusahaan raksasa seperti Sinar Mas dan Wilmar, Eka pun kembali menegaskan bahwa pemerintah tidak takut dengan sejumlah perusahaan besar yang memegang izin konsesi lahan tersebut.

"Yang sekarang dituntut di Palembang itu coba cek perusahaan siapa. Terus di Jambi itu empat itu ada perusahaan WS cek punya siapa. Insyaallah pemerintah tidak main-main lah dalam menangani ini. Jadi kami sangat serius dalam menangani kasus ini," tegasnya.

HENTIKAN IZIN BAKAR LAHAN – Kepala Bidang Agraria dan Tata Ruang Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Edi Martono, mengatakan, fenomena kebakaran lahan di sejumlah daerah di Indonesia perlu disikapi secara seksama. Menurutnya, persoalan kebakaran lahan juga tidak bisa dipandang sebelah mata yang berujung pada justifikasi kesalahan terhadap sejumlah pengusaha pemegang izin lahan konvensi.

Upaya land clearing dengan cara membakar lahan memang diakui merupakan salah satu cara yang cukup efektif dan tergolong murah untuk membuka lahan baru atau memulai tanam baru. Hanya saja, ketika cuaca panas berkepanjangan tengah terjadi di Indonesia maka kebakaran lahan pun merambat semakin meluas.

Kendati demikian, lanjut Edi, upaya membuka lahan dengan cara membakar tidak dapat dibenarkan. Ia pun menegaskan bahwa organisasinya yang membawahi sejumlah perusahaan sawit di Indonesia telah sepakat untuk meninggalkan cara konvensional tersebut untuk membuka lahan baru. Selain itu, ia pun meminta kepada Pemerintah untuk menghentikan memberikan izin lahan baru dan menindak tegas perusahaan yang masih menerapkan cara lama dengan membakar lahan untuk membuka lahan baru.  

"Saya lebih setuju semua aturan ditutup dan tidak lagi ada aturan membuka lahan dengan cara membakar. Jadi harus benar-benar zero burning," kata Edi usai menghadiri acara diskusi di Jakarta Pusat.

Ia pun mengkritisi Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat yang mengizinkan masyarkat melakukan pembakaran untuk membuka lahan, Edi menilai hal itu harus ditanggapi secara serius oleh Pemerintah. Sebab, disatu sisi masyarakat adat juga memang diizinkan oleh peraturan untuk mendapatkan lahan. Namun, ia berharap sosialisasi kepada masyarakat juga dilakukan secara intensif oleh pemerintah untuk merubah kebiasaan masyarakat yang membuka lahan pertanian dengan cara membakar lahan.

"Lahan tetap harus dikasih oleh pemerintah untuk masyarakat, hanya saja pemahaman untuk zero burning itu tadi harus dikuatkan kepada masyarakat," tegasnya.

Menurutnya, ada sejumlah cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah guna membantu masyarakat untuk membuka lahan tanpa membakar lahan. Cara pertama, pemerintah dapat mengoptimalkan anggaran dana desa untuk pertanian, kedua, pemerintah dapat memberikan bantuan dari Kredit Usaha Rakyat (KUR), atau cara ketiga yaitu meminta perusahaan yang berada di sekitar lahan warga untuk membantu warga masyarakat dalam membuka lahan dengan cara tanpa dibakar.

"Ada CPO supporting fun, atau bisa jadi perusahaan perkebunan sawit yang disekitar situ bisa ikut membantu masyarakat dalam membuka lahan yang terpenting kita harus memberikan masukan ke masyarakat bahwa bakar lahan itu harus dihentikan semua," jelasnya.

Ia menambahkan, dalam Pergub itu, masyarakat dapat membakar lahan seluas satu hektar hanya cukup dengan melapor RT. Jika masyarakat ingin membuka atau membakar lahan seluas 2 hektar, masyarakat hanya cukup melapor ke Kepala Desa setempat. Jika masyarakat ingin membuka atau membakar lahan seluas lima hektar, masyarakat hanya cukup melapor dengan  kecamatan.  Dan dalam peraturan itu juga dijelaskan, dalam sehari di tingkat kecamatan masyarakat diperbolehkan membuka atau membakar lahan seluas 100 hektar perhari.

"Bayangkan kalau dalam satu hari itu ada 10 kecamatan yang membakar lahan seluas 100 hektar, berarti kan sudah 1000 hektar yang terbakar sehari. Nah itu kan bahaya, jangan samapai kebijakan ini justru dimanfaatkan oleh orang lain yang memang berkepentingan ekonomi di daerah itu. jadi lebih baik kita hentikan deh izin pembakaran itu," tutupnya mengakhiri pembicaraan. (Rifki Arsilan)

 

BACA JUGA: