JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus pembunuhan petani yang juga aktivis anti tambang asal Desa Selok Awar-Awar, Lumajang, Jawa Timur, Salim Kancil, dan penganiayaan atas Tosan ditengarai bukan sekadar kasus kriminal biasa. Dari hasil investigasi yang dilakukan Komisi III DPR RI, diketahui ada bau kasus pencucian yang diduga dilakukan oknum kepala desa setempat bernama Haryono.

Tak hanya itu, Komisi III DPR RI juga mencurigai keterlibatan oknum kepolisian baik dalam kasus penganiayaan Tosan dan tewasnya Salim Kancil, juga dalam kasus dugaan pencucian uang ini.

Anggota Komisi III Muslim Ayub mengatakan hasil investigasi jelas menyatakan terdapat aktor intelektual dalam kasus ini. "Di atasnya kepala desa ada siapa? Itu jelas!" katanya kepada gresnews.com di Gedung DPR RI, Senayan, Senin (5/10).

Secara tersirat ia menyatakan keterlibatan usaha pertambangan ilegal yang melibatkan PT Indo Modern Mining Sejahtera (IMMS) sebagai dalang di balik ini semua. Tak hanya itu, ia pun mencurigai ada keterlibatan oknum kepolisian. Pasalnya, diketahui, sebelum Tosan dan Salim Kancil dibawa paksa, mereka telah meminta perlindungan pada pihak kepolisian, tapi tak diindahkan.

Dengan kematian Salim Kancil dan masih dirawatnya Tosan, ia berharap hukum dapat benar ditegakkan. Sebab terdapat indikasi pembiaran atas laporan masyarakat yang meminta perlindungan hukum. "Tapi ini satu dua minggu ke depan akan terungkap siapa pun yang terlibat," kata Muslim.

Dia mengatakan, penambangan ilegal yang sudah berjalan selama dua tahun ini diduga melibatkan Kapolres Lumajang pada periode lalu. Sementara Kapolres yang saat ini menjabat baru saja dilantik pada bulan September lalu.

Muslim juga menyoroti proses Amdal perusahaan yang bermasalah dan sudah ditentang lama oleh masyarakat. Ia meyakini kepolisian sudah pasti tahu permasalahan ini tapi tak serius menangani.

"Seharusnya saat tahu mereka memanggil pihak-pihak yang berkonflik, menindaklanjuti, menyelesaikan, dan mengakomodir hak-hak masyarakat. Tapi ini tidak!" ujarnya.

PETANI HANYA PERTAHANKAN LAHAN - Anggota Komisi III lainnya, John F. Kennedy, menyatakan pada awalnya Salim Kancil merupakan petani biasa yang membela tanahnya yang dijadikan penambangan ilegal. "Pada dasarnya dia bukan aktivis tapi dia pertahankan keberadaan tanah miliknya," katanya di Gedung DPR RI, Senayan, Senin (5/10).

Salim berupaya mempertahankan sawahnya dan sawah kebanyakan warga lainnya yang terancam hancur akibat aktivitas pertambangan. Karena itu dalam konflik ini, Salim yang mendapat ancaman pembunuhan dari para pendukung tambang pun meminta bantuan polisi untuk perlindungan. Sayangnya, kata John, polisi malah membiarkan laporan itu sehingga akhirnya pembunuhan terjadi.

Proses pembiaran itu, kata John, juga terjadi pada hari ketika Salim dan Tosan dianiaya massa pro tambang. Dari hasil penelusuran Komisi III DPR, diketahui jarak antara lokasi pembunuhan dan kantor polisi hanya sekitar 12 kilometer.

"Jika dianalogikan polisi bereaksi cepat dengan menggunakan sepeda motor, maka paling lama jarak tersebut dapat ditempuh selama 10 menit. Sedangkan penyiksaan dilakukan selama satu setengah jam," kata John.

Karena itu dia meminta penyelidikan tak berhenti hanya pada penetapan kepala desa Selok Awar-Awar dan para pelaku penganiayaan dan pembunuhan sebagai tersangka. John meminta penyelidikan juga dilakukan kepada oknum tertentu yakni Kapolres yang terdahulu, dan dugaan keterlibatan seorang anggota DPRD.

"Akibat penambang liar ini ada anggota DPRD ada yang mengambil untungnya," katanya.

Untuk itu, kata John, polisi tinggal menyelidiki pemilik eskavator, pemilik truk-truk yang beroperasi menambang pasir di kawasan pantai Watu Pecak. Ia meyakini terdapat oknum karena banyak pengepul eskavator berkumpul, kemungkinan pemilik pemilik alat berat dan truk-truk ini dibiayai oleh Kades.

"Mereka katakan ada nilai Rp12-15 juta per hari dikeluarkan Kades untuk membiayai operasional membunuh Kancildan menganiaya Tosan. Nilai itu besar, pasti ada yang cukongi," katanya.

Konon, Haryono, si kepala desa sudah terikat kontrak selama beberapa tahun ke depan. Tanah penambangan ilegal di sana dibeli dalam waktu tahunan. John pun menyayangkan sikap Bupati yang tak menutup aktivitas pertambangan ilegal itu.

"Saat saya konfirmasi, Bupati tak jawab, tak ada sinkronisasi pembicaraan Bupati dengan kondisi di lapangan," ujarnya.

Ia menyarankan kepolisian meminta rekening si kepala desa untuk mengetahui kemana saja uang tersebut mengalir. "Aliran dana ini mengalir ke pejabat, polisi, minimal kapolres, coba tindak lanjuti. Jika cash maka tanya saja orang-orang di belakangnya," ujarnya.

BERSITEGANG DENGAN DPRD - Dalam upaya melakukan penyelidikan kasus ini, para anggota Komisi III DPR juga sempat bersitegang dengan para anggota DPRD Lumajang. Ini terjadi dalam pertemuan antara Tim Kunker Komisi III DPR RI dengan Kapolda Jatim, Bupati Lumajang, Ketua DPRD Lumajang, dan Kapolres Lumajang, Jumat (2/10) lalu.

Suasana panas terpantik ketika anggota Komisi III Akbar Faisal dari Fraksi Partai NasDem menyinggung nama mantan Kapolres Lumajang AKBP Aris Syahbudin. Kini Aris dimutasi menjadi Kasub Bidprodik Dikmas Biddikmas Korlantas Polri.

"Saya dengar ada anggota DPRD Lumajang yang menjadi back-up dibelakangnya, " kata Akbar Faisal seperti dikutip dpr.go.id.

Selain Akbar, anggota Komisi III Dossy Iskandar Prasetyo dari Fraksi Partai Hanura juga sempat menyinggung juga nama Setiadi Laksono Halim yang kerap dipanggil Jensey. "Jensey ini adalah Dirut PT Mutiara Halim Lumajang. Bagaimana latar belakang Jensey," tanya Dossy seraya menambahkan meminta agar bisnis tambang Jensey diusut.

Begitu juga dengan Masinton Pasaribu dari Fraksi PDI Perjuangan yang meminta pengusutan masalah penambangan liar ini sampai ke aktor pebisnis terbesarnya. "Jadi penyidikan polisi diharapkan tidak cuma fokus di kasus penganiayaan dan pembuhuhan saja tetapi juga harus mendalami kasus penambangan liar di Lumajang," tegasnya.

Ketua DPRD Lumajang Agus Wicaksono yang kebetulan juga dari PDI Perjuangan terlihat emosi dengan pernyataan para anggota DPR itu. Dia mengaku tidak senang dan tidak terima atas penyebutan nama mantan Kapolres Lumajang AKBP Aris Syahbudin dan nama Jensey.

"Saya tidak terima, saya sudah lama berkumpul dengan dia (mantan Kapolres). Anda disini hanya 4 jam saja yang tidak tahu persis bagaimana situasi Lumajang," tegas Agus dengan nama emosi.

Terkait dengan pertanyaan Dossy, Agus spontan marah dan mengingatkan kepada Dossy. "Saya ingatkan, di forum ini banyak media, ketika anda menyampaikan nama Jensey, Jensey itu orangnya hidup dan mati alias dalam kondisi sakit-sakitan," ungkap Agus.

Dia mengaku emosi lantaran khawatir media menuding DPRD Lumajang terlibat penambangan liar. "Itu yang saya pikirkan, nanti apa kata keluarga di rumah," ujarnya.

Meski begitu para anggota DPR berkeras agar pihak-pihak yang terlibat termasuk pihak pengusaha ikut diseret dalam kasus ini. Masinton menyatakan penambangan pasir yang menjadi latar belakang peristiwa berdarah itu ternyata tak berizin. Namun, menurutnya, ada pembiaran dari aparat.

"Izin penambangan pasir nggak pernah ada. Pemda Kabupaten Lumajang dan polisi cenderung membiarkan penambangan pasir tanpa izin yang dilakukan kepala desa Hariyono (Kades Awar-awar)," kata Masinton.

Masinton Pasaribu menyatakan Tim Komisi III akan membawa temuan dan fakta-fakta lapangan ke dalam rapat pleno. Komisi III akan mendesak Kapolri untuk mengungkap dalang dan pelaku penganiayaan Salim Kancil dan Tosan.

"Mendesak Kapolri agar memerintahkan seluruh jajaran kepolisian membuat pemetaan potensi konflik, khususnya di wilayah pertambangan maupun perkebunan. Serta mengedepankan aspek perlindungan masyarakat dan tidak memihak kepentingan pemodal," tutur Masinton.

AWALNYA BERIZIN - Berbeda dengan Masinton, Bupati Lumajang A´sat Malik menjelaskan penambangan pasir di Desa Selok Awar-awar pada awalnya legal yakni dikelola oleh PT. Indo Modern Mining Sejahtera (IMMS). Namun, karena perusahaan itu belum dapat menyanggupi untuk membangun smelter atau pemurnian material hasil tambang, maka penggalian pun dihentikan.

Konon, izin menambang PT. IMMS di kawasan Pantai Watu Pecak tersebut berlaku hingga tahun 2022. "Awalnya berizin milik PT. IMMS, kok jadi berpindah ke orang lain itulah bisa dikatakan ilegal," kata As´at.

A´sat mengungkapkan aturan baru terkait penambangan yaitu mengharuskan pemurnian material tambang sebelum diusung keluar dari lokasi. "Karena belum punya dihentikan dulu," ucapnya.

Pasca peristiwa berdarah menewaskan Salim Kancil dan melukai Tosan, aparat kepolisian menghentikan seluruh aktivitas penambangan pasir di wilayah Lumajang. "Perlu cooling down dulu, sesuai keputusan Kapolres. Penambangan dihentikan, nanti akan ada moratorium dengan ke depannya tidak boleh ada yang ilegal," jelasnya.

Dikatakan, penambangan pasir di Lumajang berawal dari berkah aliran dua sungai berhulu di Gunung Semeru. Jika pasir yang terbawa air sungai, tidak diambil maka akan justru mengakibatkan banjir.

"Tetapi sekarang ditata ulang, yang betul berizin mana dan tidak. Yang punya izin apakah sesuai dengan lokasi dan ini proses butuh waktu. Termasuk penambangan di Selok Awar-Awar itu," ujarnya.

Dia membantah, hanya berdiam diri ketika aktivitas penambangan belakangan dikelola Kades Hariyono dibiarkan begitu saja. Sejak 2013 lalu, upaya penertiban sudah berulang kali dilakukan. "Mulai menegur sampai menginstruksikan untuk tutup," tegas dia.

Ditambahkan, kesulitan terbesar menertibkan tambang pasir di Pantai Watu Pecak adalah tidak diketahui jelas siapa penambangnya. "Kita ini seperti berhadapan dengan orang tidak jelas, dimana alamatnya ya tidak tahu," tambahnya.

Ke depan, As´at menginginkan penambangan pasir di Kabupaten Lumajang benar-benar legal dan tidak merugikan siapapun atau merusak lingkungan.

PERIKSA MANTAN KAPOLRES - Sementara itu, Kapolda Jawa Timur Irjen Anton Setiadi mengatakan, pihaknya sudah berencana memanggil eks Kapolres Lumajang terkait kegiatan penambangan pasir ilegal di Desa Selok Awar-Awar, yang mencuat pasca kematian Salim Kancil. Desakan untuk memeriksa perwira menengah yang pernah menjabat di Polres Lumajang juga disuarakan Komisi III DPR RI usai berkunjung ke Lumajang.

Meski begitu, Anton mengatakan, pihaknya masih fokus pada pengembangan beberapa anggota di Polres Lumajang. Langkah ini yang selanjutnya menjadi dasar untuk memanggil eks Kapolres maupun Kapolres Lumajang.

"Kita fokus keterangan-keterangan dari bawahannya dulu. Apakah nanti mengarah ke sana atau ada ketelibatan, mendiamkan, kalau ada mengarah ke sana kita akan panggil," kata Anton, Senin (5/10).

Pemeriksaan beberapa anggota Polres Lumajang langsung dibawah pengawasan Kepala Divisi Propam Irjen Raden Budi Winarso. "Kadiv Propam masih di Lumajang, mengawasi pemeriksaan," kata Anton.

Hingga hari ini, penyidik Polda Jawa Timur telah menahan R dalam dugaan penambangan ilegal. Tersangka adalah pengusaha, penyandang dana dari penambangan pasir ilegal yang dikecam Salim Kancil Cs. Total tersangka yang dijerat penambangan liar adalah 5 orang, salah satunya adalah Kepala Desa Selok Awar-Awar Hariyono. (dtc)

BACA JUGA: