JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus pembunuhan terhadap Salim Kancil (46) dan penganiayaan berat terhadap Tosan (30), dua orang petani asal Desa Selok Awar Awar, Kecamatan Pasiran, Lumajang Jawa Timur, yang aktif menentang pertambangan pasir besi di desanya masih diselimuti kabut misteri. Polisi terus berupaya untuk mengungkap siapa dalang di balik kasus pembunuhan keji itu.

Presiden Joko Widodo sudah meminta kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Badrodin Haiti untuk mengungkap kasus ini secara tuntas. "Presiden sudah minta Kapolri untuk mengusut pelaku penganiayaan dan saya kira kemarin sudah ditetapkan sejumlah tersangka. Kita di Kantor Staf Presiden akan memantau terus penyelesaiannya," ujar Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Selasa (29/9).

Pemerintah, kata Teten, sangat menyayangkan adanya kasus semacam ini. Sementara itu Teten juga mengakui bahwa konflik agraria memang sering terjadi sejak dahulu. "Presiden sudah ada melihat ada kekerasan konflik lahan, konflik agraria semacam itu saya kira akan ada semacam guidance (panduan -red) lah kepada Polri supaya jangan menggunakan kekerasan untuk selesaikan konflik lahan antara masyarakat dengan pebisnis," ujar Teten.

Mengenai lahan konflik sendiri, Teten menyebut sebetulnya masyarakat bermaksud meminta kejelasan kepemilikan karena sudah lama menggarap lahan di situ. Tetapi kemudian dalam beberapa kasus ada oknum pebisnis yang berupaya menguasai lahan tersebut sehingga konflik tak terhindari. "Konflik agraria tak ada yang baru. Rata-rata puluhan tahun. Ini saya kira Presiden sudah berikan perhatian sehingga ada penyelesaian konflik yang cukup fair," ungkap Teten.

Kapolri sendiri sudah menyatakan tekadnya untuk mengungkap siapa dalang pembunuhan terhadap Salim dan penganiayaan terhadap Tosan. "Kan sudah ditangkap 18-19 orang. Sekarang tinggal mencari siapa aktor intelektualnya," kata Kapolri Jenderal Badrodin Haiti saat dihubungi wartawan, Selasa (28/9).

Kasubdit Jatanras Ditreskrimum Polda Jatim AKBP Hanny Hidayat mengatakan, pihak kepolisian juga sudah menangkap tiga orang tersangka lagi terkait kasus tersebut. "Berrdasarkan penyelidikan dan pemeriksaan saksi-saksi serta alat bukti, sudah 21 orang yang kami tetapkan sebagai tersangka dan saat ini masih kami dalami terus," kata Hanny.

Hanny mengatakan, mereka dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan secara bersama-sama melakukan penganiayaan hingga mengakibatkan orang meninggal. Mereka juga dijerat pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana subsider Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. "Pasal yang dipersangkakan kepada masing-masing disesuaikan dengan perannya masing-masing," imbuh Hanny.

Enam orang dijerat Pasal 170 KUHP, yakni Muhamad Subadri, Slamet, Siari, Siaman, Edor Hadi Kusuma dan Dodik Hartono. Sementara 10 orang dijerat Pasal 340 KUHP yakni Tedjo, Elisandi, Ngatiman, Harmoko, Gito, Timartin, Rudi, Edi Santosa, dan 2 orang lainnya masih di bawah umur  yakni IL dan AA. "Yang dijerat Pasal 340 dan 170 KUHP yaitu tersangka Madasir, Widianto, Sukit, Hendrik, Buri dan Farid," tuturnya.

LAPOR LPSK - Terkait upaya mengungkap dalang kasus pembunuhan dan penganiayaan ini, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengimbau masyarakat untuk tidak takut memberikan keterangan kepada pihak kepolisian agar kasus ini bisa diungkap dan para pelaku segera diajukan ke pengadilan.

"LPSK memantau kasus ini. Apabila ada masyarakat yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, tapi takut akan adanya ancaman, bisa meminta perlindungan ke LPSK," ujar Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Selasa (29/9).

Menurut Semendawai, perlindungan yang dimaksudkan ada dalam Undang-undang (UU) No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Di situ disebutkan, segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan LPSK, atau lembaga lainnya sesuai UU ini.

Apalagi, dalam kasus penganiayaan yang menimpa dua aktivis penolak tambang pasir ini, diduga kuat dilakukan secara beramai-ramai, dan pihak kepolisian didesak untuk mencari aktor di balik tindak pidana tersebut. Semendawai mengatakan, guna membantu pihak kepolisian mengungkap kasus ini, dibutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat dalam memberikan keterangan sehingga motif dan para pelaku dapat diadili.

Masih kata Semendawai, pihaknya yakin aparat kepolisian mampu mengusut tuntas kasus penganiayaan berat hingga mengakibatkan kematian ini. Hanya saja, dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga peradilan, tetap dibutuhkan partisipasi masyarakat sebagai saksi. Oleh sebab itu, masyarakat yang memiliki keterangan yang didengar sendiri, lihat sendiri atau dialami sendiri, hendaknya dapat bekerja sama dengan pihak kepolisian.

Khusus kepada saksi maupun korban yang merasa terancam dan meminta perlindungan ke LPSK, sesuai amanah UU No 31 Tahun 2014, yang bersangkutan akan memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

"Jangan takut memberikan keterangan, karena perlindungan saksi sudah diatur dalam UU," ujar Semendawai.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengungkapkan, saat ini Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sudah mengajukan permohonan perlindungan untuk 12 orang saksi dalam kasus ini. "LPSK segera memproses permohonan yang diajukan itu," ujar Edwin.

Dia menegaskan, jika semua keperluan terkait permohonan perlindungan telah lengkap dan sesuai persyaratan UU Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK akan memberikan perlindungan bagi para saksi tersebut.

DIRENCANAKAN - Dari hasil investigasi sementara yang dilakukan Tim Advokasi Tolak Tambang Pasir Lumajang diketahui, aksi yang dilakukan para tersangka itu memang sudah direncanakan sejak awal. Dari kesaksian istri Tosan, Ati Hariati, diketahui, suaminya sudah sejak lama diancam oleh para warga pro tambang.

Sebelum pengeroyokan itu, Ati mengaku sempat didatangi sekitar 20 orang dengan membawa celurit di rumahnya. Mereka meminta Tosan untuk menghentikan upaya menuntut penutupan tambang. Ati telah melaporkan kejadian tersebut kepada polisi setempat meskipun belum ada tindak lanjut hingga terjadi pengeroyokan brutal Sabtu lalu.

Dia sendiri menyayangkan sikap polisi yang terkesan mendiamkan laporannya terkait ancaman yang diterima suaminya itu. "Itu sekitar minggu pertama September, mereka mengancam akan membunuh saya dan suami saya jika terus menuntut meminta tambang ditutup. Sudah saya laporkan ke Polsek, tapi kemudian diminta ke Polres Lumajang dan sudah di-BAP, tapi belum ada perkembangan," kata Ati.

Jika saja, laporan itu ditindaklanjuti polisi, besar kemungkinan kasus pembunuhan atas Salim dan penganiayaan atas Tosan bisa diantisipasi. Ati mengatakan, Tosan sang suami, punya alasan kuat menentang aktivitas tambang itu. Pertama tambang telah merusak lahan pertanian warga dan truk pasirnya juga membuat celaka warga. "Sudah ada yang meninggal karena ditabrak truk pasir," katanya.

Saat kejadian, Sabtu (26/9), Salim diketahui didatangi sekitar 40-an preman yang menyerbu rumahnya. Saat itu, Salim sedang menggendong cucunya yang berusia 5 tahun.  "Mengetahui ada yang datang berbondong dan menunjukkan gelagat tidak baik, Salim membawa cucunya masuk. Gerombolan tersebut langsung menangkap Salim dan mengikat dia dengan tali yang sudah disiapkan," tulis tim advokasi dalam rilisnya, Senin (28/9).

Berdasarkan keterangan yang diperoleh Tim Advokasi, massa kemudian menyeret Salim menuju Balai Desa yang berjarak dua kilometer dari rumahnya. Di sepanjang jalan itu, Salim sudah mengalami penganiayaan. Warga yang menyaksikan hanya bisa diam tak berbuat apapun melihat kekejian itu.
 
"Di Balai Desa, tanpa mengindahkan bahwa masih ada banyak anak-anak yang sedang mengikuti pelajaran di PAUD, gerombolan ini menyeret Salim masuk dan terus menghajarnya," tulis tim advokasi.

Di Balai Desa itulah Salim mengalami penganiayaan berat termasuk disetrum hingga akhirnya menemui ajalnya. Jenazah Salim kemudian dibuang di dekat pemakaman desa. Sementara itu, penganiayaan atas Tosan terjadi sebelum aksi pembunuhan atas Salim terjadi. Tosan didatangi segerombolan orang menggunakan kendaraan bermotor sekitar pukul 07.30.
 
"Mereka membawa pentungan kayu, pacul, celurit, dan batu. Tanpa banyak bicara mereka lalu menghajar Tosan di rumahnya, Tosan berusaha menyelamatkan diri dengan menggunakan sepeda namun segera bisa dikejar oleh gerombolan ini," catat laporan tim advokasi.

Tim advokasi menyampaikan, Tosan lalu ditabrak dengan motor di lapangan tak jauh dari rumahnya. Tak berhenti di situ, gerombolan ini kembali mengeroyok Tosan dengan berbagai senjata yang mereka bawa sebelumnya. Aksi itu baru berhenti setelah dilerai seorang warga bernama Ridwan.

Sejauh ini berdasarkan pengakuan para tersangka, motif utama aksi di luar batas perikemanusiaan itu dilakukan atas dasar dendam lantaran Salim dan Tosan kerap melakukan aksi demonstrasi menentang penambangan pasir besi di kawasan Watu Pecak. Lumajang itu.

"Kami kesal dengan Tosan dan Salim yang kerap kali melakukan aksi untuk menghentikan penambangan pasir di Watu Pecak," kata salah satu tersangka Madasir di Mapolres Lumajang, Senin (28/9).

Salim dan Tosan dinilai menghalang-halangi penambangan pasir di bibir pantai yang dilakukan oleh kepala desa setempat. Hal itu dilakukan berkali-kali. Mulai dari mengajak masyarakat menghentikan penambangan pasir karena merusak lingkungan, menghadang truk penambang bersama warga hingga demo.

Sebelum kejadian, ratusan warga Selok Awar-awar, Pasirian, Lumajang, mengusir alat berat tambang pasir ilegal di pantai Watu Pecak. Salim dan Tosan adalah koordinator lapangan (korlap) aksi. Keduanya jadi sasaran karena dianggap sebagai otak aksi tersebut.

KONFLIK AGRARIA - Konflik pertambangan yang berujung pembunuhan terhadap Salim dan penganiayaan terhadap Tosan ini mendapat tanggapan serius dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan. Dia mengatakan, sebaiknya proses penggalian itu segara dihentikan.

Ferry mengatakan, penambangan ilegal yang dilakukan di Pantai Watu Pecak itu termasuk dalam golongan Galian C. Karena itu kaitannya ada di pusat, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).

"Ini saya bilang memang kewenangan di desentralisasi bagaimana kaitan dengan LHK," kata Ferry saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (29/9).

Ferry mengatakan, di samping proses pemidanaan tersangka pengeroyokan Salim, yang tak kalah penting saat ini adalah pemberhentian proses penggalian tambang pasir ilegal tersebut. Dengan demikian, membuka wawasan warga bahwa tidak boleh melakukan penambangan sesuka hati dengan alasan apapun.

"Tidak bisa hanya berhenti di kriminalnya, tapi di-hold proses penggaliannya. Supaya orang tahu nggak boleh dengan atas nama apapun dalam rangka menghasilkan atas nama PAD ada orang yang kemudian terkorbankan nyawanya, nggak boleh," kata Ferry.

"Saya kira kewenangan pemda harus di-hold dulu, selain kriminalnya. Ini nggak bisa, kalau ´tok´ kriminalnya itukan menjadi akibat saja. Bagaimana kemudian orang bisa bertindak melakukan langkah memperhadapkan diri antara setuju dan tidak setuju, kan nggak masuk akal. Kalau di-hold kewenangannya, hentikan, karena ini bisa jadi penyebab," tambahnya.

Bedasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, kawasan Lumajang memang merupakan salah satu dari 22 titik potensial terjadinya konflik tambang. Di kawasan itu terdapat beberapa titik pertambangan batu dan pasir dengan luas bahan galian mencapai 82,5 hektare. Dari jumlah itu, areal pasir dan batu yang sudah dieksploitasi mencapai seluas 15 hektare dengan volume bahan tambang mencapai 239.065 meter kubik.

Sementara itu, menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria, kasus ini merupakan rentetan dari berbagai konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2014, KPA mencatat di Indonesia telah terjadi 472 kasus dengan luasan lahan konflik mencapai tiga juta hektare.

Pemerintah sendiri dinilai tak punya solusi dalam menyelesaikan masalah ini. Dalam aksi keprihatinan atas kasus yang menimpa Salim dan Tosan, ribuan petani dan kaum miskin kota menyerukan pemerintah untuk segera mencari solusi untuk mengakhiri rangkaian kekerasan akibat konflik agraria khususnya konflik menyangkut pertambangan ini.

Para petani yang tergabung dalam Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) dan Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia menilai, konflik-konflik semacam ini berpotensi mengancam kaum tani. Penguasaan sumber daya yang terkonsentrasi di tangan segelintir orang menjadi penyebab utamanya.

"Ini kemudian memicu konflik agraria, petani dan masyarakat miskin kota terancam dengan perusahaan perkebunan, kehutanan, tambang, kemudian liberalisasi pasar produk-produk pertanian serta alat produksi pertanian yang kian mahal akibat inflasi dan kenaikan harga BBM," kata Ketua Umum SPRI Marlo Sitompul di Istana Negara, Jakarta, Selasa (29/8).

Menurut dia, salah satu solusi mengatasi masalah ini adalah dengan cara menghentikan semua paket liberalisasi di sektor pertanian, penyelesaian sengketa agraria secara adil, dan menolak liberalisasi industri.

Sementara itu, menurut Teten Masduki, Presiden Jokowi sendiri memberikan perhatian serius terhadap konflik tambang ini. Dia mengakui konflik agraria memang kerap sering terjadi dan merupakan persoalan lama yang tidak kunjung selesai.

"Jadi umumnya misalnya petani yang sudah menduduki lama di tanah tersebut lalu mereka meminta penguasaan atas tanah tersebut lalu ada pihak bisnis yang mau ambil lahan itu atau lembaga lain, itu kan konfliknya di situ," kata  Teten. (dtc)

BACA JUGA: